Memasuki tahapan pilkada pada bulan Oktober 2016 perdebatan mengenai penggusuran, reklamasi, banjir, macet, kinerja Gubernur DKI Jakarta dan rekam jejak calon Gubernur lain seketika menghilang dengan munculnya video yang menunjukkan komentar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait Surat Al Maidah ayat 51. Elit politik dan masyarakat bereaksi dengan demonstrasi untuk mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memproses Ahok secara hukum atas pidana penodaan agama. Demo besar tanggal 4 November 2016 dikawal dengan tidak biasa oleh Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Demonstrasi yang damai kemudian berujung rusuh dan di tempat yang jauh dari titik aksi terjadi penjarahan dan kekerasan. Hampir saja terjadi kerusuhan seperti tahun 1998 dan kekerasan terhadap orang Tionghoa.
Situasi politikpun semakin memanas, tidak hanya di Jakarta tapi juga nasional. Saling lapor pidana terjadi antar pihak yang berseberangan, caci maki penuh sesak di media sosial, hujat menghujat menjadi hal lumrah, berita palsu (hoax) beredar dengan luas dan dipercaya kebenarannya, sentimen terhadap Tionghoa menguat, dan seterusnya. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, sejumlah pemuda dan pendeta melakukan protes untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Begitupun Majelis Adat Dayak Nasional juga mendesak untuk membubarkan FPI karena dianggap merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI. Pidana dan bubar membubarkan dianggap sebagai solusi permasalahan sosial yang dihadapi Indonesia. Situasi ini tidak bisa dipandang sebelah mata; Indonesia di persimpangan.
TNI dalam Pengamanan Demonstrasi
Tentara Nasional Indonesia (TNI) terlibat aktif dalam pengamanan aksi tanggal 4 November 2016. Hal ini tidak ubahnya demonstrasi sebelum reformasi yang selalu diamankan oleh tentara. TNI dan pemerintah mengabaikan amanat reformasi untuk tidak mencampuradukkan tugas pertahanan yang diemban oleh TNI serta tugas kemanan dan ketertiban umum yang dilakukan oleh kepolisian. Selain dapat mengancam supremasi sipil, tumpang tindih wewenang, dan bahkan kontestasi Polri dan TNI rentan terjadi.
TNI, Polri, dan pemerintah sering berdalih bahwa Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mengatur bahwa salah satu tugas pokok TNI adalah membantu Polri dalam hal operasi militer non perang. TNI, Polri, dan pemerintah mengabaikan bahwa Pasal 41 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang mengatur bahwa permintaan bantuan dari Polri kepada TNI harus diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Hingga kini PP tersebut belum ada. Selain itu, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tidak mengatur peran TNI dalam pengamanan unjuk rasa, melainkan hanya Polri. Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan penanganan Perkara Penyempaian Pendapat di Muka Umum juga tidak mengatur mengenai peran TNI dalam pengamanan penyampaian pendapat di muka umum.
Berdasarkan hal tersebut, Presiden Joko Widodo harus mampu menegaskan peran TNI dan tidak menggunakan TNI dalam pengamanan aksi demonstrasi.
Perihal Penodaan Agama
Kekhawatiran LBH Jakarta mengenai pasal penodaan agama akhirnya kembali terjadi; pasal karet, multi tafsir, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap kasus Ahok, banyak ahli dan ulama berbeda pendapat mengenai apakah ucapan Ahok mengenai Surat Al Maidah ayat 51 merupakan penodaan atau bukan. Mabes Polri sampai menawarkan gelar perkara terbuka untuk kasus ini, hal mana yang sangat sulit didapatkan untuk kasus biasa. Bahkan, dalam kasus kriminalisasi Bambang Widjajanto dkk pun kuasa hukum berkali-kali mendorong gelar perkara yang dihadiri oleh para pihak tidak pernah digubris oleh Mabes Polri.
Terhadap pasal penodaan agama, LBH Jakarta pada tahun 2009 menjadi bagian tim Kuasa Hukum dalam Uji Materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar adanya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan tersebut diajukan oleh 7 lembaga Hak Asasi Manusia serta 4 orang individu (Alm K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan K.H. Maman Imanul Haq). Permohonan ditolak, namun Mahkamah Konstitusi (MK) mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut. Dalam pertimbangannya MK menerima pandangan para ahli yang diajukan sendiri oleh MK seperti Prof. Dr Andi Hamzah, Prof. Azyumardi Azra, Dr. Edy OS Hiariej, Emha Ainun Najib, Dr. Siti Zuhro, Prof. Dr Jalaludin Rakhmat, Prof. Dr. Ahmad Redyani Saifuddin, Taufik Ismail, dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik. Akan tetapi MK mengatakan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan redaksional dan cakupan isi, melainkan hanya boleh menyatakan konsitusional atau tidak konstitusionalnya suatu undang-undang.
