LBH Jakarta menggelar acara diskusi dan bedah buku karya Bambang Widjojanto yang berjudul “Berkelahi Melawan Korupsi, Tunaikan Janji, Wakafkan Diri” Selasa (07/02) di LBH Jakarta. Buku ini dibenah guna mengetahui apa saja yang telah dilakukan, dan apa yang dihadapi oleh BW (sapaan akrab Bambang Widjojanto) selama menjabat sebagai Komisioner KPK. Hadir sebagai panelis dalam diskusi tersebut, Emerson Yuntho, Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdul Fickar Hadjar, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dan Siti Rakhma Mary, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, serta Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta.
Buku Berkelahi Melawan Korupsi ini merupakan buku yang mayoritas isinya sudah diaktualisasikan dan menjadi bagian dari program KPK. Dalam buku ini juga, BW banyak memasukkan informasi-informasi yang belum diketahui oleh publik. Salah satunya tentang investigasi dan penyidikan yang dilakukan, serta bagaimana cara untuk menghadapi ancaman dan tantangan dalam memberantas korupsi.
Melalui buku ini pula, BW menceritakan perjalanan kasus-kasus penting yang ia hadapi semasa menjabat sebagai Komisioner KPK. Kasus-kasus tersebut ia tulis dengan harapan melalui bukunya masyarakat bisa belajar dan berefleksi tentang kasus-kasus korupsi. Beberapa kasus besar yang ada dalam buku tersebut diantaranya, kasus korupsi Dinasti Banten, Kasus Simulator SIM, serta kisah sukses silent operation KPK dalam mengejar buronan korupsi yang kabur dari Indonesia, hidup dengan nyaman, menetap di China selama bertahun-tahun.
Tak lupa, BW juga turut menuliskan kisah-kisah ancaman dan serangan balik kepada KPK dari para koruptor. Semasa BW menjabat sebagai Komisioner, KPK kerap diserang oleh kelompok-kelompok yang tidak dikenal. Mulai dari fitnah hingga ancaman dan percobaan untuk mencelakakan Penyidik KPK (seperti yang pernah terjadi kepada Novel Baswedan).
Buku ini adalah satu dari tiga buku yang berhasil disusun oleh BW selama kurang lebih satu tahun aktifitasnya sejak Maret 2016. Dua judul buku yang lain berjudul “Berantas Korupsi Reformasi, Pemikiran Kritis BW” dan “BW Menggugat, Kriminalisasi Membungkan Suara Rakyat”. Buku terakhir penyusunannya melibatkan teman-teman elemen gerakan masyarakat sipil.
Kritik dan Pujian dari Sahabat
Dalam kesempatannya membedah buku karya BW ini, Abdul Fickar sebagai panelis kritis terhadap BW yang menyebutkan nama dalam buku ini. Fckar menganggap hal tersebut dapat memicu resistensi. Namun, dalam iklim negara demokrasi, bantahan, balasan, serta klarifikasi dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa tidak sependapat dengan apa yang ditulis olih BW, dengan cara membuat buku juga. Menurut Fickar BW tidak dapat dituntut secara pidana apabila ada seseorang yang tidak sependapat dengannya.
“Melarang orang membuat buku berarti melanggar hak orang tersebut dalam mengeluarkan pendapat,” kata Fickar.
“Dan itu adalah gejala awal dari rezim otoritarian, kalau rezim demokrasi, dia tidak mungkin melakukan itu,” tambah dosen hukum pidana ini.
Selain itu, Fickar juga kritis terhadap terminologi ‘berkelahi’ yang dipilih BW sebagai judul buku yang ia buat. Menurut Fickar berkelahi merujuk pada sebuah kondisi yang setara, atau adanya kedudukan yang sama-sama besar, sama-sama tinggi antara pemerintah dan masyarakat sipil dengan korupsi. Secara implisit, BW hendak menyampaikan bahwa perkembangan teknologi korupsi semakin pesat. Untuk itu, upaya dan usaha pemberantasan korupsi pun harus dilakukan secara optimalnya.
