Situasi demokrasi, penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia terus memburuk di rezim pemerintahan Jokowi. Situasi buruk tersebut mengalami akselerasi di periode kedua kepemimpinannya. Hal ini tampak dari kebijakan pemerintah yang semakin menjauh dari prinsip konstitusi, demokrasi dan hak asasi manusia. Mandat Konstitusi acapkali diabaikan. Partisipasi masyarakat disisihkan dalam berbagai pengambilan kebijakan publik.
Kritik dibungkam dan oposisi direpresi melalui berbagai cara baik dengan penggunaan aparat yang bertindak brutal melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap para demonstran, penggunaan Pasal karet UU ITE untuk menangkap oposisi sampai maraknya serangan digital maupun buzzer yang membungkam suara kritis masyarakat.
Setahun terakhir, semakin sering kita dengar tindakan pemerintahan yang melanggar hukum, etika dan hak asasi manusia. Peristiwa demi peristiwa hukum sepanjang tahun memberikan bukti, terlebih setelah situasi pandemi COVID-19 hadir sejak bulan maret 2020. Berbagai peristiwa menunjukkan Keengganan pemerintah untuk berkomitmen mengikuti aturan main dalam demokrasi. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai aturan demokrasi juga tak jarang disimpangi. Masyarakat terus mengalami penindasan dan penderitaan sementara oligarki mendapatkan keistimewaan.
Mulai dari adanya Revisi UU KPK yang melemahkan gerakan pemberantasan Korupsi, lahirnya UU Mineral Batubara yang merusak lingkungan hidup, terbitnya Perpu tentang Corona yang membentengi kekuasaan dari kontrol dan pertanggungjawaban hukum atas tindakan yang dilakukan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi yang mengganggu independensi kekuasaan kehakiman, dan yang paling menguras perhatian kita setahun terakhir adalah disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang mendegradasi perlindungan hak-hak rakyat dan lingkungan. UU ini dibuat dengan sangat cepat, tertutup, dan sama sekali tidak partisipatif. Meski mendapatkan penolakan keras dan luas dari publik, Pemerintah dan DPR tidak peduli.
Sementara, kebutuhan rakyat akan perlindungan negara tidak diberikan dan bukan menjadi prioritas pemerintah. Buruh, perempuan, pekerja rumah tangga dan kelompok minoritas kini semakin minus perlindungan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dikeluarkan dari prolegnas, RUU Pekerja Rumah Tangga mandek, tidak adanya perlindungan warga dari resiko teror aplikasi pinjaman online, privatisasi air Jakarta, reklamasi teluk Jakarta yang terus berlanjut, hingga masih tidak adanya pengendalian pencemaran udara yang maksimal.
Di saat yang sama praktik perlindungan anak berhadapan dengan hukum yang semakin memburuk tidak mendapat sentuhan perbaikan. Selama pandemi, masukan masyarakat dan para ahli untuk penanganan Covid 19 dianggap angin lalu. Pandemi Covid 19 sebagai masalah kesehatan justru dikelola dengan pendekatan keamanan dan ekonomi. Ketentuan UU Kekarantinaan Kesehatan tidak dijalankan secara konsekuen.
Di sisi yang lain, LBH Jakarta juga terus mendapatkan pengaduan permasalahan hukum dari masyarakat. Tercatat setidaknya sepanjang tahun 2020 LBH Jakarta mendapatkan 963 pengaduan kasus, dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 7.242 orang. Pengadu tersebut terdiri dari 859 pengadu individu dan 104 pengadu kelompok.
Dari semua pengaduan, terdapat 257 pengaduan kasus terkait masalah perburuhan, 225 pengaduan kasus terkait isu perkotaan dan masyarakat urban, 198 pengaduan kasus terkait isu sipil dan politik, 162 pengaduan kasus keluarga, 76 pengaduan kasus perempuan dan anak, dan sisanya ada 348 pengaduan kasus yang sifatnya non-struktural.
