“PERBUDAKAN GAYA BARU”
Laporan Sistem Kerja Kontrak pada Buruh Transportasi
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta & Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI)
Dalam berbagai tulisan tentang perburuhan seringkali dijumpai adagium yang berbunyi “Pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan,”. Pekerja dikatakan sebagai tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa adanya pekerja, tidak akan mungkin suatu perusahaan akan menjalankan usahanya, tanpa ada perusahaan yang menjalankan usahanya, maka tidak ada pula pembangunan di negara kita ini.[1]
Seperti diketahui bahwa tujuan hukum perburuhan adalah melaksanakan keadilan sosial dalam bidang perburuhan yang diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh terhadap kekuasaan, dan kesewenang-wenangan majikan. Perlindungan buruh dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan-peraturan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam peraturan per-undang-undangan tersebut benar dilaksanakan semua pihak, karena keberadaan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi juga diukur secara sosiologis, dan filosofis.
Perkembangan hukum perburuhan pasca reformasi mengalami perubahan. Salah satu hasil produk hukum pasca reformasi adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Salah satu substansi hukum yang ada di dalam Undang-Undang tersebut adalah mengenai perjanjian kerja. Bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pihak pekerja dengan pengusaha selaku pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Perjanjian kerja tersebut menyebabkan adanya hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan[2]. Terdapat dua jenis perjanjian kerja ditinjau dari jangka waktu, diantaranya adalah: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Regulasi terkait sistem kerja kontrak atau PKWT di Indonesia diatur melalui UU Ketenagakerjaan dan juga Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmenakertras 100/2004).
Sistem kerja kontrak menjadi permasalahan baru, seringkali terjadi permasalahan dan penyimpangan dalam hal pelaksanaan perjanjian yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan menyebabkan kerugian bagi para buruh ataupun pekerja. Salah satu penyimpangan yang dilakukan perusahaan adalah tidak mengangkat buruh/pekerja sebagai pekerja tetap bagi mereka yang telah bekerja lebih dari 5 tahun[3]. Selain itu, implikasi hukum bagi para buruh kontrak adalah tidak mendapatkan pesangon pada saat mengundurkan diri dari pekerjaannya. Puncak dari permasalahan sistem kerja kontrak ini adalah dapat berujung terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi buruh kontrak atau PKWT. Buruh Kontrak juga terancam tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya akibat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja dari pihak perusahaan 30 hari sebelum Hari Raya[4].
Berkaca dari rentannya buruh yang bekerja dengan status PKWT, maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta akan melaksanakan penelitian partisipatif kepada Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia yang anggotanya diikat dengan perjanjian kerja kontrak dan kemitraan di wilayah DKI Jakarta sebagai salah satu bentuk advokasi kebijakan melalui penelitian di bidang perburuhan.
UNDUH LAPORAN LENGKAPNYA
[1]Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni dan Zaeni Asyhadie, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, halaman 95.
[2] R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), halaman 110.
[3] Hukum Online, Karena Buta Hukum, 10 Tahun Berstatus Karyawan Kontrak, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50614533ef589/karena-buta-hukum-10-tahun-berstatus-karyawan-kontrak, diakses tanggal 26 Juli 2016.
[4] Hukum Online, Ketentuan THR bagi Karyawan Kontrak, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51e563b8ca0dd/ketentuan-thr-untuk-karyawan-kontrak, diakses tanggal 26 Juli 2016.