Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta revisi batas pelaporan pelanggaran Pemilu selama tujuh hari, sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif.
Pengacara Publik LBH Jakarta Tigor Hutapea kepada Antara di Jakarta, Senin, mengungkapkan aturan batas pelaporan pelanggaran kampanye tujuh hari setelah kejadian sebagai aturan aneh.
Pasalnya, tindak pidana tersebut dinyatakan gugur jika tidak dilaporkan dalam rentang waktu tujuh hari setelah kejadian.
“Masa dalam suatu tindak pidana, orang yang bersalah diampuni karena mekanisme tujuh hari itu,” katanya.
Tigor menuturkan, batasan pelaporan itu bisa berimbas pada kejadian lain yang merugikan masyarakat. Misalnya jika seorang caleg melakukan sesuatu yang memicu gesekan antarmassa.
“Kalau tujuh hari tidak melapor, tindakan tersebut tidak termasuk kategori pidana, tapi bentrokan atau gesekan yang merugikan masyarakat sudah terjadi. Pelaku pemicunya kan bisa bebas,” katanya.
Tigor berharap, aturan mengenai batasan pelaporan pelanggaran Pemilu itu bisa direvisi. Menurutnya, aturan tersebut bisa mendorong adanya penegakan hukum dalam semua jenis pelanggaran Pemilu.
“Aturan ini bersifat sangat prosedural, birokrasi. Padahal yang dicari adalah nilai kebenaran dan keadilannya,” ujarnya.
Lembaga swadaya masyarakat itu juga meminta adanya kajian mengenai isi UU Pileg berdasarkan persepsi masyarakat. Hal tersebut berdasarkan peristiwa kampanye yang dilakukan parpol peserta Pemilu di media penyiaran.
Dalam prosesnya, penghentian penyidikan pelanggaran kampanye parpol oleh kepolisian itu dikarenakan tidak adanya unsur yang dilanggar dalam UU Pileg.
“Padahal, masyarakat sendiri menganggap iklan parpol tersebut sudah merupakan kampanye. Tapi menurut polisi itu tidak melanggar karena tidak ada penyampaian visi misi seperti dalam UU,” katanya.
Lebih lanjut, Tigor mengungkapkan penegak hukum dan pengawas Pemilu masih tidak tegas dalam pengaturan alat peraga kampanye.
“Ada ribuan caleg pasang alat peraga. Setelah dilaporkan, lalu (alat peraga) diturunkan. Tapi lalu dipasang lagi, diturunkan lagi. Tidak ada sanksi tegas, padahal di UU tegas dilarang. Harusnya ada mekanisme denda. Misalnya mereka kena denda masing-masing Rp 100.000 untuk satu alat peraga yang melanggar,” katanya. (investor.co.id)