Sidang lanjutan perkara pidana No. 844/Pid/2019/PN.Jak-Pus terhadap 29 terdakwa karyawan Sarinah yang diduga terlibat kerusuhan 21-22 Mei kembali digelar, Selasa, (03/09) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi yang meringankan (a de charge) dan keterangan ahli. Penasihat hukum terdakwa menghadirkan Saksi Bimo Wiwoho, seorang jurnalis dan Dr. Achmad Sofian, S.H., M.A sebagai saksi ahli hukum pidana.
Bimo Wiwoho, yang pada saat kejadian berada di sekitar Sarinah di persidangan menerangkan bahwa pada tanggal 22 Mei 2019 dirinya ditugaskan meliput berita di kawasan Sarinah dan Bawaslu. Bimo yang pada hari itu tiba pada pukul 22.00 WIB melihat terdakwa Achmad Sanusi dan seorang sekuriti lain sedang melakukan pengecekan kerusakan di restoran cepat saji yang berada di dalam area Sarinah.
Bimo juga mengatakan bahwa pada saat itu udara sudah terasa sesak akibat gas air mata dan matanya terasa pedih akibat paparan gas air mata yang ditembakan petugas untuk membubarkan massa aksi sebelumnya.
“Karena mata saya perih, saya pun mencuci muka di keran air yang terdapat di area Sarinah Di situ saya melihat beberapa orang, termasuk para petugas kepolisian, sedang mengantre untuk mencuci muka di keran yang mengalir melalui selang,” jelas Bimo.
“Air tersebut, tidak digunakan oleh massa aksi untuk menyerang pihak kepolisian,” tegas Bimo.
Pada intinya, dihadapan Majelis Hakim, Bimo menjelaskan bahwa para sekuriti tidak membantu massa aksi melakukan kerusuhan. Pada saat itu terdakwa tetap menjalankan tugasnya sebagai sekuriti.
Ahli Hukum Pidana Bantah Dakwaan Jaksa
Selanjutnya, ahli hukum pidana, Dr. Achmad Sofian, S.H., M.A. sebagai ahli membedah masing-masing pasal yang didakwakan dan khususnya terkait dengan delik perbantuan pidana. Menurut Sofian yang dimaksud membantu melakukan dalam Pasal 56 Ayat (2) KUHP adalah memberikan sarana, keterangan, atau kesempatan, dan dilakukan dengan sengaja. Sengaja dalam arti mengetahui tujuan kejahatan dan menghendaki akibat kejahatan tersebut tercapai.
“Pemberian air yang dilakukan berdasarkan rasa iba atau kemanusiaan bukan merupakan niat jahat. Mens rea adalah niat jahat, atau dalam bahasa kita pikiran kotor, kalau niat baik itu bukan mens rea,” jelas Sofian.
Dr. Achmad Sofian juga menjelaskan bahwa hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang sifatnya langsung (direct) harus terbukti jika memang terdakwa diduga bersalah.
“Perbantuan yang dilakukan oleh terdakwa harus jelas, apakah dalam bentuk memberi sarana, keterangan, dan kesempatan? Hal tersebut harus relevan dan signifikan karena merujuk pada berhasil atau tidaknya suatu tindak pidana,” tambah Sofian.
“Perbantuan juga harus dilandasi dari niat buruk agar tindak pidana terwujud,” tegasnya.
Menyanggah dakwaan, Sofian juga menyebutkan bahwa air bukanlah alat yang dapat dikualifisir sebagai alat yang relevan untuk membantu terjadinya tindak pidana. Ia baru bisa menjadi relevan jika air yang dimaksud direbus hingga mendidih lalu digunakan untuk menyerang petugas. Jika pun dikatakan bahwa dengan meminum air tersebut benar membuat kondisi massa aksi fit kembali, maka hal tersebut harus teruji secara ilmiah. Elemen kausalitas hanya dapat berlaku dalam konteks perbuatan yang langsung.
“Penalaran kausalitas antara air sebagai sarana dengan perbuatan melawan aparat dalam kerusuhan 22 Mei 2019 adalah hal yang sangat dipaksakan, dan cenderung sesat,” ungkapnya.
Sofian pun mengingatkan kembali memori Majelis Hakim bahwa delik penyertaan memang dimaksudkan dalam rangka perluasan pertanggungjawaban pidana, namun bukan berarti penggunaannya bisa diperluas serta merta begitu saja. Ada syarat mutlak bahwa perbantuan yang dimaksud tetap harus memenuhi (i) unsur kesengajaan dan (ii) perbuatan tersebut berkontribusi dalam rangkaian delik yang dilakukan pelaku utama.
Kesengajaan dalam konteks penyertaan tersebut dapat diidentifikasi dari adanya kesamaan kehendak dan perbuatan, yang dilakukan antara pelaku pembantu dan pelaku utama. Sementara, sama halnya dengan penjelasan atas teori kesengajaan di atas, apa yang dapat digolongkan sebagai perbuatan perbantuan juga terbatas cakupannya. Artinya, tidak semua tindakan membantu yang beririsan dengan suatu peristiwa pidana dapat dinyatakan sebagai delik sebagaimana dimaksud Pasal 56 KUHP.
Suatu perbuatan baru dapat dikatakan perbuatan perbantuan pidana jika berperan secara langsung dengan rangkaian tindak pidana yang dilakukan pelaku utama, dalam mewujudkan tindak pidananya. Contohnya, pelaku pembantu berperan memberikan pisau kepada pelaku utama, yang mana pisau tersebut diketahuinya akan digunakan oleh pelaku utama untuk membunuh orang lain karena dendam, maka ia dapat bantuan yang dilakukannya tersebut merupakan perbantuan pidana. Dengan kata lain, tanpa terpenuhi syarat-syarat yang telah diuraikan tersebut, penerapan Pasal 56 KUHP tidaklah utuh.
Sebelumnya para sekuriti Sarinah tersebut sempat di dakwa oleh jaksa penuntut umum atas perbuatan mereka yang memberikan air sehingga membuat massa aksi kembali fit dan menyerang lagi. Adapun perbuatan tersebut menurut jaksa dikategorikan sebagai perbuatan perbantuan terhadap massa aksi kerusuhan 22 Mei 2019. Sidang selanjutnya akan jatuh pada Selasa, 10 September 2019 dengan agenda mendengar keterangan terdakwa. (Auditya Saputra)