LBH Jakarta bersama Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) menyelenggarakan Diskusi Diponegoro dengan tema Citizen Lawsuit Polusi Udara, di ruang terbuka Rooftop Gedung LBH Jakarta, Rabu (28/08). Diskusi ini di gelar untuk menyikapi Gugatan CLS Polusi Udara Jakarta dan penyadaran publik akan hak udara bersih.
Diskusi publik ini dipandu oleh Bella seorang pemerhati lingkungan dan menghadirkan beberapa narasumber yaitu Ayu Eza Tiara yang merupakan Pengacara Publik LBH Jakarta, Tim AirVisual , Bondan Adriyanu dari Greenpeace, Raynaldo Sembiring dari ICEL, dan Adityo Harinugroho yang merupakan salah satu penggugat CLS Udara dari komunitas pesepeda Anak Haram Jalanan Ibukota. Musisi dari Band EndahNRhesa juga hadir mengikutidiskusi tersebut.
Dalam kesempatan diskusi ini, Ayu Eza Tiara Pengacara Publik LBH Jakarta yang merupakan salah satu kuasa hukum dalam Tim Advokasi IbuKota menjelaskan bahwa latar belakang gugatan ini karena respon dari pemerintah yang negatif terhadap kajian atau riset yang dilakukan oleh Tim Advokasi Ibukota. Sebelumnya, Tim Advokasi Ibukota sejak tahun 2018 telah melakukan kajian terhadap polusi udara di kota Jakarta dan hasil kajian tersebut sudah diajukan kepada pemerintah sebagai masukan untuk membuat perubahan kebijakan. Namun, respon dari pemerintah negatif dan justru meragukan alat ukur yang digunakan oleh Tim Advokasi Ibukota.
Ayu juga menjelaskan dalam gugatan CLS Polusi Udara yang dituntut adalah perubahan kebijakan, bukan ganti kerugian uang. Perubahan kebijakan yang dimaksud adalah adanya kebijakan dan program/rencana strategis pemerintah dalam menangani polusi udara sehingga kualitas udara menjadi lebih baik.
“Yang kita tuntut bukan adanya ganti kerugian uang, tetapi kita menuntut adanya perubahan kebijakan, rencana strategis pemerintah untuk mengatasi pencemaran udara,” tegas Ayu.
Lebih lanjut, Ayu juga menjelaskan perubahan kebijakan yang dituntut dalam gugatan CLS Polusi Udara adalah adanya perbaikan kebijakan dari PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. PP ini merupakan PP yang sudah using karena belum menaikan standar polusi sesuai dengan standar WHO.
Melalui gugatan ini para penggugat pun menuntut adanya koordinasi dari elemen negara baik pemerintah provinsi maupun kementerian terkait guna menangani permaslahan polusi udara. Harapannya, dengan adanya koordinasi yang baik dapat lahir rencana strategis untuk mengurangi polusi udara.
Bondan Adriyanu yang merupakan pemerhati lingkungan dari Greenpeace menyoroti kegentingan polusi udara di Jakarta yang mengandungi Polutan PM 2,5. Bondan menjelaskan PM 2,5 ukurannya sangat kecil, yaitu 2, 5 mikron yaitu sepertiga puluh dari ukuran rambut manusia. Sehingga ketika terhirup melalui udara maka akan masuk ke jaringan terkeceil paru-paru atau Alveoli.
“Ketika PM 2,5 masuk ke alveoli maka akan masuk ke darah, lalu dipompa oleh paru-paru menuju ke jantung dan bisa masuk ke otak. PM 2,5 tersebut dapat menumpuk dan mengendap di organ-organ tubuh manusia,” terang Bondan.
Dampak dari Pm 2,5 tersebut diantaranya adalah gangguan pernafasan atau ISPA, asma, penyakit jantung, iritasi kulit, stamina menurun, penuaan dini, penyakit kanker, penyakit jantung hingga dapat menyebabkan stroke.
Bondan juga mengkritik alat ukur kualitas udara yang digunakan oleh pemerintah, menurutnya alat ukur kualitas udara yang digunakan Kementerian LHK masih mengacu pada Indeks Satuan Pencemaran Udara tahun 1997. Selain itu, alat ukur kualitas udara tersebut juga tidak dapat memberikan laporan perubahan kualitas udara dengan cepat.
“Angka dalam alat ukur kualitas udara KLHK berlaku hari ini hingga esok hari pukul 3 sore, padahal kualitas udara bisa berubah-ubah dalam hitungan jam,” ucap Bondan.
Narasumber lainnya, Raynaldo Sembiring atau biasa dipanggil Dodo, ahli lingkungan dari ICEL menjelaskan bahwa dalam memperbaiki kualitas udara, pemerintah harus membuat kebijakan berdasarkan inventalisir data/riset.
Adityo Harinugroho yang merupakan salah satu penggugat dari gugatan CLS Udara mengatakan bahwa sesuai dengan konstitusi Pasal 28 H UUD 1945, ia sebagai warga negara berhak atas lingkungan hidup termasuk kualitas udara yang bersih. Melalui gugatan ini, ia juga berharap dapat membuka ruang diskusi dengan pemerintah untuk membahas permasalahan polusi udara.
Dalam kesempatan diskusi kali ini puluhan peserta secara aktif mengikuti diskusi. Para peserta berasal dari beberapa kalangan, baik dari masyarakat umum, perwakilan Organisasi, mahasiswa, dosen hingga pegiat lingkungan. Dalam Gugatan CLS Udara ada 7 tergugat yaitu Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Gugatan CLS Udara sudah memasuki sidang ke-2 pada 22 Agustus 2019 lalu dan akan dilanjutkan pada 12 September 2019 mendatang. (Arjuna)