“Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib Menjamin Proses Rekrutmen, Penerimaan, Pelatihan Kerja, Penempatan Kerja, Keberlanjutan Kerja dan Pengembangan Karier Yang Adil Dan Tanpa Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas”
Bunyi Pasal 45 UU Penyandang Disabilitas
LBH Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat mendampingi DH, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) penyandang disabilitas mental yang menggugat Kementerian Keuangan dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) di Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara Jakarta. Pada Rabu, 6 April 2022, sidang berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan Penggugat untuk mengonfirmasi gejala-gejala disabilitas mental yang dialami DH.
Gugatan tersebut sebelumnya dilayangkan pada 15 November 2021 oleh DH. DH menggugat Surat Keputusan Menteri Keuangan RI atas pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri yang dikirimkan pada keluarganya pada Februari 2021. Dasar pemberhentian tersebut karena DH dianggap mangkir dari pekerjaan dalam beberapa periode waktu di tahun 2020, padahal hal tersebut diakibatkan oleh skizofrenia paranoid yang mulai diderita DH yang saat itu tidak tertangani. DH diberhentikan setelah 10 tahun lebih mengabdi pada instansi tersebut.
DH baru mendapatkan penanganan dan perawatan psikologis pada pertengahan 2021. Segera setelah kondisinya dinyatakan membaik, dirinya langsung mengajukan permohonan untuk dapat kembali bekerja dengan menjelaskan kondisinya disertai hasil diagnosis skizofrenia yang diidapnya. Sayangnya permohonan tersebut ditolak dan DH disarankan menempuh proses banding administratif melalui BPASN. Tidak hanya itu, DH juga diminta mengganti kerugian negara ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas dengan pemberhentiantersebut.
Pada September 2021, DH mengajukan banding administratif kepada BPASN dan sebulan kemudian BPASN menyatakan menolak permohonan tersebut karena dianggap telah lewat waktu (kadaluarsa) dan DH dianggap harus menerima putusan tersebut. Dengan penolakan oleh BPASN tersebut, berdasarkan ketentuan PP Nomor 79 Tahun 2021, upaya yang dapat dilakukan adalah mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.
Kemenkeu dan BPASN menjadi tergugat dalam gugatan ini. Dalam persidangan, Kemenkeu berdalih pihaknya tidak pernah mendapatkan informasi mengenai disabilitas mental yang dialami DH. LBH Jakarta yang bertindak selaku kuasa hukum berpandangan bahwa terdapat cacat prosedur dalam penjatuhan sanksi pemberhentian oleh Kementerian Keuangan RI karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa sebagaimana diatur ketentuan PP No. 53 Tahun 2010 yang kini telah diubah melalui PP No. 94 Tahun 2021. Pemberhentian DH hanya didasarkan oleh pemeriksaan atasan langsung. Hal tersebut menunjukan tidak adanya kehati-hatian dalam menjatuhkan sanksi berat bagi pegawainya yang berakibat fatal yaitu terlanggarnya hak penyandang disabilitas atas pekerjaannya. Hal tersebut diperburuk dengan tidak adanya akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas mental di lingkungan pekerjaan yang memungkinkan adanya lingkungan yang inklusif dan tidak diskriminatif terhadap penyandang disabilitas mental seperti skizofrenia.
Baca juga: ”Gugatan ASN Disabilitas: Dukungan Para Penyandang Disabilitas”
LBH Jakarta juga berpandangan bahwa penolakan BPASN atas banding administratif yang diajukan DH dengan disertai bukti disabilitas mental yang dialaminya adalah tindakan diskriminatif dan melanggar hukum. UU No. 8 Tahun 2016 telah mengatur hak penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, kesamaan kesempatan dan akomodasi yang layak dalam mengakses pekerjaan dan bahkan proses hukum. Dalam kondisi kekambuhan skizofrenianya, DH tidak mampu membela diri atas sanksi yang dijatuhkan dan tidak mampu mengajukan upaya hukum banding administratif sesuai batas waktu 14 hari yang ditentukan. Menyamakan kondisi DH dengan ASN yang tidak mengalami disabilitas mental dalam hal pengajuan upaya hukum ini adalah tindakan diskriminatif.
Terkait permasalahan ini, PJS juga berpandangan bahwa DH seharusnya dapat dipulihkan haknya sebagai ASN dan terbebaskan dari tuntutan ganti rugi. Jika keputusan pemberhentian ini dipertahankan, hal ini akan menjadi preseden buruk dan ancaman bagi nasib disabilitas mental lainnya yang rentan mendapatkan sanksi serupa di tengah minimnya akomodasi yang layak di lingkungan pekerjaan khususnya bagi ASN. Kemenkeu sebagai instansi pemerintahan seharusnya dapat mencontohkan perlindungan terhadap disabilitas di lingkungan kerjanya, bukan justru memberikan contoh buruk bagi upaya perlindungan hak disabilitas.
Pada persidangan lanjutan pemeriksaan saksi ini, Penggugat menghadirkan saksi-saksi fakta yang mengonfirmasi kondisi gangguan kesehatan yang dialami DH pada saat ia dianggap mangkir dan saat ia tidak dapat mengajukan upaya banding tepat waktu. Akan ada 2 saksi fakta, 3 ahli dan puluhan bukti surat yang akan dihadirkan Penggugat untuk membuktikan dalilnya. Adapun dalam pemeriksaan ini, para tergugat menyatakan tidak akan menghadirkan saksi maupun ahli.
Dalam agenda sidang hari ini turut hadir juga beberapa penyadang disabiltas yang bersolidaritas atas pelanggaran hak yang dialami oleh DH. Agenda sidang lanjutan akan dilaksanakan pada Rabu, 13 Maret 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli. Berkenaan dengan hal tersebut LBH Jakarta mengajak seluruh elemen masyarakat untuk dapat memantau persidangan dan mendukung gugatan yang diajukan DH sebagai upaya peneguhan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya hak disabilitas mental di lingkungan ASN.
Hormat Kami,
LBH Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.