Penolakan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
22 Agustus 2022, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memeriksa Praperadilan Permohonan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Perkara No.8/Pra.Pid/2022/PN.Jkt.Utr dan No.9/Pra.Pid/2022/PN.Jkt.Utr memutuskan untuk menolak permohonan yang diajukan oleh 2 (dua) Warga Nelayan Pulau Pari dengan alasan perkara pidana a quo para Pemohon telah diputus di Pengadilan. Putusan ini merupakan preseden buruk bagi korban kriminalisasi Aparat Penegak Hukum dan justru menjadi riwayat hitam betapa Pengadilan ternyata tidak memberikan keadilan bagi warga negara Indonesia.
Dalam bagian pertimbangan putusan, Hakim menggunakan dasar ketentuan hukum Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (“Perma 4/2016”) dan Pasal 77 KUHAP, dimana penggunaan dasar hukum aturan ini sama sekali salah kaprah dan tidak tepat digunakan untuk menolak permohonan praperadilan ganti kerugian 2 (dua) warga nelayan Pulau Pari
Sebelumnya, perkara pidana Mustaghfirin alias Bobby dan Bahrudin alias Edo telah diputuskan bersalah di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Namun kemudian putusan tersebut dianulir oleh putusan banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan bahwa Mustaghfirin dan Bahrudin tidak terbukti melakukan tindak pidana pemerasan dengan kekerasan yang dituduhkan dan didakwakan oleh Kepolisian Resor Kepulauan Seribu dan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
Putusan banding tersebut kemudian dikuatkan oleh putusan kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dari Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung RI ditunjukkan bahwa telah ada kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dalam mengkriminalisasi 2 (dua) warga Nelayan Pulau Pari
Atas adanya kesalahan penerapan hukum tersebut, maka 2 (dua) warga Nelayan Pulau Pari mengajukan permohonan praperadilan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Namun sayangnya, Hakim Praperadilan justru menolak permohonan tersebut yang didasarkan pada penggunaan dasar hukum yang sama sekali salah kaprah.
Kejanggalan Berhukum Oleh Hakim Praperadilan
Berdasarkan proses persidangan dan putusan/penetapan Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut, Koalisi Selamatkan Pulau Pari menilai telah terjadi sejumlah kejanggalan berhukum yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, di awal proses praperadilan, Hakim melakukan penundaan yang berlarut atas agenda persidangan, dimana agenda telah ditunda sebanyak 3 (tiga) kali sejak ditetapkannya
jadwal sidang pada tanggal 15 Juli 2022. Akibat penundaan berlarut tersebut, persidangan baru dimulai pada 15 Agustus 2022. Penundaan berlarut ini bertentangan dengan prinsip pengadilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sehingga merugikan Mustaghfirin dan Bahrudin selaku Pemohon.
Kedua, akibat penundaan berlarut, lantas berdampak juga pada penaruhan jadwal agenda sidang yang lamanya hanya 4 (empat) hari dalam melakukan proses pemeriksaan, yakni hanya di tanggal 15, 16, 18, dan 19 Agustus 2022. Akibat adanya pemotongan jadwal sidang tersebut, durasi proses pemeriksaan praperadilan menjadi lebih singkat dan tidak maksimal, karena durasi hanya 4 (empat) hari, dan tidak selama 7 (tujuh) hari.
Ketiga, Hakim tidak memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk menghadirkan Ahli Hukum Acara Pidana secara daring (online via video conference) dengan alasan Ahli harus didatangkan secara langsung dan Ahli tidak dibolehkan memberikan keterangan secara daring. Padahal dalam banyak praktek di pengadilan-pengadilan lain, keterangan Ahli tetap dapat diterima dan diambil meskipun secara daring, apalagi saat ini masih dalam status PPKM. Pemeriksaan Ahli secara daring juga telah diatur dalam Pasal 24 Perma nomor 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik yang berbunyi:
- Dalam hal disepakati oleh para pihak, persidangan pembuktian dengan cara pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli dapat dilaksanakan secara jarak jauh melalui media komunikasi audio visual yang memungkinkan semua pihak dapat berpartisipasi dalam persidangan;
- Persidangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan infrastruktur pada pengadilan;
- Segala biaya yang timbul dari persidangan elektronik sebagaimana pada ayat (1) dibebankan kepada Penggugat;
Keempat, Hakim telah fatal menafsirkan dan gagal memahami dalil permohonan praperadilan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi Mustaghfirin dan Bahrudin, dimana Hakim mengacu pada Pasal 2 ayat (1) Perma 4/2016 dan Pasal 77 KUHAP, yang sebenarnya lebih mengatur dalam konteks Tersangka dan Terdakwa yang pokok perkara kasus pidananya tidak sampai diputus di Pengadilan Negeri.
