Siaran Pers
Kuasa Hukum 6 Aktivis Papua Mendesak Sidang Ditunda Demi Mencegah Penyebaran Virus Corona di Lingkungan Rutan atau Lapas
Sidang 6 aktivis Papua yakni Surya Anta, Arina Elopere, Ambrosius Mulait, Issay Wenda, Dano Tabuni dan Charles Kossay tetap berjalan di tengah kondisi pandemi Coronavirus Disease (Covid-19).
Pada persidangan tanggal 20 Maret 2020 yang lalu, kuasa hukum 6 aktivis Papua telah meminta kepada Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa perkara ini untuk mengambil kebijakan menunda persidangan. Penundaan tersebut diminta guna menyikapi situasi penyebaran virus corona yang saat ini masih terjadi. Sebagaimana kita ketahui bersama, cepatnya proses penyebaran virus ini tentunya akan berdampak pada tim kuasa hukum, jaksa, hakim, para terdakwa, dan masih banyak lagi orang-orang yang rentan terpapar virus di lingkungan pengadilan. Presiden RI melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun telah menetapkan bahwa wabah virus corona merupakan bencana non alam sesuai dengan UU Penanggulangan Bencana.
Namun, permintaan penundaan persidangan tersebut tidak diperkenankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan masa penahanan ke 6 aktivis Papua tersebut akan segera berakhir.
Dengan ditetapkannya penyebaran virus corona yang begitu cepat, seharusnya lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian lebih sensitif atas hal tersebut. Langkah-langkah pencegahan seharusnya segera dilakukan demi untuk melindungi semua pencari keadilan, penegak hukum, serta pengunjung sidang. Hakim dan lembaga penegak hukum seharusnya berani membuat keputusan yang melindungi kepentingan umum.
Sebelumnya, 17 Maret 2020 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020 (SE Sesma 1/2020) tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan dalam Upaya Pencegahan COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya. Salah satu poinnya adalah soal persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat untuk tetap dilangsungkan sesuai dengan jadwal persidangan yang telah ditetapkan. Namun pada surat edaran tersebut juga menyebutkan perihal penundaan sidang diberikan kewenangannya kepada majelis hakim yang sedang menangani perkara untuk menentukan.
Menurut Oky Wiratama salah satu kuasa hukum ke 6 aktivis Papua, hadirnya SE Sesma 1/2020 tersebut tidak memberikan ketegasan dan kepastian hukum. Tak hanya bagi kliennya namun juga bagi para terdakwa lain yang tetap menjalani persidangan pidana walaupun ada alasan masa tahanan akan berakhir.
“Seharusnya majelis hakim dan penuntut umum dapat melakukan penangguhan penahanan, dan pengadilan tinggi dapat memperpanjang masa tahanan jika pemeriksaan masih diperlukan, walau KUHAP memang tidak mengatur secara rinci perpanjangan penahanan dengan kondisi wabah seperti virus corona ini,” tegas Oky.
Apabila persidangan tetap digelar, maka hal tersebut bertentangan dengan himbauan dari Presiden RI yang menghimbau untuk menjalankan social distancing untuk mencegah penyebaran virus corona. Terlebih lagi, sudah ada peraturan dari Kepala Rutan Salemba maupun Rutan Pondok Bambu yang ditempati oleh para terdakwa untuk tidak memperbolehkan tahanan baru masuk, tidak menerima kunjungan, dan menghentikan persidangan untuk sementara waktu. Namun, yang terlihat adalah tidak adanya sinergi kebijakan pengadilan negeri, kejaksaan maupun rutan.
6 Aktivis Papua menjalani masa tahanan di Rutan Klas I Salemba Jakarta Pusat dan Rutan Klas I Pondok Bambu. Dengan tetap melakukan persidangan, mereka berpotensi besar menjadi penyebar virus corona bagi tahanan lainnya. Apalagi, berdasarkan data pemasyarakatan Ditjenpas, Rutan Klas I Salemba dihuni oleh 4230 orang, sementara kapasitas Rutan Salemba hanya 1500, artinya terjadi overcrowding sebanyak 282%. Sedangkan Rutan Klas I Pondok Bambu dihuni 652 tahanan dan narapidana, sementara kapasitas Rutan Pondok Bambu hanya 411 sehingga mengalami tingkat overcrowding sebanyak 159%.
Sebagai informasi, sidang ke 6 aktivis Papua terakhir diselenggarakan Jumat (20/03), dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetap menggelar persidangan. Dan, berdasarkan data dan hal-hal di atas, Tim Advokasi Papua mendesak:
1. Komisi Yudisial serta Mahkamah Agung untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih humanis dan lebih sensitif dengan situasi nasional, khususnya penetapan darurat bencana virus corona di Indonesia;
2. Majelis Hakim untuk menunda sidang ke 6 aktivis Papua maupun sidang lain demi mencegah penyebaran virus corona di lingkungan pengadilan, rutan atau lapas.
3. Majelis Hakim agar dapat melakukan perpanjangan penahanan berdasarkan KUHAP. Selain itu KUHAP juga memberikan alternatif untuk memberikan penangguhan penahanan, sehingga teknis permohonan penangguhan penahanan haruslah dipermudah dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona ini.
4. Penuhi hak atas kesehatan para terdakwa dan tahanan lain di dalam rutan maupun lapas, pihak rutan dan lapas harus menyediakan layanan kesehatan yang memadai demi mencegah penyebaran virus corona ini.
Demikian siaran pers ini.
Hormat kami,
Tim Advokasi Papua