Bogor, bantuanhukum.or.id-Rabu, 25 Desember 2014 Jemaat GKI Yasmin yang berjumlah 30an berupaya untuk melaksanakan ibadah natal di lahan gerejanya sendiri yang beralamat di Jl. KH. Abdullah bin Nuh, Kav. 31, Taman Yasmin, Bogor. Sedari pagi, sekitar 40 Satpol PP dan sekitar 10 Polisi berjaga di depan gereja.
Saat jemaat bernegosiasi untuk melaksanakan ibadah, beberapa warga yang mengaku berasal dari Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) melakukan provokasi agar jemaat tidak dapat beribadah. Salah seorang warga mengancam akan membuat keributan apabila jemaat tetap melakukan ibadah di gereja. Ironisnya, salah seorang pimpinan Satpol PP memerintahkan pasukannya untuk membubarkan ibu-ibu jemaat gereja yang bermaksud berdoa di depan gereja. Melalui handy talkie pimpinan Satpol PP memerintahkan “kenapa ada yang lolos, bubarkan itu”, seraya menuju ke ibu-ibu yang hendak berdoa.
Satpol PP pun tampak menuruti perintah kelompok intoleran yaitu Forkami agar Satpol PP membubarkan ibu-ibu jemaat. Beberapa orang dari kelompok intoleran berteriak-teriak “sudah dorong aja, bubar, biasanya juga begitu”.
Dalam hal ini, terjadi pelanggaran terhadap jemaat GKI Yasmin yang dilakukan oleh Satpol PP, yaitu:
1. Melakukan penghalangan hak beragama dan beribadah jemaat GKI Yasmin. Padahal Pasal 18 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik yg telah menjadi hukum nasional berdasarkan UU No. 12 Tahun 2005, ibadah dapat dilakukan di tempat umum atau Khusus;
Penghalangan tersebut tidak memiliki justifikasi hukum apapun. Dan merupakan tindakan pelanggaran “by commission” pemerintah.
2. Tetap tidak menaati putusan pengadilan. Yang mana merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia negara hukum. Prinsip utama dalam negara hukum adalah supremasi dan kepastian hukum. Pemerintah Bima Arya ternyata hanya menciptakan ketidakpastian hukum, dengan fakta bahwa dia tetap meneruskan sikap walikota sebelumnya yang tidak tunduk pada putusan pengadilan sebagai lembaga yudikatif.
“Jika sikap pemerintah yang tidak menghormati dan menjalankan putusan pengadilan seperti ini terus terjadi, Negara hukum Indonesia bisa terancam!”
“Kita tidak bisa membiarkan Indonesia berubah menjadi Negara kekuasaan”, ujar Febi Yonesta, Direktur LBH Jakarta.
Narahubung: Febi Yonesta (087870636308)