Siaran Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Menanggapi statement Wakil Ketua DPR RI mengenai Darurat Sipil dan Menhan RI, KASAD dan Persetujuan Panglima TNI Terkait Penambahan Kodam
Pada tanggal 10 Februari 2023, Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus menyatakan bahwa, “Akibat adanya peristiwa penyanderaan di Nduga tersebut, saat ini situasi Papua sedang dalam status darurat sipil (baca: tempo.co)”. Pernyataan tersebut disampaikan sebagai respons atas penyanderaan pilot pesawat Susi Air oleh TPNPB-OPM.
Pernyataan Wakil Ketua DPR RI yang menyatakan bahwa Papua berada dalam status Darurat Sipil tidak hanya keliru, tetapi juga melampaui kewenangannya. Sebab dalam kesempatan sebelumnya Menkopolhukam RI berulang kali menyatakan bahwa situasi keamanan Papua dalam status Tertib Sipil. Selain itu, dalam Pasal 1 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959 Tentang Penetapan Keadaan Bahaya, yang memiliki kewenangan untuk menyatakan keadaan darurat sipil adalah Presiden sebagai Panglima tertinggi angkatan perang.
Pernyataan tersebut tentu berpotensi membawa dampak serius, mengingat status Darurat Sipil memiliki cara penyikapan yang berbeda dibanding status tertib sipil. Diantaranya dapat melegitimasi penambahan pasukan non-organik, sehingga berpotensi menguatkan spiral kekerasan di Papua. Persoalan keamanan di Papua, termasuk berkaitan dengan penyanderaan tersebut, seharusnya berorientasi kepada proses penegakan hukum, bukan malah meng insinuasi keadaan bahaya yang justru dapat menciptakan ketakutan lebih lanjut. Oleh karena itu, kami menilai pernyataan Wakil Ketua DPR RI tersebut sangat berbahaya bagi kebebasan sipil, tidak kondusif terhadap upaya membangun rasa aman orang Papua, serta jaminan penghormatan dan perlindungan HAM di Papua.
Persoalan lainnya yang juga kami soroti adalah rencana penambahan Kodam di setiap Provinsi. Sebelumnya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (11 Februari 2023) dan KASAD Dudung Abdurachman (10 Februari 2023) menyatakan ke depannya akan menambah jumlah Kodam dan dikatakan sudah mengantongi persetujuan Panglima TNI, sehingga setiap provinsi akan memiliki Kodam nantinya. Kami memandang bahwa pernyataan kedua pejabat tersebut tidak berdasar, sangat berbahaya, dan merupakan kemunduran bagi perkembangan Reformasi TNI dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Kami memandang bahwa pernyataan Prabowo Subianto, KASAD Dudung Abdurachman, dan Persetujuan Panglima TNI tersebut juga mengkhianati semangat Reformasi 1998, khususnya penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI yang salah satu agendanya adalah restrukturisasi Komando Teritorial (Koter).
Kami juga mengingatkan agar Prabowo Subianto dan Dudung Abdurahman serta Panglima TNI agar kembali belajar sejarah tentang keberadaan Koter yang di masa Orde Baru difungsikan untuk mendistribusikan peran politik ABRI di daerah, termasuk menjalankan kontrol dan represi terhadap masyarakat yang menentang rezim Soeharto. Terlebih hierarki koter menyerupai struktur pemerintahan sipil di daerah yang hierarkinya sampai ke kecamatan dan memiliki babinsa di level terbawah.
Oleh karena itu, ketika doktrin dwifungsi ABRI yang menjadi pijakan dasar militer berpolitik sudah dihapus pada masa Reformasi, seharusnya struktur koter justru direstrukturisasi bahkan dihapus. Bukan malah ditambah, bahkan menyesuaikan dengan struktur administrasi pemerintahan daerah yang ada. Hal tersebut sebagaimana Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Pergelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.”
Oleh karena itu kami mendesak:
1. Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus untuk segera mengklarifikasi dan mencabut pernyataannya terkait dengan status Darurat Sipil di Papua;
2. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI melakukan pengawasan dan penyelidikan terkait dengan ucapan melampaui wewenang yang disampaikan Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus;
3. Presiden segera mengevaluasi kinerja Menhan RI, Panglima TNI dan KASAD yang tidak sesuai dengan mandat reformasi mengenai penambahan Kodam di tiap Provinsi.
4. Presiden segera melanjutkan evaluasi reformasi TNI khususnya restrukturisasi Komando Teritorial (KOTER);
5. Presiden dan Panglima TNI segera melaksanakan janjinya untuk menyelesaikan permasalahan Papua dengan pendekatan yang humanis.