Melihat penanganan Covid-19 hingga 20 Maret 2020, Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan hal-hal berikut ini.
1. Pentingnya data real-time
Poin kelima Keputusan Menkes No. HK.01.07/MENKES/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menyebutkan bahwa “informasi hasil pemeriksaan positif hanya dapat dikeluarkan oleh Laboratorium Rujukan Nasional Covid-19”.
Kebijakan Kemenkes yang mengatur hasil pemeriksaan hanya dapat dikeluarkan oleh laboratorium tunggal telah menyulitkan identifikasi dan berpotensi menyembunyikan magnitude/tingkat keseriusan persoalan. Semakin banyak ditemukan pengungkapan kasus terjangkit Covid-19 setelah korban meninggal. Keterlambatan identifikasi ini membuat penanganan terhadap korban lambat atau bahkan tidak ada dan mengakibatkan kemungkinan sembuh hilang. Kelambatan identifikasi ini juga menyebabkan korban tetap bepergian dan berinteraksi dengan banyak orang karena tidak mengetahui sudah terjangkit virus. Akibatnya seluruh rancangan untuk memperlambat penyebaran virus dan menurunkan angka yang tertular akan gagal.
Kelambatan identifikasi misalnya terlihat pada pasien positif Covid-19 yang sempat dirawat di Cianjur dan meninggal dunia. Pasien sebelumnya sempat dinyatakan tidak terinfeksi.
2. Kewajiban Pemerintah
Pemerintah menghimbau untuk melakukan social distancing dan karantina mandiri. Tetapi kebijakan ini gagal melihat kebutuhan banyak orang akan makanan dan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Banyak orang yang hidupnya bergantung dari kerja harian di luar rumah. Tanpa bantuan makanan dan penghasilan dari pemerintah, menyuruh mereka tidak keluar rumah sama dengan membiarkan mereka perlahan-lahan mati kelaparan.
3. Kesiapan rapid-test
Pemerintah Pusat menyatakan tidak akan melakukan lockdown dan memilih jalan tes massal. Selain terlihat kurangnya koordinasi dengan pemerintah daerah karena beberapa daerah sudah menyatakan melakukan lockdown dengan berbagai versinya, kebijakan tes massal menimbulkan beberapa pertanyaan. Beberapa di antaranya adalah mekanisme pengetesan dan biaya. Membebankan biaya kepada masyarakat akan membuat hanya orang-orang yang memiliki cukup uang yang dapat memilih untuk menjalankan tes ini.
4. Sosialisasi dan edukasi mengenai risiko penularan virus corona dan kebijakan pemerintah terkait jarak sosial (social distancing) belum optimal dilakukan oleh perangkat pemerintah baik pusat maupun daerah. Pelibatan publik seperti dunia kampus, tokoh agama, budayawan, dan sebagainya di berbagai wilayah dalam memerangi risiko penularan virus corona juga masih minim. Hasilnya, belum semua warga mendapatkan informasi yang memadai. Kebijakan pemerintah tidak efektif dilaksanakan di masyarakat dan berisiko memperluas penyebaran virus corona.
Berdasarkan hal-hal di atas kami mendesak Pemerintah:
- I. Mengubah ketertutupan informasi dan pengetesan Covid-19 agar data yang tersaji adalah data real-time. Melihat tes kepada beberapa pejabat maka hal ini dimungkinkan.
- II. Mendesak keterbukaan informasi, termasuk lokasi pasien terinfeksi dan riwayat perjalanan. Keterbukaan informasi ini perlu dilakukan dengan tetap menjamin perlindungan data pribadi pasien.
- III. Memperjelas mekanisme dan efektivitas tes massal dan tidak membebankan biayanya kepada rakyat. Pemerintah tidak boleh menggunakan tes kit yang belum teruji validitasnya dalam menguji warga. Selain itu, pemerintah juga harus memprioritaskan pemeriksaan bagi orang yang pernah terpapar atau berinteraksi dengan pasien positif. Pelayanan pemeriksaan di fasilitas kesehatan perlu mendahulukan kelompok yang rentan terkena infeksi, seperti warga yang berusia lanjut dan memiliki riwayat gangguan pernafasan, termasuk asma. Implementasi tes massal hanya akan efektif jika dibarengi dengan keseriusan melakukan penelusuran riwayat kontak dan perjalanan dari orang yang dinyatakan positif COVID-19.
- IV. Mendesak Pemerintah Pusat memastikan ketersediaan seluruh alat pelindung diri (APD) dan fasilitas yang dibutuhkan bagi para tenaga kesehatan (dokter dan perawat), dan tenaga administrasi. APD bagi tenaga medis adalah upaya menjamin perlindungan bagi keselamatan mereka. Ketersediaan APD bagi para dokter dan perawat yang bekerja bersifat absolut dan tidak dapat ditolerir.
- V. Keputusan yang diambil pemerintah terkait penanganan penyebaran Covid-19, termasuk penetapan karantina zonasi harus diputuskan berdasarkan rekomendasi para ahli kesehatan dan bukan atas dasar politis atau alasan lain. Tugas pemerintah adalah mengamankan dan melaksanakan rekomendasi terbaik berdasarkan data ilmiah demi kepentingan kesehatan publik. Jika karantina zonasi ditetapkan, pemerintah perlu memastikan ketersediaan pasokan logistik dan transportasi. Otoritas juga perlu menjamin mobilitas untuk petugas medis dan profesi lain yang dibutuhkan banyak orang, termasuk jurnalis yang bekerja guna memastikan agar publik tetap mendapatkan informasi yang terpercaya dan akurat.
- VI. Mendesak Menteri Dalam Negeri untuk meminta Kepala Daerah dalam menggerakkan dan memaksimalkan peran perangkat pemerintahan seperti camat, lurah, hingga RT dan RW dalam menginformasikan dan menyosialisasikan kebijakan social distancing dan melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya untuk mencegah semakin meluasnya penyebaran virus corona
- VII. Mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk bersinergi bersama-sama masyarakat dengan meningkatkan koordinasi dan segera mengambil keputusan strategis untuk mencegah penyebaran virus corona dan dampaknya demi keselamatan seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 21 Maret 2020
Koalisi Masyarakat Sipil
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lokataru, Migrant Care, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Transparency International Indonesia (TII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)