Diseminasi Putusan
Tanggal (13/8) LBH Jakarta bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi FH UI) mengadakan acara “Diseminasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial“ di Hotel Oria, Menteng, Jakarta Pusat. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa narasumber di bidang perburuhan diantaranya, DR. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N. (Akademisi Universitas Airlangga), Saut Christianus Manalu, S.H., M.H., (Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat), dan Timboel Siregar (Sekretaris Jendral OPSI). Peserta undangan juga berasal dari kalangan serikat buruh, akademisi, praktisi, media, LSM, dan perwakilan pemerintah.
Acara yang diselenggarakan merupakan salah satu rangkaian kegiatan antara LBH Jakarta dan Mappi FH UI dalam rangka penelitian terhadap putusan-putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Peneliti berasal dari LBH Jakarta yaitu Eny Rofiatul Ngazizah, S.H. dan Muhammad Isnur, S.H.I, serta dari MaPPI yakni Anugerah Rizki Akbari, S.H. dan Ajeng Tri Wahyuni, S.H., LL.M.
Melalui acara tersebut akan dipaparkan hasil penelitian terhadap putusan-putusan PHI sekaligus mengukur kinerja PHI dalam menyelesaikan perselisihan industrial selama ini. Dalam sambutannya Febi Yonesta, S.H., (Direktur LBH Jakarta) menyampaikan bahwa penelitian ini mencoba menjawab apakah PHI adalah saluran yang efektif dalam menyelesaikan persoalan buruh selama ini. “Sejak awal didirikannya PHI, menuai banyak protes terutama kaum buruh, namun tetap saja dijalankan,” ujar pria yang disapa Mayong ini.
Putusan-putusan yang dijadikan objek penelitian sebanyak 3315 putusan sejak tahun 2006-2014. Dari hasil tersebut, sebanyak 2.993 putusan Pengadilan Hubungan Industrial di MA dan 149 putusan P4D/P4P yang berhasil di-indeksasi. Melalui putusan-putusan tersebut, akan terlihat sejauh mana kinerja PHI hingga MA dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Berdasarkan usulan dari FGD yang telah diselenggarakan sebelumnya dengan melibatkan serikat perkerja dan akademisi, LBH Jakarta melakukan fokus analisa terhadap isu PKWT-PKWTT; Upah Proses; Upah Minimum; Hak Perempuan; PHK dan sebab-sebabnya; dan Pemberangusan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pola-pola pertimbangan hakim dalam memutus perkara akan dipaparkan dalam diskusi. Pada kasus Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT-PKWT), telah ditemukan putusan bahwa hakim Mahkamah Agung tingkat kasasi telah memutus PKWT yang dibuat bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan maka batal demi hukum, dan secara otomatis menjadi PKWTT.
Ajeng menjelaskan pada kasus upah proses, perhitungan upah menurut hakim MA seringkali berbeda dengan hakim PHI. “Jadi menimbulkan multi interpretasi” ungkap peneliti Mappi tersebut. Di PHI Kota Surabaya, Hadi pun menyampaikan, bahwa putusan sela yang memutus pemberian upah proses hanya satu putusan, padahal permohonannya banyak.
Pada putusan terkait isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi perusahaan, Isnur memaparkan, terdapat putusan MA yang memutus perusahaan yang berperkara tidak terbukti efisiensi, maka PHK tidak sah. “Alasan efisiensi juga seringkali dijadikan modus oleh perusahaan untuk menjatuhkan PHK ke buruh,” ungkap Isnur.
Terkait praktek perselisihan di PHI, Eki menjelaskan, kawan-kawan buruh yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dibanding pihak perusahaan sering mengalami kesulitan ketika keduanya berhadapan di persidangan. “Kaum buruh yang kurang memahami pengetahuan hukum acara akibatnya mereka tidak mampu mendalilkan gugatan, sebaliknya pengusaha mampu mendalilkan karena memiliki pengetahuan hukum yang luas” tegas Eki.
Hal senada juga disampaikan oleh Eny, bahwa ketika kaum buruh mengajukan gugatan sendiri tanpa didampingi kuasa hukum, dikhawatirkan gugatan tidak dapat diterima. “Penyebabnya karena kurangnya pengetahuan buruh mengenai hukum acara,” ungkapnya.
Hadi pun mengakui kalau banyak akademisi yang mengusulkan kasus perburuhan tidak dibawa ke ranah pengadilan karena merugikan buruh. “Justru mekanisme pengadilan sering dimanfaatkan pengusaha untuk mengulur-ulur waktu agar menunda kewajibannya dengan cara terus melakukan upaya hukum,”tegasnya. Saut juga menyadari, bobroknya PHI karena masih menggunakan mekanisme hukum acara perdata yang kurang efektif.
Sejak UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diberlakukan, banyak kalangan yang melakukan protes karena dianggap proses penyelesaian kasus buruh menghilangkan peran negara. “Banyak yang protes terhadap UU PPHI tapi tidak pernah ada yang mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Timbul.
Melalui diskusi tersebut, Timbul mengajak seluruh kalangan untuk melakukan amandemen terhadap UU PPHI demi terciptanya proses perselisihan yang efektif, terutama bagi kepentingan kaum buruh. (Gading)