Kita semua tentu mengecam serangan terorisme yang terjadi secara berturut turut dalam dua minggu terahir ini; peristiwa di Rumah Tanahan Mako Brimob 9 Mei 2018, yang kemudian diikuti dengan serangan peledakan bom di tiga gereja di Surabaya (Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta) pada 13 Mei 2018 serta penyerangan Kantor Polda Riau pada 16 Mei. Doa, kekuatan, dukungan dan solidaritas kita semua untuk para korban dan keluarga baik dari masyarakat atapun anggota kepolisian.
Rangkaian peristiwa ini tentu saja diluar akal sehat dan mencederai kemanusiaan kita semua. Kewibawaan kita sebagai negara hukum, sebagai bangsa yang besar dipertaruhkan, mampukah kita melawan segala bentuk kekerasan, serangan terorisme, dan segala bentuk intoleransi dengan cara yang beradab, bermartabat dan menyeluruh, atau sebaliknya apakah kita memilih melawan dengan cara–cara pintas yang melawan hukum, yang menyalahkan dan mendelegitimasi hak asasi manusia, yang menafikan perbedaan dan keragaman. Tentu bukan pertanyaan terakhir yang kita harapkan. Cara – cara ini dikhawatirkan justru akan semakin berkontributif dalam menciptakan rantai kekerasan berikutnya, melemahkan langkah–langkah kontra radikalisasi dan upaya–upaya deradikalisasi, dan benih extermisme lainnya, termasuk polarisasi ditengah masyarakat.
Kami memahami kegentingan yang terjadi dan dampak dari tindakan keji yang dilakukan oleh para pelaku dan kelompoknya, dan kami memahami dilema dan tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam memerangi terorisme. Untuk itu penting untuk memastikan langkah–langkah yang menyeluruh dan bermartabat dalam menyikapi masalah ini, bukan sebaliknya, dijawab dengan respon reaktif yang mendelegitimasi HAM, dan cenderung menjadikan HAM sebagai “kambing hitam” dalam kegagalan mencegah terjadinya serangan terorisme sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, mantan anggota TNI, AM Hendropriyono, Ketua DPR Bambang Soesatyo atau Politisi lainnya.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, kami memberikan sejumlah cacatan kritis dan rekomendasi sebagai berikut;
Pertama, menyalahkan HAM dalam penanganan terorisme adalah pandangan yang reaktif, tidak proporsional, dan tidak memiliki justifikasi. Pernyataan ini mengabaikan berbagai faktor yang bersifat kompleks dalam persoalan terorisme. Dalam tatanan negara hukum yang demokratis, konsepsi hak asasi manusia telah memberikan standar dan pendekatan yang bisa ditempuh ketika ada atau terjadi pertentangan antara kepentingan publik dan hak seseorang, asas necessitas dan proporsionalitas harus dijadikan ukuran dalam mengatasi masalah tersebut. Hasil uji dari pendekatan tersebut akan menghasilkan sejauh mana margin apresiasi kita sebagai bangsa terhadap HAM. Namun demikian, beberapa hak individual yang bersifat non–derograble, seperti hak untuk bebas dari penyiksaan tidak dapat dikurangi sedikitpun. standar-standar HAM akan dapat meminimalisir risiko munculnya penyiksaan, salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, miscarriage of justice dan pelanggaran HAM lainnya. Dalam konteks inilah maka parameter HAM akan menguji apakah kita mampu memerangi terorisme dengan cara yang bermatabat dan akuntabel atau kita hanya mampu menjadi bangsa yang bersikap “barbar” yang mengabaikan standar hukum dan HAM sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru.
