LBH Jakarta kembali melakukan kegiatan pemberdayaan komunitas di Pondok Pesantren Misykat Al-Anwar, Bogor (06/10). Kegiatan ini dihadiri oleh para santri dan mahasiswa. Pada pemberdayaan komunitas kali ini, LBH Jakarta berfokus pada penjelasan tentang gerakan sosial dan hak sipil, politik dan demokrasi. Topik tersebut sengaja dipilih mengingat kondisi negara yang sedang marak dengan gelombang aksi protes dari mahasiswa, buruh, nelayan, petani dan gerakan masyarakat sipil lainya terkait kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, contohnya UU KPK, RKHUP, UU Pertanahan, RUU PKS dan lain-lainya.
Pemaparan dimulai dengan penjelasan dari Pembina Pondok Pesantren Misykat Al-Anwar, Roy Murtadho atau biasa dipanggil Gus Roy mengenai gerakan sosial. Ia menjelaskan bahwasanya gerakan sosial lahir dari kegelisahan bersama bukan masalah individu. Gerakan sosial lahir dari kesadaran akan adanya ketimpangan kebijakan pemerintah yang lebih mementingan kepentingan para oligarki.
“Kondisi saat ini, kita menjadi masyarakat silent majority. Negara sedang tidak baik-baik saja tapi mayoritas tetap diam,” jelas Gus Roy.
Gus Roy juga menyinggung sikap represif yang dilakukan aparat dalam menghadapi gelombang aksi dari mahasiswa, buruh, petani, dam gerakan masyarakat sipil. Menurut Gus Roy kekerasaan yang terjadi memang diproduksi dan direproduksi oleh negara.
Sesi selanjutnya dengan materi hak sipil, politik dan demokrasi yang disampaikan oleh Shaleh Al Ghiffari selaku pengacara publik LBH Jakarta.
Dalam sesi ini Ghifar menjelaskan hak-hak sipil, politik dan demokrasi. Dalam materi ini Ghifar menekankan tentang perlindungan HAM adalah salah satu unsur negara demokrasi. Ia pun menyinggung hal yang sama dengan Gus Roy terkait negara yang lebih mementingkan kepentingan para oligarki ketimbang mendengarkan rakyat.
Sama seperti Roy Murtadho, Ghifar pun menyoroti perilaku represif aparat dalam menjaga keamanan demonstrasi.
“Ada mekanisme safe guards agar tidak adanya kesewenang-wenangan pembatasan. Dalam prinsip HAM, aparat penegak hukum tidak ikut campur dalam hal warga negara mengekspresikan hak politiknya. Perkap Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar Hak Asasi Manusia dalam Penanganan Perkara, adanya pembatasan dalam penanganan perkara tidak langsung tangkap, siksa dan tembak,” tegas Ghifar dihadapan santri Misykat Al-Anwar dan mahasiswa yang ikut sebagi peserta.
Santri dan mahasiswa tampak antusias mengikuti kegiatan pemberdayaan komunitas ini. Kegiatan ini ditutup makan siang bersama-sama dengan para pemateri, santri, dan mahasiwa. Harapanya ke depan kegiatan ini dapat mendekatkan akses pendidikan politik, HAM dan serta membangkitkan kesadaran hukum bagi masyarakat luas. (Amry)