Padahal dalam permohonan praperadilan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh 2 (dua) warga nelayan Pulau Pari, didasarkan pada ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Dapat dibandingkan bahwa Pasal 2 ayat (1) Perma 4/2016 Juncto Pasal 77 KUHAP dengan Pasal 95 ayat (1) KUHAP memiliki perbedaan subjek hukum yang berhak mengajukan permohonan praperadilan tuntutan ganti kerugian. Bahwa Pasal 77 KUHAP membatasi subjek hukum yang berhak mengajukan ke Permohonan adalah Tersangka atau Terdakwa pada tingkatan penyidikan dan penuntutan. Sedangkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP dengan jelas memberikan hak ganti kerugian kepada seorang Terpidana yang telah diadili di tingkat peradilan.
Hakim Gagal Paham
Penafsiran secara serampangan oleh Hakim dalam perkara a quo sangat fatal dan sesat karena telah gagal memahami perbedaan mendasar hak seseorang untuk menuntut ganti kerugian atas sebuah proses hukum yang telah dijalani. Adapun perbedaan proses hukum dan status hukum seseorang telah didefinisikan dengan jelas dalam KUHAP, yaitu pada seseorang berstatus tersangka dalam tingkat penyidikan, seseorang berstatus terdakwa pada tingkat penuntutan, seseorang berstatus terpidana jika telah diadili di persidangan.
Dalam konteks permohonan praperadilan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh Mustaghfirin dan Bahrudin, keduanya merupakan orang yang pernah menjadi terpidana dan kemudian dinyatakan tidak bersalah pada putusan banding dan dikuatkan pada putusan kasasi, sehingga secara jelas Mustaghfirin dan Bahrudin sebenarnya berhak untuk menuntut ganti kerugian sebagaimana dasar hukum Pasal 95 ayat (1) KUHAP.
Bahwa Penetapan Praperadilan Permohonan Ganti Kerugian perkara No.8/Pid.Pra/2022/PN.Jkt.Utr dan No.9/Pid.Pra/2022/PN.Jkt.Utr oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadi preseden buruk, khususnya bagi korban kriminalisasi atau korban peradilan sesat yang semestinya mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi. Penetapan ini menjadi langkah mundur dalam upaya pemulihan hak-hak korban kriminalisasi atau korban peradilan sesat di Indonesia sehingga Negara gagal menjalankan kewajibannya sebagai entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia.
Tanggapan Bahrudin Atas Penetapan Hakim
Adapun tanggapan Bahrudin sebagai Pemohon menyatakan kekecewaannya atas Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada perkara a quo. Bahrudin menilai bahwa Hakim gagal melihat fakta kerugian materiil dan kerugian imateriil yang mereka alami.
“Saya sangat kecewa atas penetapan ini. Saya sebagai seorang ayah sekaligus kepala keluarga tidak bisa mencari nafkah untuk keluarga akibat kriminalisasi yang saya alami. Saya kehilangan penghasilan sebagai nelayan dan pedagang selama ditahan karena kriminalisasi ini. Terlebih saya kehilangan waktu bersama keluarga saya bahkan melihat anak-anak saya menangis”, ungkap Bahrudin setelah pembacaan keputusan.
Mustaghfirin menambahkan bahwa ia pun kecewa atas Penetapan Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut karena dari penetapan ini akan berpotensi hilangnya hak korban kriminalisasi seperti warga-warga yang sedang berkonflik hukum seperti warga Pulau Pari.
“Melalui keputusan ini, warga-warga yang sedang berkonflik hukum dengan korporasi seperti Pulau Pari menjadi rentan. Rentan atas kriminalisasi dan kemudian ketika menang atas kriminalisasi tersebut haknya untuk memperoleh ganti rugi malah hilang”, tegas Mustaghfirin setelah persidangan.
Berdasarkan hal tersebut, KOALISI SELAMATKAN PULAU PARI akan mengambil sejumlah langkah-langkah hukum maupun non-hukum untuk menindaklanjuti adanya putusan praperadilan yang merugikan 2 (dua) warga nelayan Pulau Pari ini. Tidak hanya itu, KOALISI SELAMATKAN PULAU PARI juga berharap agar Mahkamah Agung RI sebagai institusi yang menaungi Hakim Praperadilan untuk segera melakukan tindakan tegas atas putusan yang janggal tersebut agar tidak ada lagi kejadian atau preseden serupa yang merugikan kepentingan korban kriminalisasi yang sedang mencari keadilan.
Jakarta, 22 Agustus 2022
Hormat kami,
KOALISI SELAMATKAN PULAU PARI
Narahubung:
- Edi Mulyono – Forum Warga Peduli Pulau Pari (081808715117)
- Rasyid Ridha – LBH Jakarta (081213034492)
- Rehwinda – WALHI Jakarta (081319117808)
- Fikerman – KIARA (082365967999)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.