22 Maret 2020 warga Jakarta memperingati Hari Air dunia di tengah ancaman penularan pandemi Corona. Namun disaat yang sama akibat swastanisasi air Jakarta masih banyak warga Jakarta terutama kelompok masyarakat miskin dan rentan di berbagai wilayah yang tidak dapat mengakses air bersih dan terpenuhi hak konstitusional atas airnya oleh negara. Kini, jangankan memenuhi kebutuhan air minum, untuk menjaga kebersihan seperti mencuci tangan mereka kesulitan. akibatnya mereka menjadi kelompok yg sangat rentan menjadi Korban berlapis dampak dari penularan virus corona.
Covid19 atau yang akrab disebut dengan Virus Corona kian merebak di wilayah DKI Jakarta. Sampai dengan tanggal 21 Maret 2020, 267 orang di DKI Jakarta dinyatakan positif terinfeksi virus mematikan ini, jumlah ini setara dengan 54% dari seluruh jumlah korban di Indonesia. Oleh karenanya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengimbau warga DKI Jakarta untuk menjalankan social distancing dengan tetap dirumah memperbanyak dan rutin mencuci tangan setelah melakukan aktivitas serta membatasi kontak dengan orang lain.
Namun, himbauan ini ternyata tidak sejalan pada ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan rentan untuk mengakses air bersih di DKI Jakarta. Pasalnya, air di DKI Jakarta sendiri saat ini dikelola oleh swasta dan bukan oleh negara. Pengelolaan air oleh pihak swasta ini menjadikan air sebagai komoditas bisnis yang tidak bisa dijangkau oleh semua golongan masyarakat. Akibatnya prioritas layanan air bersih hanya menjangkau kalangan masyarakat menengah ke atas dan dipusatkan bagi Kawasan Perumahan mewah, apartemen, hotel, mall dan perkantoran. Padahal air merupakan hak konstitusional dan kebutuhan dasar bagi seluruh lapisan masyarakat yang tidak bisa dibatasi aksesnya untuk alasan apapun. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sendiri nampaknya enggan menghentikan swastanisasi air di Jakarta yang telah terjadi selama 23 tahun. Janjinya menghentikan swastanisasi air Jakarta masih jadi angan angan kosong. Alih-alih meminta warga DKI Jakarta tetap dirumah dan rajin mencuci tangan untuk mencegah penularan Covid-19, Gubernur sendiri justru terus membiarkan adanya hambatan akses seluruh golongan masyarakat terhadap air dengan tetap melanjutkan praktik swastanisasi air di DKI Jakarta. Hingga kini, Anies Baswedan belum juga menghentikan swastanisasi air di Jakarta dan Anies sendiri justru membatasi akses seluruh golongan masyarakat terhadap air dengan tetap melanjutkan peran swasta dalam pengelolaan swastanisasi air di DKI Jakarta, dengan kedok renegosiasi kontrak yang notabene tidak memutus kontraknya namun hanya merestrukturisasi kontrak.
Ketidakmampuan masyarakat terutama masyarakat miskin dan rentan dalam mengakses air bersih disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kualitas air yang buruk dan tidak layak konsumsi atau pakai, misalnya saja warga di wilayah Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara yang harus bertahan dengan air keruh dan bau. Keadaan yang lebih buruk juga dialami oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat yang airnya tidak hanya hitam dan bau, namun juga berbusa/berbuih. Kedua, ketersediaan air yang tersendat-sendat. Di beberapa wilayah DKI Jakarta, air hanya mengalir di pada jam tertentu saja. Sehingga himbauan Gubernur untuk perbanyak mencuci tangan sudah pasti tidak bisa dilakukan. Ketiga, dengan kualitas air yang sedemikian buruk dan minim ketersediaan, warga DKI Jakarta harus membayar air dengan harga yang sangat mahal. Saat ini, akibat swastanisasi air, warga Jakarta harus membayar Rp.6.300 – Rp.7.800 per meter kubik air.
Situasi ini dirasa lebih berat oleh perempuan karena perannya yang lebih banyak bersinggungan dengan air untuk memastikan kebutuhan anak, keluarga dan rumah tangga terpenuhi. Termasuk di dalam situasi pandemi corona ini, di mana perempuan dilekatkan peran untuk memastikan dan mendahulukan kesehatan anak dan anggota keluarga lainnya, maupun ketersediaan pangan bagi seluruh keluarga yang seringkali mengharuskan mereka untuk mendapatkan bahan pangan di luar rumah.Oleh karena itu pada Hari Air Sedunia 2020 ini, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menuntut :
- Negara cq Pemerintah baik Pusat maupun daerah melalui Presiden dan Kepala Daerah memastikan penguasaan air oleh Negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana mandat Pasal 33 Konstitusi ;
- Gubernur DKI Jakarta menunaikan janjinya dan tidak membuat kebohongan publik dengan secepatnya memutus kontrak swastanisasi air antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta untuk menghentikan swastanisasi air di DKI Jakarta dan mengembalikan pengelolaan air ke publik untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat;
- Pemerintah DKI Jakarta menjamin ketersediaan dan akses air minum maupun air bersih bagi seluruh warga DKI Jakarta khususnya masyarakat miskin Kota dan kelompok rentan baik laki laki atau Perempuan untuk memastikan kelancaran upaya pencegahan penyebaran Covid19 dan kesehatan publik.
- DPRD DKI Jakarta untuk tidak diam saja, segera jalankan fungsi pengawasan untuk memastikan Gubernur menjalankan perintah konstitusi menguasai dan mengelola air untuk kemakmuran rakyat
- Menjamin keterlibatan dan partisipasi masyarakat, laki-laki dan perempuan dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan untuk pengelolaan air di Jakarta.
- Mendesak KPK Untuk mengawasi rencana pengambilalihan pengelolaan air Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta yang rentan terjadi tindak pidana korupsi;
Akhir kata, kami mengucapkan selamat Hari Air Sedunia, mari terus berjuang bersama untuk mengembalikan air yang saat ini yang hanya dikuasai segelintir orang, kembali dikuasai negara dan dipergunakan hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jakarta, 22 Maret 2020
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)