LBH Jakarta mendesak Gojek, Grab, serta seluruh perusahaan ojek online dan kurir online untuk mencabut aturan yang melarang unjuk rasa, demonstrasi, dan berbagai kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum lainnya serta menghormati hak tiap-tiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi di muka umum. Pemberlakuan aturan-aturan yang melarang tersebut secara nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di republik ini dan hak asasi manusia. Penyampaian pendapat di muka umum sangat penting sebagai bentuk protes apabila muncul kebijakan yang sewenang-wenang dan menindas. Dengan melarang maka Gojek, Grab, dan berbagai perusahaan tersebut melanggar hak asasi manusia 4 juta orang, karena faktanya ada 4 juta orang driver di seluruh Indonesia.
Baca juga:”Pemprov Jawa Barat Melanggar Hak Kemerdekaan Berpendapat”
Setidak-tidaknya dari 2 ‘pemain’ besar di bisnis ojek online dan kurir online, keduanya melarang berbagai aksi menyampaikan pendapat di muka umum. Pada Tata Tertib Gojek (“Tartibjek”) yang dikeluarkan 9 November 2021 lalu pada Pelanggaran Tingkat V Nomor 9 Tartibjek menyatakan, driver pada aplikasi Gojek dilarang untuk “Mengajak Driver lain untuk melakukan kegiatan demonstrasi/sweeping/offbid/segala hal yang dapat merugikan perusahaan atau mengganggu ketertiban umum”. Selain itu ternyata Grab melarang pula sebagaimana disebutkan dalam Kode Etik Umum Mitra Grab poin 17 yang menyebutkan “ikut serta dalam demonstrasi illegal apapun terhadap Grab, serta terlibat atau memprovokasi mitra lain untuk melakukan kegiatan yang dapat merusak fasilitas umum atau merugikan pihak lain, dan atau merugikan pihak manapun tidak terkecuali pihak Grab” dan sanksinya adalah pengakhiran hubungan kemitraan dan dilaporkan ke pihak berwajib.
Selain melanggar hak kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, hal ini juga merupakan dampak dari sistem hubungan kerja non-standar “kemitraan”. Lain hal dengan para pekerja/buruh yang dilindungi hak berserikatnya, driver yang digadang-gadang sebagai “mitra” tidak memiliki payung hukum yang melindunginya. Ketentuan terkait kebebasan berserikat secara jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan ketentuan mogok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 137 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan, seolah tidak dapat digunakan untuk melindungi para driver/kurir dengan alih-alih mereka tidak dapat dikategorisasikan sebagai buruh.
Baca juga:””
Glorifikasi hubungan kerja non-standar “kemitraan” yang terus berkembang dan seolah memberikan angin segar kepada masyarakat dari perusahaan-perusahaan gig economy seperti halnya Gojek dan Grab, menciptakan hubungan hukum yang tidak dapat dikategorikan sebagai hubungan kerja. Padahal terdapat unsur pekerjaan, upah dan perintah sebagaimana tercantum definisinya secara jelas di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adanya legal loophole yang dihadirkan dari hubungan kemitraan antara pengusaha/platform dengan driver, membuat platform berdalih bahwa peran mereka hanya bertindak sebagai perantara antara pekerja dengan konsumen, sehingga mereka tidak memberi perintah dan upah secara langsung. Pun digadang-gadang sebagai hubungan kemitraan, belum ada ketentuan yang jelas mengatur hubungan kerja antara platform dengan driver. Seperti halnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 belum mengatur secara spesifik hubungan kemitraan dalam gig economy, Permenhub No. PM 12/2019 yang hanya mengatur kendaraan roda dua saja, dan terlebih di dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Sehingga muncul polemik antara ingin menghadirkan status pekerja atau terjebak dalam penggunaan istilah kemitraan.
Dari banyaknya masalah yang bermunculan akibat hubungan kerja non-standar “kemitraan” tersebut, tentulah menghilangkan perlindungan bagi hak-hak pekerja para driver, seperti: minimnya perlindungan hukum, tidak adanya jaminan kesehatan dan jaminan keselamatan kerja atas risiko-risiko yang terjadi di jalan, kerusakan barang yang menjadi tanggung jawab driver/kurir, tidak adanya kepastian pendapatan dan hari-hari libur, serta tidak dijaminnya hak berserikat dan mogok sebagaimana dimiliki oleh pekerja dalam hubungan industrial. Ketidakseimbangan hubungan kemitraan ini sangat memperlihatkan posisi rentan driver yang bisa dengan mudahnya kehilangan pekerjaan akibat suspend hingga kehilangan nyawa akibat tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dari pihak perusahaan/platform.
Berdasarkan uraian di atas dan demi kepentingan driver/kurir di hari ini serta masa mendatang, maka LBH Jakarta mendesak:
- Perusahaan Go-Jek dan Grab Indonesia untuk mencabut aturan-aturan yang melarang penyampaian pendapat di muka umum karena bertentangan dengan UUD 1945 dan hak asasi manusia;
- Perusahaan Go-Jek, Grab Indonesia dan gig economy yang menyediakan jasa ojek online dan kurir online lainnya untuk menghormati kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul setiap orang;
- Perusahaan-perusahaan gig economy penyedia jasa ojek online dan kurir online untuk memperbaharui aturan perusahaan dengan memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya dengan mengikutsertakan para pekerja/driver/kurir dan/atau perwakilan komunitas/serikat dalam permusyawaratan dan perumusannya;
- Presiden memerintahkan Kementerian Perhubungan untuk mengawasi perusahaan-perusahaan gig economy penyedia jasa ojek online dan kurir online, serta memastikan terpenuhinya hak-hak, kesejahteraan dan kondisi kerja yang adil bagi para pekerja/driver/kurir.
Jakarta, 31 Maret 2021
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.