Mengingat pasal penodaan agama bermasalah, maka LBH Jakarta berpendapat bahwa Mabes Polri harus menghentikan kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada Ahok dan setiap orang yang dikenai pasal ini. LBH Jakarta juga berpendapat jika Ahok tidak kejam kepada masyarakat miskin Jakarta dan menghormati hak asasi manusia, maka proses pidana penodaan agama ini kemungkinan tidak akan terjadi. Ahok hanya akan dikecam, diberi sanksi moral, dan masalah selesai ketika ia meminta maaf karena ada pihak yang tersinggung dengan ucapannya.
Potensi Konflik Horizontal Berbasiskan SARA
Adanya sweeping warga Tionghoa tanggal 4 November 2016 di Penjaringan kemarin menunjukkan moment aksi besar terkait penodaan agama dapat dimanfaatkan untuk memantik api konflik dan sentimen anti Tionghoa. Saat itu, jauh dari lokasi utama aksi, sekelompok orang berusaha mendatangi rumah Ahok. Polisi kemudian memblokade akses menuju rumah Ahok sehingga massa yang tidak puas kemudian memeriksa setiap kendaraan yang melintas untuk mencari orang Tionghoa. Tim LBH Jakarta yang turun memantau situasi di Penjaringan pun menemukan bahwa memang ada upaya serangan terhadap orang Tionghoa.
Dengan mudah kita menemukan ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal, baik dalam penyampaian pendapat di muka umum, orasi atau ceramah, banner, media sosial, maupun berbagai media lainnya. Namun demikian tidak terlihat ada penanganan oleh Negara. Setahun setelah kerusuhan Mei 1998, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan 10 tahun kemudian mengundangkan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kedua produk hukum tersebut adalah bentuk komitmen negara untuk mencegah kerusuhan bernuansa ras dan etnis pada Mei 1998 terulang kembali. Komnas HAM sebagai lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan penegakan uu tersebut hingga saat ini tidak melakukan tugasnya. Hal serupa juga terjadi pada Kepolisian yang terlihat gamang menghadapi kebencian berdasarkan ras dan etnis yang terus dipertunjukan oleh individu dan kelompok tertentu. Padahal Polri sendiri, telah mengelurkan Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian dimana di dalamnya terdapat upaya preventif terlebih dahulu sebelum ada tindakan hukum.
Selain itu adanya desakan untuk pembubaran FPI di beberapa daerah menunjukkan bahwa ada ketegangan di level akar rumput yang setiap saat bisa memanifestasikan konflik. Potensi konflik horizontal berbasis Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) tersebut harus dicegah oleh aktor-aktor demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus menyadari agar tidak terpancing dengan isu SARA yang sedang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab; informasi harus disaring dengan baik dan hasutan harus ditolak. Polri harus bisa melakukan tindakan pencegahan terhadap tindakan ujar kebencian dan pemerintah sebaiknya mengajak dialog semua elemen bangsa, tidak hanya berdialog dengan ulama atau tokoh Islam, melainkan juga pimpinan dan tokoh agama lainnya. Jangan biarkan sejarah kekerasan berulang.
Permasalahan Jakarta
Permasalahan kota Jakarta saat ini tertutup oleh berbagai isu politik yang berkembang. Nasib korban penggusuran akhirnya luput dari sorotan, proyek reklamasi terus berjalan, dan privatisasi air masih terus berjalan. Selain itu suara buruh Jakarta yang mendesak kenaikan signifikan upah minimumnya sayup-sayup terdengar. Ahok sebagai orang yang bertanggung jawab dalam permasalahan ini akhirnya bisa menghindar dari kesalahannya.
Pilkada yang seharusnya penuh dengan konsep pembangunan kota menjadi persaingan yang hambar dan hanya fokus kepada pemenangan semata. Kontestasi konsep mengenai Jakarta kurang mendapatkan perhatian. Masing-masing calon tentunya punya rencana dan konsep, namun ruang untuk mengkritisi dan mengajukan konsep tidak banyak tersedia. Tanpa ruang untuk warga mengkritisi ataupun mengajukan konsep, maka DKI Jakarta hanya akan dipimpin oleh Gubernur yang akan tetap melakukan penggusuran paksa, melanjutkan perusakan lingkungan hidup, meminggirkan rakyat miskin, dan tidak membuka ruang partisipasi warga dalam membangun kota.
Saatnya mengembalikan perdebatan hak asasi warga Jakarta kembali ke tempatnya. Kelompok prodemokrasi dan Hak Asasi Manusia sebaiknya tidak terjebak dukung atau tidak mendukung Jokowi, Ahok, atau elit politik tertentu. Sebaliknya, kelompok prodemokrasi dan Hak Asasi Manusia jangan hanya diam dan jadi penonton ditengah menguatnya sentimen SARA, ancaman konflik horizontal, militer yang melampaui wewenangnya, dan kontestasi semu politikus dalam moment Pilkada DKI Jakarta.
Jakarta, 14 November 2016
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA
Narahubung: Alghiffari Aqsa (Direktur LBH Jakarta. 081280666410), M. Isnur (Kadiv KPO LBH Jakarta. 081510014395)