Lain dengan Fickar, Emerson Yuntho dari ICW lebih banyak memuji apa yang BW sampaikan dalam bukunya. Emerson Yuntho mengatakan, melalui bukunya, BW hendak memperingatkan kepada kita semua bahwa pemberantasan korupsi pasti akan terus menemukan perlawanan dari orang yang tidak senang dengan kerja-kerja KPK. Salah satu perlawanan terhadap KPK adalah kriminalisasi kepada penyidik dan komisioner KPK. Perlawanan lain yang kerap dilupakan oleh gerakan masyarakat sipil adalah politik pelemahan KPK lewat jalur legislasi di parlemen serta Judicial Review di Mahkamah Konstiusi. Sebagai contoh, Emerson menyebutkan hilangnya kata ‘dapat’ dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor.
Sementara Siti Rakhma Mary dari YLBHI mengungkapkan dalam penyusunannya buku BW sangat berbeda dengan buku-buku yang ditulis oleh penulis-penulis lainnya. Menurut Rakhma, dalam buku ini tergambar sisi-sisi BW yang terangkum dalam pandangan dari kisah-kisahnya, sehingga kita menjadi tahu siapa BW sebenarnya. Mulai dari pandangan, pemikiran, serta gagasannya terhadap upaya pemberantasan korupsi. BW, oleh Rakhma disebut sebagai role model aktivis yang tidak hanya bisa mengkonsep dan mengaktualisasikan ide-idenya, namun juga bisa merefleksikan aksinya dengan tulisan.
“Aktivis yang mampu menuliskan gagasan dan merefleksikan pengalamannya itu luar biasa,” ujar Rakhma yang juga pernah menjadi Direktur LBH Semarang tersebut.
Dalam buku ini, BW tidak hanya menuliskan apa yang ada, tetapi BW juga ikut menganalisis apa yang sedang terjadi dan bagaimana hal serupa akan terjadi di waktu yang akan datang. Selain itu, BW juga menuliskan sejarah lembaga anti korupsi di Indonesia, serta modus dalam setiap upaya pelemahannya berikut dengan data-data yang sangat lengkap. Melalui buku ini, BW juga memaparkan persentase kemenangan KPK adalah 100 persen, terbaik di antara lembaga anti korupsi manapun di dunia.
“Semua akan tahu sejarah bahwa upaya pelemahan lembaga anti korupsi terjadi sejak presiden-presiden sebelumnya,” kata Rakhma.
Sementara, Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa lebih banyak membahas permasalahan seputar pelemahan terhadap KPK, utamanya pada hal kriminalisasi yang kerap terjadi kepada para pekerja di KPK. Kriminalisasi tersebut juga pernah dialami langsung oleh sang penulis buku ini. Dalam kesempatannya berbicara, Alghif mengecam tindakan dari kelompok atau individu yang berusaha melemahkan KPK. Menurutnya, KPK tidak boleh dilemahkan baik secara politik maupun secara fisik.
“Secara fisik, mobil KPK pernah disiram oleh air keras oleh penyerang yang tidak dikenal, atau cerita pengalaman penyidik KPK yang ditodong dengan pistol, atau cerita soal Novel Baswedan yang pernah ditabrak sebannyak 2 kali, dan ini tidak terpublish ke media,” cerita Alghif.
“Secara politik dan wibawa kelembagaan, Alghif menjelaskan jangan sampai upaya fitnah, atau berita hoax menjelekkan citra, serta menjauhkan KPK dari publik atau masyarakat luas, karena secara tidak langsung, itu bisa melemahkan fungsi KPK,” tambahnya.
Meskipun tidak hadir langsung dalam acara diskusi dan bedah bukunya, dengan menggunakan Skype BW juga mengikuti acara bedah buku ini. Melalui Skype pula BW menyapa para peserta yang hadir pada bedah bukunya ini. Beberapa hal penting juga BW sampaikan kepada para peserta ketika ia diberi kesempatan oleh moderator (Arif Maulana) untuk berbicara. Pada kesempatan tersebut, BW mengutarakan bahwa alasannya menyusun buku ini adalah sebagai bukti pengabdiannya di KPK. Alasan lainnya adalah, BW ingin buku ini menjadi salah satu refleksi dalam memerangi korupsi yang ia nilai sudah semakin canggih. Selanjutnya, ia mengatakan dalam buku ini juga terdapat beberapa informasi yang belum terpublikasi kepada publik. (Sony)