Jakarta, bantuanhukum.or.id-Mahkamah Konstitusi kembali menggelar lanjutan sidang pleno Judicial Review terhadap pasal-pasal prapenuntutan dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (27/04). Pemohon menganggap mekanisme prapenuntutan dalam KUHAP masih tidak efektif dan efisien. Agenda sidang kali ini masih dalam rangkaian pemeriksaan saksi ahli yang diajukan pemohon.
Saksi pertama yang diajukan para pemohon adalah Tri Wahyu yang merupakan Manajer Eksekutif Forum LSM Daerah Istimewa Yogyakarta. Tri Wahyu menceritakan bagaimana dirinya mengalami kriminalisasi pasca melakukan advokasi terhadap dugaan tindak pidana korupsi dana purna tugas DPRD Kota Yogyakarta senilai 3 Milyar. Saksi Tri Wahyu menceritakan bahwa kasusnya sejak tahun 2004 terbengkalai dengan statusnya sebagai tersangka.
“Semenjak saya diperiksa sebagai tersangka saya tidak mengetahui perkembangan perkara saya apakah SPDP sudah dikirimkan atau informasi perkara,” ucapnya.
Selanjutnya, ahli yang juga diajukan Pemohon, Andri Gunawan Wibisana memberikan pendapatnya tentang data hilangnya perkara selama tahap prapenuntutan akibat pengaturan yang tidak efektif saat ini. Dosen Analisa Ekonomi Atas Hukum ini menjelaskan bahwa dari data yang diberikan oleh pemohon untuk dianalisanya, ia menyimpulkan adanya penggunaan dana yang tidak perlu serta tidak efisien. Akibat tidak efektifnya mekanisme prapenuntutan maka diperkirakan secara total dalam kurun waktu tiga tahun yakni 2012, 2013 serta 2014 terindikasi adanya potensi kebutuhan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan oleh kepolisian sebesar sepuluh triliun tiga ratus enam puluh satu milyar seratus lima belas juta tujuh ratus empat puluh ribu rupiah (Rp. 10.361.115.740.000,-) serta potensi penggunaan biaya yang tidak efisien sebesar lima ratus enam puluh dua milyar tujuh ratus sembilan juta delapan ratus tiga puluh ribu rupiah (Rp. 562.706.830.000). Lebih lanjut Andri juga menjelaskan bahwa besaran angka tersebut didapatkan dari perhitungan rata-rata biaya yang dikeluarkan per perkara sebesar Rp. 12.710.000,-.
“Kalau data yang dihimpun oleh pemohon tersebut benar adanya maka dapat dilihat berapa kerugian ekonomi yang terjadi dengan sistem prapenuntutan di Indonesia,” jelas Andri.
Sementara itu Ichsan Zikry selaku pemohon Judicial Review undang-undang ini menjelaskan bahwa data tersebut didapatkan dari laporan tahunan Kepolisian Republik Indonesia dan laporan tahunan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
“Dari data yang kami miliki, kami menemukan fakta adanya ratusan ribu perkara yang tidak diberitahukan kepada penuntut umum dan puluhan ribu perkara yang digantung oleh penyidik,” jelas Ichsan.
Pasca Pemeriksaan ahli, Majelis Hakim menyatakan akan melanjutkan sidang lagi pada tanggal 16 Mei 2016 dengan Agenda Pemeriksaan Ahli yang diajukan oleh Kepolisian Republik Indonesia sebagai pihak terkait. Sementara itu pihak terkait lainnya dari Persatuan Jaksa Indonesia dan Pemerintah tidak mengajukan saksi atau ahli.
Dalam lanjutan sidang tersebut pemohon yang berasal dari Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) FHUI, Choky Risda Ramadhan, beserta beberapa korban lemahnya sistem prapenuntutan di Indonesia yakni Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Usman Hamid, Direktur Kelompok Kerja (POKJA) 30 Carolus Tuah serta Pengamen Cipulir Andro Supriyanto, didampingi LBH Jakarta sebagai kuasa hukum. (Reindra)