“Mengadili: Menyatakan anak 1, anak 2, anak 3, dan anak 4 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penghasutan sebagaimana yang dalam dakwaan keempat Penuntut Umum; Menjatuhkan pidana kepada anak 1, anak 2, anak 3, dan anak 4 tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan…”
Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nazar Efriandi pada perkara admin dan pembuat grup Facebook STM se-Jabodetabek membacakan putusan di muka persidangan pada Kamis 17 Desember 2020. Empat anak yang berkonflik dengan hukum itu dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum. Mereka dinyatakan telah melanggar Pasal 160 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) sebagai penasihat hukum, mengungkapkan kekecewaan atas putusan tersebut. TAUD menganggap putusan tersebut tidak tepat dan berpotensi menjadi preseden buruk bagi para admin grup Facebook, terutama grup-grup yang digunakan untuk kepentingan gerakan sosial.
“Putusan hakim terhadap anak-anak tersebut dapat menjadi ancaman baru bagi para admin, khususnya bagi mereka yang mengelola grup-grup untuk kepentingan gerakan sosial. Tentu hal tersebut dapat membahayakan iklim demokrasi di Indonesia,” ungkap Shaleh Al Ghiffari salah satu Pengacara Publik LBH Jakarta yang tergabung dalam TAUD.
Jika merujuk pada fakta persidangan, anak-anak tersebut tidak terbukti melakukan perbuatan pidana berupa penghasutan yang ditujukan terhadap penguasa umum dan berakibat terjadinya kerusuhan. Dalam persidangan terungkap bahwa postingan-postingan dan komentar-komentar yang bernada penganjuran kekerasan justru dilakukan oleh akun-akun anonim yang tidak dihadirkan pada persidangan.
TAUD memandang putusan ini mengenyampingkan rumusan norma yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009. Putusan MK tersebut telah mengubah ketentuan rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil.
“Konsekuensi dari putusan MK tersebut kemudian ditafsirkan bahwa setiap orang yang melakukan tindak perbuatan penghasutan tidak dapat dipidana sebelum timbulnya akibat seperti halnya kerusuhan di muka umum,” tambah Gifar.
Kekaburan fakta tindakan-tindakan kekerasan apa saja yang timbul akibat perbuatan para anak-anak tersebut justru tidak diperjelas dan dibuktikan di persidangan. Alih-alih mematuhi penormaan tehadap Pasal 160 KUHP berdasarkan putusan MK, hakim justru memakai pendapat R. Soesilo yang menyatakan delik tersebut tidaklah mensyaratkan timbulnya akibat yang dilarang. Tafsir yang dikeluarkan R. Soesilo merupakan tafsir yang tidak resmi dan dikemukakan jauh sebelum MK memutuskan untuk mengubah norma pasal penghasutan ini.
Selain itu, menurut TAUD, sebagai delik materil Pasal 160 KUHP juga baru dapat digunakan jika perbuatan menghasut dilakukan dengan sengaja (dolus/opzet). Teori mengenai dolus/opzet (sengaja) menyatakan bahwa sengaja itu ada apabila suatu akibat yang ditimbulkan suatu perbuatan sekalipun akibat tersebut tidak dikehendaki namun patut diduga (dapat dibayangkan) dapat/mungkin terjadi. Apabila mengaitkan dengan unggahan di laman grup Facebook STM se-Jabodetabek yang dilakukan sendiri oleh para anak-anak tersebut sebagaimana yang dituduhkan oleh jaksa, unsur kesengajaan untuk melakukan penghasutan tidak terpenuhi.
Rangkaian Persidangan
Sebelumnya, persidangan perkara admin dan pembuat grup Facebook STM se-Jabodetabek ini dilakukan secara maraton yang memakan waktu hingga enam hari. Diawalii dengan pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum, Selasa 18 Desember 2020. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini dijerat dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP.
Berkas perkara ke empat anak yang berhadapan dengan hukum ini kemudian dilimpahkan ke pengadilan. Sehari sebelumnya, Senin 7 Desember 2020, proses diversi tidak menemui kesepakatan. Buntunya proses diversi tersebut dikarenakan pelapor yang merupakan anggota kepolisian tidak ‘memaafkan’ perbuatan yang diduga melanggar tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan penyidik.
Pada hari yang sama, TAUD, tidak diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan/eksepsi. Hakim Nazar Efriandi berdalih eksepsi telah dilakukan oleh tim TAUD pada proses diversi di tingkat kejaksaan. TAUD menyatakan keberatan karena penuntut umum dinilai gagal menghadirkan korban. Akhirnya, surat dakwaan yang sejak awal oleh TAUD dianggap peunuh celah, akhirnya tetap dipakai sebagai acuan dalam memeriksa perkara ini. Eksepsi yang merupakan hak dari terdakwa untuk mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan (sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP), diabaikan oleh hakim.
Kamis, 10 Desember 2020 sidang kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh penuntut umum. Lagi-lagi TAUD mengungkapkan kekecewaannya karena penuntut umum gagal menghadirkan saksi yang dapat memberikan keterangan guna membuktikan tuduhan tindak pidana yang dilanggar oleh anak-anak yang berhadapan dengan hukum tersebut.
Pada persidangan, ditemukan fakta bahwa dua orang saksi yang juga merupakan anggota kepolisian dan bertugas di Unit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya ini menyatakan bahwa tidak terdapat postingan atau komentar ‘bernada’ provokatif dilakukan oleh keempat ABH di grup Facebook STM se-Jabodetabek yang ditujukan untuk menyerang aparat kepolisian ketika melakukan pengamanan terhadap masa aksi menolak Omnibuslaw RUU Ciptaker pada bulan Oktober lalu di Jakarta.
