Pers Rilis : 750 / SK-RILIS / VI / 2017
Catatan Kasus Penyiksaan Disepanjang Tahun Tahun 2013 s.d 2016
Konvensi Anti Penyiksaan telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan pada tanggal 26 Juni 1987. Dengan menempatkan tanggal 26 Juni sebagai hari peringatan atas dukungan korban penyiksaan sedunia adalah sebuah keputusan kolektif untuk menegaskan bahwa penyiksaan terhadap manusia bukan saja tindakan yang tidak bisa diterima oleh nalar sehat, namun juga merupakan kejahatan absolut yang harus ditentang oleh seluruh negara di dunia.
Secara khusus Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan tersebut sejak tanggal 28 September 1998 melalui UU No. 5 tahun 1998 atau kurang dari setahun setelah Konvensi tersebut ditetapkan. Indonesia juga merupakan negara pertama yang menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan tersebut. Lewat ratifikasi tersebut Indonesia menegaskan komitmennya untuk menghentikan praktek-praktek penyiksaan. Momentum ratifikasi ini kemudian menjadi penting untuk pemerintah dalam mendorong fungsi pengawasan dan akuntabilitas aktor keamanan yang masih menggunakan praktek-praktek penyiksaan, namun dalam perjalannya selama 19 (sembilan belas) tahun ini sangat disayangkan praktek penyiksaan masih saja terjadi terutama praktek penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Berkaca dari rentannya pelanggaran terhadap hak-hak tersangka dan/atau terdakwa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang merupakan organisasi masyarakat sipil yang salah satu fokus kerjanya melakukan advokasi dan monitoring kebijakan melalui kegiatan penelitian yang berjudul Kepolisian dalam Bayang-Bayang Penyiksaan (Catatan Kasus Penyiksaan Sepanjang tahun 2013 s.d 2016), LBH Jakarta hendak memaparkan penggambaran praktek-praktek penyiksaan yang diadukan ke LBH Jakarta terutama yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Dari hasil penelitian terebut dalam diketahui bahwa Di sepanjang tahun 2013 s.d 2016 terdapat 37 pengaduan kasus terkait praktek penyiksaan yang di laporkan ke LBH Jakarta untuk mendapatkan bantuan hukum yang mana praktik penyiksaan tidak hanya dirasakan terhadap orang dewasa, namun juga dirasakan oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Penyiksaan tersebut bukan hanya melukai secara fisik, namun juga melakukan penyiksaan secara psikis, verbal dan seksual, yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak kepolisian dengan tujuan mengejar pengakuan dari seorang tersangka (sebanyak 64% koran penyiksaan mengaku dipukuli).
Bahwa salah satu penyebab polisi berani melakukan praktek penyiksaan dikarenakan, para korban merupakan kategori masyakat miskin (sebanyak 70% korban penyiksaan merupakan orang yang tidak memiliki pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan tetap) dan buta hukum yang tidak mengetahui hak-haknya terutama hak atas bantuan hukum. Terkait dengan pemenuhan hak atas Bantuan Hukum dari 37 kasus penyiksaan yang diadukan ke LBH Jakarta hanya 1 orang yang mengatakan mendapatkan dampingan dari seorang pengacara namun pengacara tersebut tidak benar-benar melakukan pemberian bantuan hukum, hal tersebut dikarenakan pengacara tersebut hadir ketika pihak kepolisian yang melakukan penyiksaan selesai melakukan pemeriksaan terhadap dirinya.
Dari data yang dikumpulkan LBH Jakarta, dapat diketahui bahwa praktik penyiksaan lebih banyak dirasakan korban pada tahap pemeriksaan, dari 37 kasus penyiksaan yang diadukan hanya 1 orang korban mengaku mendapatkan penyiksaan pada tahap penahanan dan pemeriksaan. sebanyak 2 orang orang korban penyiksaan mengaku mendapatkan penyiksaan pada tahap penangkapan dan pemeriksaan yang mana 1 di antara 2 korban tersebut hingga meninggal pada tahap penangkapan dan yang lainnya pada tahap pemeriksaan di kepolisian;
Ironinya pihak kepolisian melakukan penyiksaan berada diberbagai tingkatan, baik pada tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) sampai dengan Kepolisian Daerah (Polda). Dari pengaduan yang diterima LBH Jakarta tersebut sebanyak 17% atau 5 korban penyiksaan dilakukan oleh polisian yang tidak terindetifikasi, sebanyak 15% atau 3 korban penyiksaan dilakukan oleh kepolisian pada tingkatan Polda, sebanyak 26% atau 9 korban penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian pada tinkatan Polsek dan sebanyak 44% atau 21 korban penyiksaan dilakukan oleh kepolisian pada tingkat Polres.