Kesemua masalah-masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, serta pembajakan demokrasi yang terjadi ini yang kemudian LBH Jakarta catat dan pantau, dan dirangkum dalam sebuah Catatan Akhir Tahun (CATAHU) sebagai bentuk pertanggung jawaban LBH Jakarta kepada khalayak publik. Selain mencatatkan permasalahan yang diadukan kepada LBH Jakarta, CATAHU juga mencatat situasi dan peristiwa penting yang terjadi sepanjang tahun 2020.
Selama satu tahun terakhir LBH Jakarta bersama masyarakat sipil lainnya berupaya untuk melakukan berbagai langkah advokasi litigasi maupun non litigasi terhadap berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Selama perjalanan satu tahun terakhir terdapat beberapa pembelajaran dari adaptasi gerakan bantuan hukum struktural LBH Jakarta dengan situasi pandemi COVID-19 diantaranya:
- LBH Jakarta mengembangkan layanan bantuan hukum online selama pandemi dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk tetap memberikan akses bantuan hukum kepada masyarakat di tengah situasi pandemi;
- Mengembangkan metode dan melaksanakan pelatihan Karya Latihan Bantuan Hukum secara online untuk pertama kalinya;
- Mengembangkan pengorganisiran dan pemberdayaan masyarakat melalui daring, termasuk;
- Memaksimalkan kerja-kerja kampanye dan penggalangan dukungan publik dalam kerja-kerja bantuan hukum melalui online baik untuk penggalangan dana maupun keterlibatan masyarakat dalam mendukung advokasi bantuan hukum struktural LBH Jakarta kepada masyarakat.
Selain hal tersebut, terdapat beberapa kemenangan kecil advokasi LBH Jakarta yang patut dijadikan pembelajaran, diantaranya:
- LBH Jakarta bersama jaringan berhasil menghindarkan MG, anak berhadapan dengan hukum asal papua dari hukuman mati atas tuduhan kejahatan pembunuhan yang tidak pernah ia lakukan dalam kasus pembunuhan di Nduga, Papua.
- Melalui advokasi LBH Jakarta bersama jaringan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan gugatan Ibu Sumarsih dan Ibu Ho Kim Ngo terhadap terhadap Jaksa Agung Jaksa Agung. PTUN menyatakan bahwa Jaksa Agung telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pernyataan Jaksa Agung terkait kasus Semanggi I dan II dianggap mengandung kebohongan oleh PTUN Jakarta.
- LBH Jakarta bersama jaringan Organisasi Masyarakat Sipil tergabung dalam jaringan advokasi kolektif diantaranya adalah Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAuD) di Jakarta aktif untuk memberikan penguatan perlawanan masyarakat terhadap UU bermasalah melalui pendampingan hukum kepada masyarakat dalam menggunakan hak kemerdekaan berekspresi.
- LBH Jakarta berupaya menghadirkan terobosan hukum dengan melakukan litigasi strategis gugatan Surat Presiden tentang pengajuan RUU Cipta Kerja dari pemerintah kepada DPR melalui PTUN Jakarta. Meski belum diterima, gugatan tersebut adalah yang pertama dilayangkan kepada PTUN terkait proses pembentukan UU dengan harapan PTUN dapat menguji tindakan administrasi yang terdapat dalam rangkaian proses pembentukan UU.
Lewat peluncuran CATAHU 2020 ini, LBH Jakarta berharap bahwa ia menjadi artefak pengingat bahwa permasalahan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa dilupakan begitu saja, namun harus diingat dan diselesaikan. Selain itu, praktik-praktik baik dalam advokasi persoalan hak asasi manusia perlu didokumentasikan dan dicatat sedemikian rupa agar menjadi pembelajaran baik bagi masyarakat sipil maupun Pemerintah dan Negara, serta sebagai upaya menyelamatkan demokrasi Indonesia dari pandemi oligarki.
Jakarta, 19 Desember 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA