Setelah melalui proses peradilan pidana yang cukup panjang, Selasa, 15 November 2016, sidang kriminalisasi 26 aktivis kembali digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Agenda pada persidangan kali ini memasuki rangkaian terakhirnya yaitu pembacaan pembelaan dari para terdakwa. Pada kesempatan kali ini pula, para terdakwa masing-masing diberikan kesempatan untuk membacakan nota pembelaan pribadi yang kemudian disusul dengan nota pembelaan dari tim penasehat hukum.
Dengan judul pembelaan “Bilamana Membela Hak Dinilai sebagai Kejahatan”, terdakwa Tigor Gemdita Hutapea membuka agenda pembacaan nota pembelaan. Ia menilik kembali bahwa negara mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan sosial, tujuan yang hingga saat ini masih jauh dari kata terwujud. Dalam upaya menuju cita-cita keadilan sosial tersebut, Tigor menguraikan bahwa pengabdi bantuan hukum mempunyai peranan yang teramat penting, tidak hanya sekedar memberikan bantuan hukum di dalam persidangan, namun jauh melampaui itu. Pengabdi bantuan hukum juga mempunyai kewajiban untuk membangun kesadaran kritis masyarakat, agar masyarakat pada akhirnya mampu untuk lepas dari penindasan para penguasa yang selama ini mereka rasakan. Oleh karenanya, Tigor dengan tegas menyatakan bahwa peranannya sebagai pengabdi bantuan hukum yang mendampingi massa aksi pada 30 Oktober silam bukanlah suatu kesalahan, apalagi tindak pidana.
“Upaya pembungkaman via jeruji tidak pernah sekalipun berakhir dengan kemenangan, sejarah telah berulang-kali menunjukkan sebaliknya,” tegas Tigor dalam nota pembelaannya menanggapi ancaman pidana penjara yang menanti dirinya.
Ke 23 buruh yang duduk sebagai terdakwa juga tak lupa memberikan pembelaan dihadapan hakim. Salah seorang terdakwa, Hasymir, dalam nota pembelaannya mengemukakan bahwa telah terjadi kemunduran dramatis terhadap implementasi demokrasi di Indonesia. Ia melihat itu dalam rangkaian pembentukan PP 78/2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) yang meminggirkan partisipasi buruh dan mengedepankan politik lobi. Hal ini kemudian diperburuk dengan fakta bahwa, terhadap buruh yang menyuarakan aspirasinya agar demokrasi kembali ditegakkan dan hak-hak buruh dipenuhi ternyata justru berujung dikriminalisasi.
“Kami minta agar hakim memutus bebas tanpa syarat untuk semua terdakwa,” ujar Hasymir dalam pembelaannya. Jelas sekali ia mengekspresikan kekecewaan pada persidangan ini dan terhadap kriminalisasi yang menimpa dirinya serta rekan-rekannya.
Selanjutnya, tim penasehat hukum para terdakwa menyampaikan pembelaannya kepada Majelis Hakim. Pada intinya mereka kembali mengulas fakta-fakta yang terjadi selama proses peradilan pidana ini (mulai dari penyelidikan hingga persidangan). Mereka juga membantah unsur-unsur pasal dalam dakwaan maupun tuntutan jaksa. Disamping itu, tim penasehat hukum para terdakwa juga menyoroti aspek-aspek yang tidak dapat dilepaskan dari terjadinya kriminalisasi terhadap para buruh, pengabdi bantuan hukum dan mahasiswa. Melalui pembelaannya tim kuasa hukum juga menyinggung tidak demokratisnya pembentukan PP Pengupahan.
“Ada upaya untuk membungkam gerakan buruh, terutama bagi para buruh yang melakukan perlawanan terhadap rezim yang berpihak pada kaum pemodal,” kata Gading Yonggar, salah satu kuasa hukum 26 aktivis yang dikriminalisasi dari LBH Jakarta.
Lebih lanjut, Gading juga menjelaskan bahwa agenda pembacaan nota pembelaan ini merupakan momen penting. Tidak hanya bagi kepentingan para terdakwa, namun juga bagi masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia. Menurutnya jika hak menyuarakan pendapat tidak disampaikan dan tidak menjadi bagian dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, maka hampir dapat dipastikan bahwa hal ini akan menjadi preseden buruk yang mengancam kebebaan berekspresi di Indonesia.
“Kedepan aparat penegak hukum akan menjadikan putusan dalam perkara kriminalisasi aktivis buruh dan pengabdi bantuan hukum ini sebagai landasan untuk membungkam dan mengebiri suara-suara rakyat yang ingin mengkritisi rezim otoriter ini,” Gading menambahkan.
Setelah pembacaan nota pembelaan oleh tim penasehat hukum, dan JPU menyatakan tetap pada tuntutan yang terdahulu diajukan, sidang kemudian ditutup dengan agenda selanjutnya (22/11) yakni pembacaan putusan akhir. (Kosyi)