Jakarta, bantuanhukum.or.id—Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kembali gelar sidang gugatan Reklamasi Pulau G, Kamis (03/03). Agenda sidang kali ini adalah mendengar dua keterangan saksi ahli dari penggugat. Dalam keterangannya di pengadilan, kedua ahli tersebut menjelaskan ihwal terjadinya pelanggaran izin pelaksanaan Reklamasi Pulau di Teluk Jakarta.
Subandono Diposaptono Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagai saksi ahli, dalam persidangan menjelaskan prosedur kewenangan dalam menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi. Menurutnya, izin pelaksanaan reklamasi di kawasan strategis nasional merupakan kewenangan Menteri.
“Jakarta merupakan kawasan stategis nasional sehingga kewenangan dalam menerbitkan izin reklamasi berada pada Menteri bukan pada Gubernur, hal tersebut mengacu pada UU Nomor 27 tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan peraturan presiden nomor 122 tahun 2012 tentang reklamasi,” Jelas Subandono.
Namun pada kenyataannya, izin Reklamasi Teluk Jakarta dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta, bukan oleh Menteri.
Subandono juga menjelaskan perihal pemanfaatan ruang laut melalui reklamasi. Menurutnya sebelum reklamasi harus ada terlebih dahulu Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi konflik dalam penggunaan ruang laut. Berdasarkan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 2014, izin reklamasi tidak dapat dikeluarkan hanya didasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), tetapi harus didasarkan RZWP3K.
“Hingga saat ini Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah RZWP3K sehingga sudah seharunya izin reklamasi tidak dapat diterbitkan,” tegasnya.
Kerusakan Lingkungan
Dr. Alan Koropitan, saksi ahli yang juga dihadirkan oleh penggugat, menjelaskan dampak negatif dari proyek reklamasi. Dalam presentasi singkat di depan Majelis Hakim ia menjelaskan bahwa Teluk Jakarta saat ini dalam keadaan tercemar oleh limbah rumah tangga dan industri.
“Limbah tersebut mengalir dari 13 sungai yang menuju Teluk Jakarta. Limbah tersebut mengendap menjadi sendimen dasar laut, Namun laju pencemaran pesisir dapat dinetralkan/dicuci melalui aliran arus laut,” terangnya.
Menurutnya, apabila reklamasi dilakukan, aliran arus laut akan terhambat dan menyebabkan penetralan pencemaran oleh arus laut tidak dapat dilakukan. Lebih lanjut, sedimentasi yang terjadi di Teluk Jakarta menjadi meningkat hingga 50 cm pertahunnya. Apabila reklamasi tetap dilanjutkan, kehidupan biota laut seperti ikan, kerang, dan bahkan mangrove akan rusak dan hilang. Selain itu karena arus sungai yang tertahan pulau, sendimentasi yang naik maka akan mengakibatkan banjir dijakarta semakin buruk.
Dr. Alan Koropitan juga menyampaikan bahwa setiap pulau yang akan direklamasi harus memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Penelitian lingkungan kepada 17 pulau secara bersama akan memperlihatkan dampak reklamasi dengan jelas. Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang menyesal melakukan reklamasi karena ternyata mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan hidup.
“Teluk Jakarta seharusnya direstorasi bukan direklamasi, restorasi adalah mengembalikan Teluk Jakarta ke fungsi asalnya sebagai tempat biota laut, menyeimbangkan lingkungan pesisir Jakarta untuk menahan arus, bukan malah melakukan reklamasi yang memperparah kondisi lingkungan hidup di Teluk Jakarta,” jelas Alan diakhir kesaksiannya.
Salah satu Kuasa Hukum penggugat Tigor Hutapea, S.H menyatakan puas dengan kesaksian kedua ahli. Hal tersebut benar-benar memperkuat gugatan yang disampaikan oleh nelayan.
“Dari keterangan ahli, terlihat bahwa Gubernur DKI Jakarta tidak memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin reklamasi di Teluk Jakarta dan terbukti bahwa reklamasi justru merusak lingkungan Teluk Jakarta,” kata Tigor.
Unjuk Rasa Dukung Reklamasi
Persidangan kali ini diiringi dengan sebuah unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pendukung reklamasi. Kelompok aksi ini dengan tegas menyatakan mendukung dilakukannya reklamasi, namun beberapa peserta aksi justru mengaku tidak tahu menahu jika aksi yang mereka ikuti adalah aksi untuk mendukung reklamasi.
“Katanya mau diajak jalan-jalan ke Bay Walk Pluit, tapi begitu sampai sana kami justru disuruh naik ke bis-bis yang sudah disiapkan, tau-tau sampe sini,” kata salah seorang massa aksi.
Beberapa massa aksi juga menyatakan menolak reklamasi karena mengetahui dampak reklamasi yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan memperburuk kehidupan nelayan Muara Angke. (Prilli & Tigor)