Sidang Lanjutan Gugatan PJ Kepala Daerah – 2 Februari 2023
Pada Kamis, 2 Februari 2023, telah berlangsung sidang lanjutan gugatan Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah terkait polemik pengangkatan Penjabat Kepala Daerah di PTUN Jakarta. Persidangan berlangsung secara elektronik dengan agenda Replik atau pemberian tanggapan dari Para Penggugat yaitu warga masyarakat atas Jawaban Presiden RI dan Mendagri selaku Tergugat yang disampaikan pada persidangan sebelumnya, Kamis 26 Januari 2023.
Latar Belakang Gugatan PJ Kepala Daerah
Gugatan ini diajukan pada 28 November 2022 lalu oleh para individu dan organisasi pegiat demokrasi. Yang menjadi objek pertama yang digugat adalah perbuatan tidak bertindak (Omission) oleh Presiden RI dan Mendagri yang tidak menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur mengenai penunjukan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah sebelum Pemilu serentak pada 2024. Adapun objek gugatan kedua adalah konsekuensi logis dari tidak dilakukannya tindakan yang pertama, yaitu perbuatan melawan hukum pemerintah dalam pengangkatan 88 penjabat kepala daerah sejak 12 Mei 2022 hingga 25 November 2022 tanpa didahului pembentukan peraturan pelaksanaan yang mengakibatkan prosesnya sarat konflik kepentingan dan menimbulkan polemik meluas di berbagai daerah.
2 Putusan MK Terkait PJ Kepala Daerah
Perlu diketahui bahwa telah terdapat 2 Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan MK No: 67/PUU-XIX/2021 dan No: 15/PUU-XX/2022 yang menguji konstitusionalitas Pasal 201 UU 10/2016 yang mengatur mengenai penunjukan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah sebelum Pemilu serentak pada 2024. Meskipun kedua putusan tersebut amarnya menolak permohonan, namun terdapat pertimbangan hukum utama yang membangun amar putusan (Ratio Decidendi) dimana Hakim MK yang penting untuk dikutip langsung sebagai berikut: “Perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
5 Poin Tanggapan LBH Jakarta atas Jawaban Presiden dan Mendagri
Terdapat 5 poin penting yang dapat LBH Jakarta sampaikan sebagai kuasa hukum Para Penggugat terkait tanggapan atas jawaban Presiden dan Mendagri selaku Tergugat, sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah Bersikukuh tetap menolak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Jawabannya, Presiden RI dan Mendagri kompak menyatakan bahwa pertimbangan penerbitan peraturan pelaksanaan dalam putusan MK tidak mengikat karena tidak diperintahkan dalam putusan. Sikap ini sudah jauh-jauh hari disampaikan di berbagai media baik oleh Mendagri ataupun Menkopolhukam. Jawaban ini justru semakin menguatkan pembangkangan hukum pemerintah terhadap konstitusi. Pasalnya, dalam tafsir konstitusi maupun panduan hukum acara yang disusun Mahkamah Konstitusi, Ratio Decidendi Putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat dan dijadikan sebagai landasan hukum, sebab pertimbangan/pendapat hakim tersebut dapat dianggap sebagai tafsiran dan interpretasi hakim terhadap suatu perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sikap ini semakin menguatkan pembangkangan hukum Pemerintah terhadap tafsir konstitusi atas keberlakuan UU 10/2016.
Kedua, Presiden RI melempar tanggung jawab kepada Mendagri. Dalam jawabannya, Presiden RI menyatakan tidak berwenang dalam menetapkan peraturan pelaksanaan, karena secara prosedural, hingga jawaban diberikan, belum ada permohonan izin prakarsa dari kementerian terkait yaitu Mendagri untuk membuat peraturan pelaksanaan terkait penjabat kepala daerah. Hal ini dijadikan pembelaan bahwa Presiden RI tidak melanggar hukum. Tentu saja penjelasan tersebut sangat menyesatkan sebab Presiden RI berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dimana peran Menteri hanya membantu tugas Presiden menjalankan kewenangannya. Dalam UU 12/2011 kewenangan atributif penerbitan Peraturan Pemerintah/ Peraturan Presiden untuk menjalankan UU dimiliki oleh Presiden RI dan Menteri terkait membantu mengkoordinasikan. Sikap Presiden yang tidak menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan perintah konstitusi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan 17 ayat (2) huruf b UU 30/2014.
Ketiga, Mendagri bersikap tidak konsisten tentang pentingnya peraturan pelaksanaan penjabat kepala daerah. Dalam jawabannya, Mendagri menyatakan peraturan pelaksanaan penjabat kepala daerah tidak diperlukan karena peraturan saat ini yang tersebar di berbagai ketentuan sudah dianggap cukup. Pernyataan tersebut tidak konsisten dengan berbagai pernyataan Mendagri beberapa bulan lalu yang menyatakan akan segera menyusun rancangan peraturan pelaksana penjabat kepala daerah merespon desakan publik, DPR RI hingga rekomendasi Ombudsman RI. Sayangnya hingga kini peraturan pelaksanaan yang dijanjikan tersebut juga urung dibuat.
Keempat, Ada upaya pengaburan fakta oleh Presiden dan Mendagri tentang upaya administratif Penggugat. Dalam jawabannya, Para tergugat menyatakan bahwa gugatan Penggugat seharusnya tidak dapat diterima karena Prematur, sebab tidak didahului dengan adanya keberatan administratif maupun banding administratif. Presiden dan Mendagri kompak menyatakan tidak pernah menerima surat keberatan administratif dari Para Penggugat. Sayangnya, hal tersebut sangat mudah dibantah sebab Penggugat telah menyampaikan keberatan pada 4 Juli 2022 dan banding pada 20 Juli 2022 disertai tanda terima dan diikuti berbagai pemberitaan media. Ironisnya, Mendagri pernah menyampaikan tanggapan atas surat tersebut pada 14 Juli 2022 yang menolak permintaan dan menyatakan pengangkatan penjabat kepala daerah telah sesuai prosedur dan tidak diperlukan peraturan pelaksanaan.
Kelima, pengangkatan 88 penjabat kepala daerah pada 2022 tanpa didahului pembentukan peraturan pelaksanaan adalah Perbuatan Melawan Hukum Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Baik Presiden RI dan Mendagri dalam jawabannya menyatakan pihaknya tidak melanggar hukum apapun dan berwenang dalam pengangkatan penjabat kepala daerah tanpa harus membentuk peraturan pelaksanaan terlebih dahulu. Padahal, MK telah memberikan tafsir konstitusi bahwa penunjukan penjabat kepala daerah bersifat demokratis dan tidak melanggar asas-asas Pemilu sepanjang dibentuk peraturan pelaksanaan terlebih dahulu. Tidak hanya itu, permintaan serupa juga dikeluarkan Ombudsman RI dalam tindakan korektifnya atas hasil pemeriksaan yang menemukan adanya maladministrasi Pemerintah dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Pengabaian pemerintah ini melanggar prinsip administrasi pemerintahan dalam UU 30/2014 dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Persidangan selanjutnya akan berlangsung kembali secara elektronik pada 9 Februari 2023 dengan agenda duplik/ tanggapan Pemerintah atas Replik Penggugat. LBH Jakarta selaku kuasa hukum Penggugat berharap publik dapat terus mendukung gugatan ini sebab penyalahgunaan kekuasaan dan pembangkangan hukum pemerintah terhadap konstitusi tidak boleh dibiarkan.
Hormat Kami
LBH JAKARTA
Kuasa Hukum Penggugat
Narahubung:
Charlie Albajili (087819959487)
Jihan Fauziah Hamdi (081284676829)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.