Saya mengenal baik bang Buyung ketika mengikuti semacam pelatihan di Tunisia selama tiga bulan pada awal 1990-an. Saat itu beliau tampil sebagai pemateri.
Ketika itu dia sedang sekolah di Belanda setelah kantor pengacaranya ditutup. Hampir tiap hari kita kontak intensif dengan almarhum. Bahkan saya membantu mengetik lembar per lembar disertasinya.
Dan hadiahnya, bang Buyung memberi saya setelan jas. Ini adalah jas milik saya satu-satunya saat saya tidak mampu membelinya.
Ketika dia akhirnya pulang dari sekolahnya, saya ikut dia keliling daerah. Saya banyak belajar dari mendiang tentang nilai-nilai pluralisme dan reformasi hukum.
Saya juga mengenal pribadinya melalui nilai-nilai kemanusiaan yang dia tunjukkan selama di LBH. Dia tidak pernah membedakan manusia apapun latar profesi atau pekerjaannya.
Saya masih ingat, para pegawai kecil di LBH selalu dimanjakan oleh beliau. Posisinya seperti orang tua.
Mulai pertengahan 1980-an, Buyung mengenalkan ideologi baru kepada LBH dengan konsep bantuan strukturalnya. Intinya, pendekatan ini merespon berbagai masalah, seperti kemiskinan, HAM, demokrasi, politik, secara struktural.
Dan pada awal 1990-an, setelah pulang dari Belanda, mendiang mengenalkan istilah LBH merupakan lokomotif demokrasi.
Saat itu problem demokrasi memang sudah sangat luar biasa, dan kala itu gerakan civil society sudah matang. Banyak LSM bertumbuhan, juga organisasi buruh independen, sampai kelahiran Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Di bawah Bang Buyung LBH menjadi “ruangan” bagi segala aktivitas yang dilarang.
Teten Masduki
Kepala Staf Kepresidenan, aktif di LBH 1989-1998, pendiri ICW