Gugatan Meikarta Terhadap Konsumen – 30 Januari 2023
(30/01) PT. Mahkota Sentosa Utama (PT. MSU) selaku pengembang Apartemen Meikarta melakukan gugatan kepada 18 konsumennya yang dinilai telah mencemarkan nama baik perusahaan. Dalam gugatan yang diajukan oleh PT MSU, mereka meminta ganti rugi materil dan imateril yang mencapai Rp 56,1 Milyar kepada Para Tergugat. Gugatan ini terdaftar dengan No. Perkara 1194/Pdt.G/2022/PN Jkt.Brt tertanggal 23 Desember 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Selain itu, pada gugatan ganti rugi, PT. MSU juga meminta Para Tergugat untuk berhenti menyiarkan berita yang tidak baik mengenai perusahaan di media apapun serta menyampaikan permohonan maaf secara terbuka di tiga harian koran nasional serta menuliskan surat resmi kepada Bank Nobu dan pihak lain yang telah didatangi tergugat.
Adanya gugatan ini telah menunjukkan adanya kerentanan bagi konsumen akibat relasi kuasa yang timpang antara PT. MSU dengan para konsumennya. Atas adanya gugatan ini LBH Jakarta menyatakan tindakan PT. MSU merupakan bentuk praktik buruk gugatan strategis terhadap partisipasi publik atau strategic litigation against public participation (SLAPP), membatasi kebebasan berekspresi dan mengabaikan kewajiban pemenuhan hak-hak konsumen.
Korban Pencemaran Nama Baik Harus Perseorangan
Terhadap upaya gugatan Meikarta terhadap 18 konsumennya yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM), LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, seharusnya Korban dari pencemaran nama baik adalah orang perseorangan sehingga gugatan pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh PT MSU tidaklah menjawab permintaan dari Para Konsumen. Jika melihat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI mengenai Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjelaskan yang dimaksud dengan korban dalam kasus pencemaran nama baik haruslah orang perseorangan dengan identitas yang jelas dan bukanlah institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
Penjelasan yang komprehensif tersebut, juga seharusnya diikuti dengan memaknai pasal-pasal serupa di luar dari KUHP dan UU ITE seperti yang diatur dalam Pasal 1372 KUHPerdata. Pasal 1372 tersebut memberikan batasan Hakim harus memperhatikan berat-ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan.
PT MSU Melihat Celah Pencemaran Nama Baik
Dalam hal ini PT. MSU memanfaatkan celah yang seharusnya dalam penggunaan pasal-pasal dengan klasifikasi pencemaran nama baik/penghinaan haruslah dimaknai sama dengan pasal yang ada dalam UU ITE sejalan dengan pertimbangan Putusan MK No. 1/PUU-IX/2011:
[3.14.3] Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan dengan dicabutnya Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP karena bertentangan dengan UUD 1945 […] karena permasalahan pencemaran nama baik pada hakikatnya selain diatur dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP juga diatur dalam Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 318 ayat (1) KUHP, dan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu permasalahan pencemaran nama baik cukup diatur oleh pasal-pasal tersebut. Menurut Mahkamah pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan yang mengklasifikasikan macam-macam dari delik penghinaan dan pidana yang dikenakan pada pelaku penghinaan. Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam implementasinya;
Pertimbangan Hakim yang progresif (judicial activism) dalam memeriksa Perkara 1194/Pdt.G/2022/PN Jkt.Brt sangatlah dibutuhkan untuk menghadirkan keadilan bagi Para Konsumen yang seharusnya mendapatkan hak-haknya akan tetapi harus menerima hambatan berupa gugatan dari PT. MSU. Mirisnya, pasal-pasal pasal-pasal defamasi dimuat kembali ke dalam UU No. (KUHP) juga menjadi ancaman demokrasi bukan hanya dalam penggunaan tuntutan pidana dari korban perseorangan akan tetapi juga berlaku terhadap badan/lembaga negara yang semestinya terlepas dari kritik.
