Kertas Posisi
Penentuan angka Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 akan dilakukan per 1 November 2014. Dengan besaran UMP tahun 2014 senilai Rp 2,441,301, buruh menuntut kenaikan UMP hingga 30% (sekitar 3,1 juta Rupiah), kemudian bertahap sampai 3,7 juta Rupiah pada tahun-tahun berikutnya. Sementara pengusaha, melalui KADIN Jakarta, mengusulkan kenaikan UMP tahun 2015 sebesar 11%.[1] Proses ini kembali menuai perdebatan antara dua poros: pengusaha dan buruh. Buruh menuntut pemenuhan haknya dengan menaikkan komponen KHL sehingga upahnya bisa naik hingga 30% per tahun 2015 karena UMP saat ini belum memenuhi standar hidup layak.
Alasan buruh berdasar pada survey KHL yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berdasarkan Permenakertrans No 13 Tahun 2012, sebagai berikut:[2]
Komponen | BPS | Buruh (KSPI) |
Makanan dan Minuman | Rp 644.264,50 | Rp 979.828,20 |
Sandang | Rp 189.107,28 | Rp 212.666,67 |
Perumahan | Rp 1.029.681,86 | Rp 1.308.646,33 |
Pendidikan | Rp 16.183,34 | Rp 33.500,00 |
Kesehatan | Rp 59.255,50 | Rp 66.375,00 |
Transportasi | Rp 345.000,00 | Rp 420.000,00 |
Rekreasi dan Tabungan | Rp 48.220,11 | Rp 83.798,65 |
Total | Rp 2.331.712,59 | Rp 3.104.814,85 |
Tabel 1. Perbedaan Nilai Komponen KHL Antara Buruh dan BPS
Sebuah pertanyaan mengemuka dari perbedaan hasil survey ini: apakah nilai KHL dan UMP saat ini sudah sesuai dengan standar upah layak?
Prinsip-Prinsip Upah Layak Berdasarkan HAM
Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya[3] menyatakan bahwa setiap orang berhak atas upah yang adil dan layak, tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, sehingga dapat menjamin imbalan yang berupa upah yang adil dan kehidupan yang layak bagi mereka yang sudah berkeluarga.[4]
Prinsip-prinsip mengenai upah layak juga diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 131 Tahun 1970 yang pada Pasal 3 menyatakan:
Unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dalam menentukan tingkat upah minimum, sejauh memungkinkan dan sesuai dengan praktek dan kondisi nasional, harus mencakup:
- Kebutuhan pekerja dan keluarga mereka, mempertimbangkan tingkat upah umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan sosial, dan standar hidup relatif kelompok-kelompok sosial lainnya;
- Faktor-faktor ekonomi, termasuk kebutuhan-kebutuhan pembangunan ekonomi, tingkat produktivitas dan perlunya mencapai serta mempertahankan tingkat lapangan kerja yang tinggi.
Tentunya, pemenuhan terhadap upah layak tersebut juga harus diiringi dengan perlindungan jaminan sosial sesuai dengan Konvensi ILO No. 152 Tahun 1952 mengenai (Standar Minimal) Jaminan Sosial yang antara lain mengatur jaminan bagi pekerja untuk mendapatkan seluruh akses terhadap layanan kesehatan, baik yang bersifat preventif atau kuratif.
Angka Upah Layak yang tidak mampu “membeli” Hidup Layak’
Ketentuan mengenai standar Kebutuhan Hidup Layak berkembang dari 46 komponen (Permenakertrans No 17 Tahun 2005) menjadi 63 komponen (Permenakertrans No 13 Tahun 2012). Kemudian terdapat beberapa versi mengenai apa dan berapa seharusnya cakupan komponen dan nilai dari angka Kebutuhan Hidup Layak. Pada 2009, Lembaga Analisis Sosial AKATIGA mempublikasikan hasil penelitian[5] yang menyimpulkan bahwa Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 yang saat itu mengatur mengenai 46 komponen hidup layak belum mencerminkan kebutuhan hidup layak bagi buruh yang seharusnya melingkupi 122 komponen. Pada tahun 2014 ini, KSPI menawarkan perubahan komponen KHL menjadi 84 untuk menggantikan Permenakertrans No 17 Tahun 2005.
Mengenai angka upah layak, Gerakan Clean Clothes Campaign[6] mengeluarkan penelitian untuk menemukan upah layak, dengan mengasumsikan bahwa kebutuhan hidup layak bagi pekerja meliputi:
[1] Akatiga bersama dengan beberapa serikat buruh menerbitkan publikasi berjudul ‘Menuju Upah Layak: Survei Upah Buruh Tekstil dan Garmen di Indonesia’
[2] Sebuah gerakan bernama Clean Clothes Campaign yang bergerak di bidang pemenuhan hak-hak fundamental bagi pekerja, secara rutin mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai standar hidup layak bagi pekerja di kawasan Asia yang dinamakan ‘Asia Floor Wage’.
- setiap pekerja harus menanggung dua unit konsumsi (satu unit = satu orang dewasa atau dua orang anak);
- setiap pekerja membutuhkan asupan 3000 kalori setiap harinya yang setara dengan 50% pengeluarannya;
- setiap pekerja mengalokasikan 40% pendapatannya untuk kebutuhan sandang, papan, biaya kesehatan, biaya pendidikan dan transportasi;
- setiap pekerja mengalokasikan 10% pengeluarannya untuk biaya rekreasi dirinya beserta keluarganya.