Saksi polisi tersebut juga menyatakan bahwa grup Facebook STM se-Jabodetabek merupakan grup yang sengaja dibuat untuk melakukan aksi demonstrasi para pelajar yang didasarkan pada postingan dan komentar yang bermuatan ajakan melakukan demonstrasi dan menyerang petugas kepolisian.
Sementara penuntut umum tidak dapat menghadirkan saksi ahli ke persidangan dengan alasan terdapat kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan oleh ahli. Keterangan ahli pun dibacakan oleh penuntut umum yang mana keterangannya diambil dari hasil BAP Ahli sebagaimana yang tertuang dalam berkas perkara.
TAUD mengajukan keberatan atas keterangan ahli yang dibacakan oleh penuntut umum tersebut karena pada dasarnya, keterangan ahli tersebut telah membahas perbuatan tindak pidana. Menurut TAUD, ahli tidak lagi memberikan keterangan objektif berlandaskan keilmuan yang dimiliki ahli tersebut.
Jum’at 11 Desember 2020, TAUD menghadirkan saksi anak dan ahli hukum pidana. Dalam keterangannya, saksi anak 1 yang juga teman dari ABH 1 menyatakan bahwa grup Facebook bernama STM se-Jabodetabek dibuat dengan tujuan untuk menjalin silaturahmi dan sekaligus mengkampanyekan gerakan stop anti tawuran dikalangan pelajar STM se wilayah Jabodetabek. Bahkan, dalam keterangan selanjutnya, tujuan pembuatan grup tersebut terinspirasi setelah saksi anak 1 dan ABH 1 melakukan pertemuan dengan Tim Raimas Backbone Polres Jakarta Timur yang mana hasil dari pertemuan berisikan pesan agar pelajar mengikuti pendidikan dengan sungguh-sungguh dan berhenti melakukan tawuran serta tindakan yang menjurus pada perbuatan tindak pidana. Pernyataan mematahkan argumen saksi dari polisi yang dengan gamblang menyatakan pembuat grup Facebook tersebut dengan tuduhan yang medeskreditkan tujuan sebenarnya pembuatan grup STM se-Jabodetabek.
TAUD juga menghadirkan ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Binus, Dr. Ahmad Sofian. Dalam keterangannya, Dr. Sofian menjelaskan secara tegas agar pasal-pasal yang dituduhkan dalam surat dakwaan penuntut umum harus dibuktikan secara komprehensif dengan berdasarkan pada asas-asas hukum pidana dan bukti-bukti yang absah. Dalam keterangannya, Dr. Sofian mencontahkan dengan penerapan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU ITE, terdapat unsur korban tindak pidana yaitu ‘golongan’ ditafsrikan secara terbatas terhadap Suku, Agama, Ras dan Antar golongan. Selain itu, Dr. Sofian juga mencontohkan Pasal 160 KUHP, dalam penjelasan Dr. Sofian, bahwa yang dimaksud dengan unsur ‘melakukan penghasutan dimuka umum’ adalah perbuatan tindak pidananya harus dilakukan secara langsung di depan orang yang sedang berkerumun dan menyebabkan terjadinya kerusuhan yang diakibatkan dari hasutan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 7/PUU-VII/2009.
Setelah mendengar keterangan saksi-saksi dan ahli, penuntut umum kemudian membacakan surat tuntutan pada Senin, 14 Desember 2020 yang mana menyatakan bahwa keempat anak yang berhadapan dengan hukum tersebut telah melakukan perbuatan tindak pidana dengan melanggar Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan dipidana dengan 6 bulan kurungan penjara serta denda Rp. 5.000.000,- subsider 1 bulan kurungan.
TAUD kemudian mengajukan nota pembelan/pledoi sehari setelah surat tuntutan dibacakan, yaitu pada Selasa 15 Desember 2020. Nota pembelaan/pledoi tertulis yang berjudul “Anak STM: Anak Tiri Demokrasi” dibacakan di muka persidangan. Dalam pembelaannya TAUD menyatakan bahwa secara hukum formil, para anak yang berhadapan dengan hukum ini telah mengalami proses unfair trial. Mereka tidak didampingi penasehat hukum dan adanya tekanan pada saat BAP di kepolisian yang dilakukan oleh penyidik. Adapun secara meteriil, pasal-pasal yang dituduhkan oleh penuntut umum baik dalam dakwaan dan tuntutan tidak berasalan secara hukum. TAUD juga menganggap penuntut umum telah mengabaikan fakta persidangan yang ada. Misalnya, posisi anak ke 2, anak ke 3, dan anak ke 4 yang merupakan admin grup Facebook tidak dapat dikenakan pasal penyertaan karena para admin grup hanya memfasilitasi grup Facebook sebagai wadah komunikasi yang tidak dapat menghendaki isi setiap postingan dan komentar yang dilakukan oleh anggota dalam grup Facebook STM se-Jabodetabek.
Puncak dari proses pesidangan yang sejak awal telah terjadi unfair trial akhirnya diputus oleh hakim Nazar Efriandi dengan menyatakan bahwa anak-anak tersebut telah terbukti secara sah dan meyakin melakukan tindak pidana melanggar Pasal 160 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atas dasar itu anak-anak tersebut dihukum pidana kurungan penjara selama 3 (tiga) bulan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani. Hakim dalam putusan yang dibacakannya, menafsirkan bahwa adanya postingan atau komentar yang berisi hasutan dikehendaki oleh para admin grup Facebook dengan tidak menjalankan kewenangannya sebagai admin yang dapat menghapus postingan atau komentar tertentu.
Dengan terbitnya putusan tersebut, TAUD sepenuhnya menyerahkan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengambil sikap perihal hasil putusan tersebut. Para ABH menyatakan akan pikir-pikir apakah akan menerima atau melakukan banding atas putusah tersebut. (Andrie Yunus)