Sidang perkara No: 97/G/2020/PTUN-JKT tentang gugatan pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja kembali berlanjut pada Selasa, 8 September 2020. Presiden selaku Tergugat yang diwakili Jaksa Pengacara Negara menghadirkan 3 (tiga) saksi fakta dari Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg). Keterangan yang dihadirkan para saksi mengonfirmasi bahwa pemerintah tidak pernah membuka draf dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja hingga pembahasan diserahkan ke DPR RI dengan alasan menghindari kegaduhan publik. Pemerintah juga mengakui bahwa Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dibuat secara bersamaan dengan draf RUUnya.
Saksi Fakta pertama yang diperiksa adalah I Ktut Hadi Priatna selaku Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenko Perekonomian. Kemenko Perekonomian adalah kementerian penanggungjawab penyusunan substansi RUU Cipta Kerja. Saksi menegaskan bahwa draf yang beredar di publik sebelum Surpres diterbitkan bukan merupakan draf yang benar dan tidak berasal dari Kemenko Perekonomian sebab draf RUU baru dibuka ke publik setelah pembahasan telah diserahkan ke DPR RI. Pihaknya juga mengatakan bahwa draf dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja tidak pernah diberikan dalam pertemuan-pertemuan dengan buruh sebelum Surpres diterbitkan untuk menghindari kegaduhan publik. Pihaknya mengklaim bahwa informasi yang diberikan hanya berbentuk poin-poin dalam presentasi saja dan hal itu sudah cukup menjadi dasar pemerintah sudah melakukan penyebarluasan RUU Cipta Kerja.
Fakta menarik diungkapkan oleh Hadi Priatna yang menyatakan bahwa pihaknya telah melibatkan buruh secara aktif dengan membuat Tim Koordinasi khusus untuk kluster ketenagakerjaan melalui diterbitkannya SK Menko Perekonomian Nomor 121 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 7 Februari 2020. Padahal di tanggal yang sama pula, Surat Presiden yang menyerahkan kewenangan pembahasan RUU Cipta Kerja ke DPR RI ditandatangani oleh Presiden RI. Ketika hal tersebut dikonfirmasi, Hadi hanya menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Presiden RI dan bahwa pembentukan tim tersebut dimaksudkan untuk menunjukan bahwa buruh telah terlibat dalam penyusunan.
Hal tersebut bertolak belakang dengan keterangan yang disampaikan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dalam persidangan sebelumnya. Kedua konfederasi yang namanya tercantum sebagai anggota menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas terkait pembentukan tim tersebut dan pada praktiknya tidak pernah dilakukan pertemuan terkait pembahasan poin-poin ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja sebelum diserahkannya kewenangan pembahasan kepada DPR melalui Surpres.
Hal tersebut sangat kontras dengan pembentukan Satuan Tugas Pemerintah dan KADIN yang dibentuk Menko Perekonomian pada Desember 2019 melalui SK No. 378 Tahun 2019. Selain diberikan waktu yang cukup panjang, Hadi Priatna menyatakan bahwa pembahasannya menghasilkan Daftar Inventaris Masalah oleh KADIN untuk masukan draf RUU Cipta Kerja yang disusun oleh pemerintah sebelum diserahkan ke DPR RI.
Saksi Fakta kedua yang dihadirkan adalah Nasrudin yang menjabat sebagai Widyaiswara utama Kemenkumham yang menyatakan terlibat secara langsung dalam penyusunan Naskah Akademik dan pembahasan draf RUU Cipta Kerja sebelum diserahkan ke DPR RI. Nasrudin menyampaikan fakta yang sangat penting bahwa draf RUU Cipta Kerja tidak dibuat setelah Naskah Akademiknya telah rampung, melainkan dibuat secara bersamaan (simultan). Nasrudin menjelaskab bahwa Kemenkumham sebagai penanggungjawab proses legislasi RUU Cipta Kerja bersama Menko Perekonomian telah mulai melakukan assesment untuk Omnibus Law Cipta Kerja sejak bulan September 2019, sebelum Presiden menyampaikan pidato yang mencanangkan adanya Omnibus Law. Selama 4 (empat) bulan, pemerintah menyusun draf dan naskah akademik secara bersamaan hingga diserahkan ke DPR pada awal Februari 2020. Nasrudin sendiri mengaku tidak terlibat dan tidak mengetahui mengenai forum-forum konsultasi yang dilakukan dengan masyarakat.
Adapun saksi fakta ketiga adalah Ahmad Hadi dari Mensesneg. Saksi ketiga tidak mengetahui mengenai proses penyusunan dan konsultasi publik yang dilakukan dalam penyusunan. Ahmad hanya menjelaskan bahwa dirinya bertugas dalam melakukan pemeriksaan syarat-syarat formil di internal Kemensesneg untuk dapat menerbitkan Surat Presiden pengajuan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi menyakini bahwa keterangan saksi fakta dari Tergugat mengonfirmasi dalil Penggugat bahwa bahwa Surpres RUU Cipta Kerja diterbitkan cacat prosedur dan melanggar hukum. Surpres sudah selayaknya dinyatakan melanggar hukum dan Presiden RI harus menarik kembali pembahasan RUU Cipta Kerja yang cacat prosedur tersebut. Tim Advokasi dalam persidangan juga meminta hakim segera menerbitkan Putusan Sela untuk menunda keberlakukan Surat Presiden tersebut mengingat publik yang tidak dapat terlibat karena Covid-19 dalam proses pembahasan yang dipaksakan berlangsung cepat di DPR bersama pemerintah. Meski demikian, hakim belum dapat memutuskan dan akan mempertimbangkan permohonan tersebut.
Persidangan berlangsung selama hampir 3 (tiga) jam dimana saksi pertama dari Kemenko Perekonomian menjadi saksi yang paling lama diperiksa. Kursi pengunjung persidangan yang terbatas karena protokol Covid-19 dipenuhi perwakilan pemerintah dari ketiga kementerian tersebut. Persidangan juga dilakukan dengan protokol Covid-19 yang lebih ketat dari beberapa waktu sebelumnya mengingat terdapat kasus Covid-19 di lingkungan PTUN Jakarta.
Persidangan selanjutnya akan diadakan pada Selasa, 15 September 2020 dengan agenda saksi ahli dari pihak Penggugat.
Jakarta, 9 September 2020
Hormat Kami
Tim Advokasi Untuk Demokrasi Bersama Para Pengugat Surat Presiden (KPBI, KPA, Merah Johansyah Ismail, YLBHI)