Hak Konsumen Terlanggar
Kedua, Dalam kasus ini Para Konsumen telah terlanggar haknya sebagaimana yang dilindungi dalam UU Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 4 angka 4 dan 5 UU Perlindungan Konsumen menyatakan hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan serta mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Selain itu, Pasal 4 angka 8 UU a quo juga menjelaskan hak konsumen tentang mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian jika barang/jasa tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 28D dan 28E ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian yang adil serta berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Maka, sudah sepatutnya juga pemerintah tidak berdiam untuk segera menyelesaikan permasalahan ini agar tidak berlarut dan menutup celah kerentanan yang berulang terhadap konsumen.
Praktik SLAPP oleh Korporasi
Ketiga, Gugatan yang PT. MSU yang ditujukan kepada Para Tergugat adalah praktik SLAPP yang menjadi ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi (freedom of expression), kebebasan berkumpul (freedom of assembly) dan hak memperoleh informasi untuk kepentingan publik (right to access public information). Praktik ini juga menimbulkan masalah bagi sistem peradilan dan supremasi hukum secara lebih umum karena pengadilan ditempati oleh gugatan perdata atau pidana bersifat menghambat atau merintangi yang diajukan oleh individu atau perusahaan yang memanfaatkan institusi demokrasi untuk merusak pilar demokrasi.
Pembiaran terhadap kasus pembatasan kebebasan berekspresi nantinya akan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Perusahaan atau Pemerintah apabila masyarakat berbeda pendapat, mengkritik, ataupun merasa dirugikan terhadap kebijakan maupun kelalaian yang dilakukan oleh Perusahaan atau Pemerintah. Pasal 28 juga mengatur bahwa negara wajib menjamin kebebasan dalam berserikat, berkumpul ataupun mengeluarkan pikiran. Pembatasan kebebasan berekspresi dapat menjadi legitimasi dari pemegang kekuasaan untuk merampas kebebasan berpendapat, ditambah lagi pembatasan itu mulai diatur di dalam ranah digital seperti hal nya menggunakan UU ITE untuk membatasi kebebasan berekspresi dengan dalih pencemaran nama baik seperti pada kasus konsumen PT. MSU, hal tersebut justru membuat masyarakat yang awalnya mencari keadilan atas haknya namun malah justru digugat kembali oleh Perusahaan atau Pemerintah.
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Kebebasan berpendapat dan berekspresi masuk dalam kategori hak yang dapat dibatasi (derogable rights). Pembatasan terhadapnya dibatasi dengan pembatasan yang sangat terbatas dan harus dibuat dengan hati–hati dan harus sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, maupun prinsip-prinsip pembatasan yang diakui, seperti Prinsip Siracusa, Standar Minimum Paris, Prinsip Johannesburg, Prinsip Camden dan Rencana Aksi Rabat yang menentukan ambang batas dalam kebebasan berbicara (freedom of speech) yang mengarah pada ujaran kebencian berlandaskan SARA.
Bahwa standar penafsiran hukum atas kriteria pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip pembatasan tersebut adalah sebagai pembatasan HAM yang diizinkan (permissible limitations) yang merujuk pada beberapa hal secara kumulatif, yaitu diatur oleh hukum (prescribed by law), ketertiban umum (public order), harus memenuhi Pasal 19 ayat (3) dan proporsionalitas pembatasan terhadap tujuan yang ditentukan (necessary).
3 Desakan LBH Jakarta
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, LBH Jakarta mendesak:
- Presiden RI dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang untuk segera menghadirkan UU Anti-SLAPP dan menghapus segala Pasal mengenai Pencemaran Nama Baik dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia;
- PT. MSU untuk mencabut gugatan dan segera melaksanakan kewajiban kepada Para Konsumen;
- Pelaku Usaha, Korporasi dan Pengembang untuk tidak melakukan praktik buruk SLAPP yang membatasi keterlibatan partisipasi publik dan memberikan hambatan bagi konsumen dalam mendapatkan hak-haknya.
Narahubung:
Alif Fauzi Nurwidiastomo (0851-5611-2232)
Citra Referandum (0857-7479-8749)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.