Bahwa dalam melakukan melakukan aktifitas pemberian bantuan hukum kepada korban penyiksaan LBH Jakarta telah melakukan berbagai cara seperti memberikan bantuan hukum di Pengadilan, Melaporkan praktek penyiksaan ke Propam, mengajukan gugatan Praperadilan terkait penetapan tersangka yang tidak sah dan/atau terkait ganti kerugian atas penagkapan sewenang-wenang dan praktek penyiksaan hingga melaporkan pelaku penyiksaan dalam ranah hukum pidana. Dan tidak dapat dipungkiri dalam mengadvokasi kasus penyiksaan tersebut LBH Jakarta memiliki beberapa kendala, antara lain yaitu:
• Pertama, kurangnya perspektif hakim terhadap praktik penyiksaan. Hakim sering kali tidak mengindahkan pengakuan korban yang telah mengalami pnyiksaaan bahkan memberatkan korban untuk membuktikan praktek penyiksaan diluar proses perkaranya yang sedang berjalan;
• Kedua, tidak berjalannya fungsi jaksa sebagai pengendali perkara yang mana jaksa. Selama ini jaksa hanya memeriksa perkara berdasarkan dokumen dan bukti yang diberikan penyidik tanpa melakukan pengecekan kembali apakah dokumen dan bukti yang diberikan oleh penyidik didapatkkan tanpa melakukan perbuatan melawan hukum seperti melaluib praktek penyiksaan;
• Ketiga, belum adanya peraturan khusus mengenai penyiksaan dan ganti rugi. Indonesia yang telah hampir 19 tahun meratifikasi Konvensi tersebut sampai saat ini belum memiliki peraturan yang secara khusus dan efektif untuk mencegah ataupun praktek penyiksaan selain itu Regulasi yang ada masih mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia;
• Keempat, Buruknya Pengawasan Serta Penindakan Kepolisian. LBH jakarta kerap mengalamai kesulitan karena pihak kepolisian tidak mau menerima laporan tersebut. Sampai akhirnya laporan tersebut diterima dan LBH juga melaporkan tindakan penyiksaan tersebut ke Propam Polri, akan tetapi para pelaku penyiksaan hanya diberikan hukuman yang ringan seperti, surat teguran, atau yang paling berat hanya penundaan pendidikan selama 6 bulan. Tentu saja hukuman tersebut tidak setimpal dan terkesan formalitas saja.
Berdasarkan pemaran diatas LBH Jakarta mendesak:
1. Pemerintah untuk segera melakukan reformasi terhadap KUHP yang mengatur regulasi khusus tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia dan KUHAP yang mengatur keberadaan Hakim komisaris sebagai pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam KUHAP dan menguatkan peran Kejaksaan sebagai pengendali perkara sehingga Jaksa tidak secara serta merta menerima dokumen dari penyidik terutama yang didapatkan dari perbuatan melawan hukum seperti penyiksaan;
2. Pemerintah segera mengatur regulasi yang mengatur pemulihan hak-hak korban penyiksaan, hal tersebut dikarenakan Regulasi yang ada masih mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, Pemerintah harus untuk membentuk badan independen untuk melakukan penyelidikan dan memeriksa kasus-kasus penyiksaan, serta menyertakan laporan hasil investigasi Komnas HAM;
3. Polisi sebagai pelaku dominan penyiksaan harus melakukan pembenahan diri pada tubuh kepolisian, seperti Adanya peningkatan kapasitas dalam melakukan investigasi tanpa penyiksaan, sehingga proses penegakan hukum disandarkan pada integritas, performa dan kemampuan intelektual, bukan sekedar kekuatan fisik (penyiksaan) dan diimbangi dengan penindakan yang tegas dan transparnsi dalam proses penindakan polisi sebagai pelaku penyiksaan dari lembaga kepolisian bukan malah menutupi kesalahan;
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung: Ayu Eza Tiara (0821 1134 0222)