Kedua, Perumusan yang lebih komprehensif dalam strategi dan pendekatan yang lebih preventif dan mitigatif dalam memerangi terorisme patut dikedepankan. Menjadikan revisi UU Terorisme sebagai satu-satunya “pil ampuh” yang dianggap akan mampu menghentikan tindakan terorisme dan menjadi penyebab tunggal gagalnya pencegahan atas 5 (lima) peristiwa tindakan terorisme dalam dua minggu ini tidak sepenuhnya tepat. Perihal tidak memadainya hukum harus diuji berdasarkan praktik-praktik penerapan norma dan hukum itu sendiri yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum, termasuk menguji apakah kewenangan upaya paksa saat ini tidak memadai untuk menindak berbagai tindakan perencanaan, plotting, persiapan dan tindakan lainnya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang diduga atau diidentifikasi sebagai anggota kelompok teroris tidak terjangkau oleh norma hukum yang ada.
Berkenaan dengan tindakan preventif oleh pemerintah, penting dilakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap kinerja aparat keamanan, penegak hukum, Badan-badan intelejen negara dan juga instansi atau lembaga terkait lainnya, misalkan BNPT, Kementerian Hukum dan HAM, Kementrian Sosial, LPSK, Komnas HAM dan lembaga terkait lainnya, apakah selama ini pemerintah telah menerapkan atau membuat sebuah pencegahan dan penanggulangan yang efektif, terkoordinir yang berkontributif pada upaya kontra terorisme. Hal ini untuk pembelajaran atas kemungkinan kekurangan dan kelalaian baik langsung atau tidak langsung dalam implementasi kebijakan kontra-terorisme selama ini, sehingga masalah tidak hanya ditumpukan pada aturan apalagi menyalahkan HAM.
Ketiga, mekanisme akuntabilitas dalam penangangan kontra-terorisme juga harus menjadi prioritas bila upaya penindakan atau upaya paksa aktor keamanan dikedepankan. Upaya paksa tetap harus mengikuti dan mempertimbangkan standar-standar HAM khususnya guna mengeliminasi risiko munculnya penyiksaan, salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, miscarriage of justice dan pelanggaran HAM lainnya sehingga dalam penerapannya hukum berjalan dengan seimbang. Termasuk perbantuan TNI dalam penanggulangan terorisme harus dipastikan mengacu pada UU TNI tidak boleh bertentangan dengan UU TNI, Pasal 7 ayat (2) dan (3) dimana pelibatan militer harus melalui keputusan politik, memastikan tidak ada tumpang tindih dan tidak merusak kerangka penegakan hukum yang ada, termasuk memastikan revisi UU Peradilan militer harus dilakukan. Hal-hal yang berkaitan dengan masa penangkapan selama 14 hari dan penyadapan harus diiringi dengan ‘safeguard” dan mekanisme akuntabilitas yang independen dan memadai agar tidak menimbulkan potensi- potensi kesewenang-wenangan yang justru dapat mengakumulasi atau mengetalkan benih benih benih extremisme lebih lanjut.
Keempat, pemulihan atas korban tidak hanya pemulihan kepada korban dari aksi terorisme itu sendiri namun pendekatan dan pemulihan terhadap kelompok atau masyarakat terdampak, termausk kelompok terduga pelaku maupun keluarganya yang selama ini belum dapat dipenuhi oleh Negara lewat kewenangan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), BNPT, Kementerian sosial atau lembaga lainnya yang terkait. Tindakan pemulihan ini tidak hanya akan dapat meminimalisir kebencian dan ujaran kebencian, namun juga sebagai upaya deradikalisasi dan menaikkan kepercayaan kelompok masyarakat terhadap Negara yang telah menjalankan penegakan hukum dan pemenuhan atas hak asasi manusia kepada masyarakatnya.
Demikian pandangan ini kami sampaikan sebagai bagian upaya kontributif dalam menempatkan persoalan ini secara proporsional dan kontruktif, termasuk sebagai cara untuk terus mengingatkan pemerintah dan mengajak masyarakat untuk terpecah belah dan melawan terorisme dengan cara yang menyeluruh dan bermartabat.
KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Elsam, IMPARSIAL, PSHK, YAPPIKA, LBH APIK, ICJR, Setara Institute, Amnesty International Indonesia, AJAR, WALHI, PERLUDEM, KPA, Solidaritas Perempuan, LeiP, Jurnal Perempuan