Sidang perkara No: 97/G/2020/PTUN-JKT tentang gugatan pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja kembali berlanjut pada Selasa, 15 September 2020. Penggugat menghadirkan 3 (tiga) orang saksi ahli. Salah satu ahli yang dihadirkan adalah Sandrayati Moniaga selaku Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam persidangan tersebut, Sandrayati menjelaskan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang menjadi dasar terbitnya Surpres tidak hanya tertutup tetapi juga diskriminatif.
Dalam persidangan tersebut, Sandrayati memberikan keterangan di pengadilan sesuai dengan kewenangan Komnas HAM dalam Pasal 89 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sandrayati yang kini menjabat Komisioner Bidang Penelitian dan Pengkajian di Komnas HAM menyampaikan hasil pemantauan Komnas HAM terhadap proses penyusunan RUU Cipta Kerja sebelum diterbitkannya Surpres. Dari pemantauan tersebut, Komnas HAM menemukan bahwa pemerintah tidak pernah membuka akses publik terhadap RUU dan tidak menyediakan sarana langsung bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Komnas HAM sendiri bahkan kesulitan mengakses draf RUU dan naskah akademiknya meski telah mengajukan permintaan secara resmi. Hal tersebut menurut Komnas HAM melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan yang berpengaruh pada kesejahteraan umum yang sejatinya dijamin konstitusi.
Tidak hanya itu, Komnas HAM juga dengan tegas menyatakan terdapat diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat luas dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. Menurutnya diskriminasi tidak hanya dapat terjadi melalui tindakan langsung dalam sebuah regulasi, namun dapat juga terjadi dalam proses penyusunan UU. Diskriminasi dalam penyusunan UU dapat terjadi sepanjang terdapat pembatasan terhadap suatu kelompok atau pengistimewaan terhadap kelompok tertentu yang berakibat berkurang atau hilangnya suatu penikmatan hak. Dalam konteks penyusunan RUU Cipta Kerja, pemerintah memberikan kedudukan istimewa kepada pengusaha dengan pembentukan Satgas Omnibus Law melalui SK Menko Perekonomian No. 378 Tahun 2019. Di lain sisi, akses kelompok masyarakat lainnya seperti masyarakat adat, buruh, petani dan lainnya ditutup, bahkan untuk mengakses draf RUU. Hal-hal tersebut telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak warga masyarakat lainnya sehingga memenuhi syarat dinyatakan diskriminatif.
Dalam persidangan tersebut, Sandrayati diperiksa pada pukul 14.00 WIB dan merupakan saksi ahli ketiga yang diperiksa pada hari itu. Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap Oce Madril pengajar di FH Universitas Gajah Mada dan juga Bivitri Susanti dari STHI Jentera yang telah dimulai pada pukul 10.00 WIB. Total pemeriksaan ketiga ahli menghabiskan waktu 5 (lima) jam. Adapun pemeriksaan ahli dilakukan langsung di PTUN Jakarta dengan pengetatan protokol covid-19.
Persidangan selanjutnya akan diadakan pada Selasa, 22 September 2020 dengan agenda saksi ahli dari pihak Tergugat.
Jakarta, 15 September 2020
Hormat Kami
Tim Advokasi Untuk Demokrasi Bersama Para Penggugat Surat Presiden (KPBI, KPA, Merah Johansyah Ismail, YLBHI)