Jakarta, bantuanhukum.or.id–Minggu, 19 Oktober 2014, LBH Jakarta melanjutkan rangkaian Kalabahu Buruh I tahun 2014, materi pada sesi pertama di hari ini adalah materi Politik Hukum Perburuhan di Indonesia. Materi ini disampaikan oleh Simon dari Konfederasi KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) sebagai narasumber. Simon merupakan aktivis buruh yang concern dalam advokasi perburuhan. Di KASBI simon berada pada Divisi Hubungan Internasional Konfederasi KASBI. Bertindak selaku co-fasilitator adalah Haikal Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta di Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat (PSDHM).
Pada sesi materi ini dibuka oleh co-fasilitator, yang meminta para peserta membaca materi yang tersaji di buku acara Kalabahu Buruh selama lebih kurang 5 (lima) menit, kemudian co– fasilitator membagikan 3 (tiga) buah meta plan berbeda warna ke masing-masing peserta dan para peserta diminta menuliskan masing-masing 2 (dua) pendapatnya di 3 (tiga) kertas meta plan yang berbeda tentang kondisi politik hukum perburuhan di Indonesia pada 3 (tiga) orde, yakni orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Setelah peserta selesai kemudian masing-masing peserta menempelkan meta plan tersebut pada kertas plano di papan tulis yang telah dibuat 3 (tiga) lingkaran yang bertandakan masing-masing orde.
Kemudian peserta diminta 3 (tiga) orang perwakilannya dari peserta paling tua, paling muda, dan perempuan untuk menyampaikan pendapat mereka tentang kondisi politik hukum perburuhan di Indonesia pada masing-masing orde.
Dari penyampaian pendapat oleh peserta terdapat ciri khas masing-masing kebijakan politik hukum perburuhan di Indonesia, dimana pada masa orde lama peserta menggambarkan bahwa poltik hukum perburuhan saat itu bercirikan sosialis karena masih terbawa suasana perjuang kemerdekaaan, sedangkan pada masa orde baru kondisi politik hukum perburuhan terjadi pengekangan serikat buruh, dimana hanya ada satu serikat, dan suara buruh selalu dibungkam dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Pada orde reformasi salah seorang peserta menggambarkan politik hukum perburuhan dengan kata-kata “galau”. Karena tampak di permukaan pemerintah mencari aman dan seolah-olah menghadirkan instrumen hukum yang berpihak pada buruh, tetapi pada kenyataan praktiknya tidak demikian.
Simon kemudian memperkuat proses fasilitasi dengan menggambarkan bahwa hadirnya 3 (tiga) paket Undang-Undang, yakni UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan produk legislasi kehendak LOL (Letter of Intent) IMF, yang meliberalisasi sektor perburuhan di Indonesia dan mengurangi peran pemerintah dalam penyelesaian sengketa perburuhan di Indonesia, buruh dikonstruksikan untuk vis a vis dengan pemodal di Pengadilan apabila terjadi sengketa mengenai hak normatif dan lainnya. Serta permasalahan buruh alih daya yang merupakan perbudakan modern terhadap kaum buruh.
Simon juga menggambarkan arah perjuangan kaum buruh terkait dengan pemerintahan baru, “kalau buruh ingin sejahtera, maka buruh harus tetap selalu terorganisir dan terus berjuang”. ungkapnya.
Secara umum materi politik hukum perburuhan di Indonesia ini, diikuti dengan antusias oleh peserta dan banyak peserta yang bertanya dan urung pendapat dalam proses materi selama hampir lebih kurang 2 (dua) jam.(Haikal)