Jakarta, bantuanhukum.or.id—Sidang pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Pasal 14 huruf b, Pasal 14 huruf I, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139) dengan kuasa pemohon Ichsan Zikry, S.H., dkk kembali dilanjutkan Mahkamah Konstitusi, Selasa (29/03). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak pemohon. Dalam sidang kali ini, pemohon mengahdirkan Prof. Andi Hamzah, Prof. Stephen Thaman, dan Dr. Luhut MP Pangaribuan SH.LL.M sebagai saksi ahli.
Dalam persidangan ini, Pakar Hukum Pidana Prof. Stephen C. Thaman melalui media Skype memberikan kesaksiannya sebagai ahli kepada Majelis Hakim MK. Prof. Stephen menjelaskan, bahwa pihak Jaksa dan Polisi dapat melakukan penyidikan bersama dalam sistem hukum pidana modern. Model penyidikan tersebut telah dipergunakan di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika. Penyidikan dengan model penyidikan modern dapat menyederhanakan proses dan mempersingkat waktu penyidikan hingga pelimpahan perkara ke Pengadilan.
Menyambung pernyataan Prof. Stephen, Prof Andi Hamzah selaku ahli Pemohon lainnya, menjelaskan harus adanya penyusunan kembali KUHAP guna menyederhanakan sistem seperti halnya negara lain.
“Tidak perlu lagi seorang penyelidik saat melakukan penyelidikan. Berkirim surat untuk memberitahukan dimulainya penyelidikan kepada seorang Jaksa, di negara-negara lain seorang penyelidik dapat menghubungi seorang Jaksa melalui email ataupun telepone, harus ada penyusunan kembali KUHAP guna menyederhanakan sistem seperti halnya negara lain. Rancangan perubahan KUHAP sebaiknya disesuaikan dengan kemajuan teknologi,” Jelas Prof Andi.
Dalam permohonannya perkara 123/PUU-XIII/2015 yang disidangkan bersamaan dengan pemohon 130/PUU-XIII/2015, para Pemohon juga mengujikan beberapa norma, yaitu Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i. Menurut mereka frasa ‘segera’ dalam UU a quo tidak memberikan jangka waktu yang pasti, sehingga tidak menjamin kepastian hukum seseorang yang menjadi Tersangka.
Selanjutnya, Pemohon perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 menilai, sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP semakin melemahkan peran penuntut umum akibat dari kesewenangan penyidik dan berlarutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan.
Salah satu contoh, kasus Usman Hamid yang menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Sementara Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Namun, Andro mencabut keterangan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.
Ketentuan Pasal 109 ayat (1) menyebabkan penyidikan dilakukan tanpa kontrol dan pengawasan penuntut umum karena tidak jelasnya kapan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) juga dinilai bersifat multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan seringkali melanggar hak-hak konstitusional.
Menurut Pemohon, Perumusan Pasal 138 ayat (1) dan (2) tidak jelas dan membuka pemaknaan berbeda yaitu dapat dilakukan lebih dari satu kali atau berulang kali tanpa batas waktu sehingga menimbulkan situasi bolak-baliknya berkas antara penyidik dan penuntut umum. Ketentuan Pasal 139 tidak secara jelas memberikan jangka waktu dalam menentukan apakah berkas perkara yang ada tersebut layak atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam waktu persidangan yang sama ahli pemohon, seorang pengacar, pimpinan organisasi peradi sekaligus dosen Universitas Indonesia, Luhut Pangaribuan juga memberikan pendapatnnya terkait sistem Hukum Acara Pidana Indonesia.
“Dalam KUHAP sebenarnya banyak kata-kata yang segera, lalu apa arti dari kata dari segera? jika di lihat dalam pendekatan kuantitatif kata segera itu adalah selama 3 hari, hal tersebut di karenakan jika seorang penyidik memanggil seorang tersangka selama 3hari namun si tersangka tidak patuh, maka si tersangka dapat dipanggil secara paksa, sehingga 3 hari tersebut menjadikan seorang tersangka dan penyidik dalam kedudukan yang berimbang,” ujar Luhut. (Ayu)