Maka, untuk konteks Indonesia pada tahun 2013, didapatkanlah angka kebutuhan per bulan sebesar Rp 4.048.226,00. Angka tersebut masih jauh dari UMP DKI Jakarta saat ini yang berada dalam kisaran 2,4 juta Rupiah.
Berikut ini adalah perbandingan antara Upah Minimum dan Biaya hidup riil di 7 negara pada tahun 2013:
Gambar 1. Minimum Wage VS Living Wage (sumber: Asia Floor Wage)
Dalam konsep hidup layak, upah dan jaminan sosial merupakan bagian di dalamnya. Namun hingga Juli 2014, BPJS menyatakan bahwa masih terdapat 150 ribu perusahaan di Indonesia yang belum mendaftarkan pegawainya menjadi anggota BPJS.[7] Lebih lanjut, dalam lingkup DKI Jakarta, pada September 2014, dari 5,2 juta pekerja masih ada 30% yang belum didaftarkan oleh perusahaannya untuk menjadi peserta dari BPJS Ketenagakerjaan. Amanat RPP Pensiun bagi karyawan swasta pun belum terbentuk, padahal jaminan pensiun adalah bagian tak terpisahkan dari jaminan sosial.[8]
Jika kita asumsikan bahwa hasil penelitian sebagaimana telah diutarakan di atas merupakan gambaran standar upah layak yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, maka angka KHL dan UMP di Indonesia masih belum mencerminkan pemenuhan HAM oleh pemerintah bagi kalangan pekerja. Pemerintah juga belum maksimal dalam memenuhi hak atas jaminan sosial bagi warga negaranya.
Tuntutan Buruh: Upah Layak menuju Hidup Layak
Konsep upah layak tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak buruh dan jauh dari biaya riil yang dikeluarkan buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sejatinya upah layak adalah salah satu komponen hidup layak. Praktek Upah Minimum tidak mampu menaikkan daya beli buruh dan seringkali dipergunakan untuk skala maksimum tanpa melihat masa kerja yang telah dilalui buruh. Bagaimana mungkin upah layak disamakan dengan hidup layak? Namun karena implementasi jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia belum dilaksanakan secara merata dan adil, maka upah layak yang berdasarkan prinsip-prinsip pemenuhan Hak Asasi Manusia harus diberikan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, dalam merespon sikap pemerintah yang enggak menaikkan komponen KHL dan menolak penyesuaian UMP dengan kebutuhan hidup layak buruh secara riil, LBH Jakarta menuntut:
- Segera revisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak karena belum mencerminkan standar hidup layak buruh secara riil;
- Awasi implementasi jaminan sosial (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan hidup layak;
- Segera bahas RPP Pensiun bagi Karyawan Swasta yang merupakan bagian dari jaminan untuk menjamin hidup layak, dengan melibatkan unsur buruh di dalamnya;
Jakarta, 30 Oktober 2014
Hormat Kami
LBH Jakarta
Contact Person : Eny Rofiatul N (085711457214)
[divider]
[1] Detik Finance, Pengusaha Usul UMP DKI 2015 Naik 11%, Buruh Tetap Ngotot 30%, diakses di http://finance.detik.com/read/2014/10/07/120527/2711744/4/pengusaha-usul-ump-dki-2015-hanya-naik-11-buruh-tetap-ngotot-30 pada tanggal 23 Oktober 2014 jam 16.02.
[2] JPNN, Tuntut UMP 2015, Buruh Siap Adu Survei Dengan BPS diakses di http://www.jpnn.com/read/2014/10/23/265481/Tuntut-UMP-2015,-Buruh-Siap-Adu-Survei-dengan-BPS- pada tanggal 23 Oktober 2014 jam 16.15.
[3] Diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui UU No 11 Tahun 2005
[4] Pasal 7 Konvensi Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
[5] Akatiga bersama dengan beberapa serikat buruh menerbitkan publikasi berjudul ‘Menuju Upah Layak: Survei Upah Buruh Tekstil dan Garmen di Indonesia’
[6] Sebuah gerakan bernama Clean Clothes Campaign yang bergerak di bidang pemenuhan hak-hak fundamental bagi pekerja, secara rutin mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai standar hidup layak bagi pekerja di kawasan Asia yang dinamakan ‘Asia Floor Wage’.
[7] Metro TV News, 150 Ribu Perusahaan “Nakal” Belum Daftar Ke BPJS Ketenagakerjan, diakses di http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/07/16/266182/150-ribu-perusahaan-nakal-belum-daftar-ke-bpjs-ketenagakerjaan pada tanggal 23 Oktober 2014 jam 17.45.
[8] Detik Finance, Dari 5.2 Juta Pekerja di DKI Ada 30% yang Belum Daftar BPJS, diakses di http://finance.detik.com/read/2014/09/24/121209/2699567/4/dari-52-juta-pekerja-di-dki-ada-30-yang-belum-daftar-bpjs pada tanggal 23 Oktober 2014 jam 18.00