Pengadilan Negeri Jakarta Barat kembali menyidangkan kasus Asep Sunandar bin Sobri, korban yang diduga salah tangkap (17/04). Sidang kali ini menghadirkan saksi a de charge dan ahli dari Komnas HAM. Saksi Salahuddin yang merupakan teman kerja dari Asep menyatakan bahwa dirinya pernah bertemu dengan orang-orang yang tinggal bersama Asep di kontrakannya saat penangkapan terjadi, yaitu Husni, Dicky dan Amrul. Ketiganya menyampaikan kepada Saksi bahwa mereka sempat ditangkap bersama-sama lalu dilepas tapi Asep tidak.
Persidangan Senin sore tersebut juga menghadirkan komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah sebagai ahli. Dalam persidangan ia menyatakan bahwa proses hukum harus memenuhi hak peradilan yang adil atau fair trial. Ia menekankan agar peradilan dapat menjamin hak atas integritas diri untuk tidak menerima penyiksaan, tidak ditangkap ataupun tidak ditahan secara sewenang-wenang.
“Demi tercapainya peradilan yang adil (fair trial), salah satu hak yang harus dijamin adalah hak untuk tidak dipaksa dalam memberikan kesaksian“, ungkap Roichatul Aswidah.
Roichatul Aswidah juga menerangkan tentang filosofi pemeriksaan tanpa siksaan yang bertujuan untuk menciptakan proses hukum yang bermartabat dan mengungkap fakta yang sebenar-benarnya.
“Yang Mulia, sebenarnya ketika pengakuan didapat dari penyiksaan, proses hukum sudah tidak bisa berlangsung secara adil. Keterangan yang didapat dari siksaan tersebut dianggap tidak mengandung kebenaran. Bisa jadi ada pengurangan atau tambahan fakta yang tidak sesuai. Seharusnya proses hukum tidak dilanjutkan. Kalo dilanjutkan, berarti proses selanjutnya juga tidak benar,” tuturnya melanjutkan.
Roichatul Aswidah menutup keterangannya dengan menyatakan bahwa BAP yang diperoleh dari penyiksaan, baik BAP terdakwa maupun saksi, tidak dapat dijadikan bukti atas tindakan materiil yang dituduhkan kepada seorang terdakwa.
Kuasa hukum Asep Sunandar, Bunga Siagian juga menyatakan bahwa Asep seharusnya tidak berada di proses peradilan ini, menurutnya semua pengakuan, baik dari Asep maupun para saksi adalah hasil dari penyiksaan di kepolisian.
“Kami mengecam keras penyiksaan dari Kepolisian dan berharap agar Hakim dapat memahami bahwa Asep adalah korban salah tangkap,” tegas Bunga.
Pada persidangan sebelumnya, terkuak fakta dalam persidangan bahwa Asep tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Saksi Mahkota Masrudin alias Adit menyatakan bahwa dirinya memang melakukan tindak pidana tersebut namun tidak bersama Asep dan Muhammad Enis, melainkan 2 orang lain yang saat ini masih berkeliaran di luar. Ia terpaksa harus mengiyakan keterlibatan Asep di Kepolisian karena disiksa. Adit pun menyatakan melihat Asep disiksa.
Berbeda dengan Adit, Muhammad Enis tidak kenal dengan Asep. Enis juga menyampaikan bahwa dirinya telah diputus pidana penjara selama 3 tahun. Ia tidak terima dan memutuskan untuk pikir-pikir. Namun karena tidak didampingi penasihat hukum dan dirinya tidak mengerti mekanisme hukum, jangka waktu pengajuan banding pun lewat dan Enis dianggap menerima putusan.
Sebelumnya diketahui Asep Sunandar bin Sobri, seorang tukang kain diduga menjadi korban salah tangkap akibat penyiksaan di kepolisian. Ia dituduh melakukan begal atau pencurian dengan kekerasan di sekitar daerah Tamansari. Dia disiksa diantaranya disetrum, dipukul, ditendang hingga kakinya ditembak. Namun, BAP tetap digunakan hingga ke persidangan. Terhadap perkara penyiksaan tersebut keluarga Asep sudah melaporkan ke Bareskrim Polri terkait pidana dan Propam terkait pelanggaran etiknya. (JCA)