(Jakarta, bantuanhukum.or.id) Kamis, 19 April 2018 kelas Kalabahu LBH Jakarta kembali dimulai. Sesi kali ini membahas seputar Mekanisme HAM Internasional dan Regional. Pembicara yang dihadirkan panitia adalah seorang wartawan investigasi dan peneliti HAM Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono. Andreas bergabung menjadi peneliti di NGO HAM yang konsisten melakukan riset dan kampanye HAM Internasional itu sejak tahun 2008. Tak hanya itu, Andreas juga dikenal karena menulis buku Jurnalisme Sastrawi dan ‘Agama’ saya Adalah Jurnalisme.
Andreas memulai kelas dengan menampilkan sebuah video kepada 50 lebih peserta Kalabahu 39 LBH Jakarta. Video tersebut adalah pidato politik Filep Karma Tahun 2004 di depan warga suku asli Papua. Filep, dalam pidato menyebut bahwa Papua harus merdeka karena Pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai kejahatan HAM terhadap bangsa Papua.
Andreas mengisahkan, tak lama setelah pidatonya itu, Filep ditangkap dan ditahan oleh kepolisian. Filep kemudian dituntut dengan menggunakan pasal makar. Pengadilan Negeri Jayapura menghukum Filep 15 tahun penjara. Filep tidak terima dengan putusan itu lalu melakukan upaya hukum. “Ia banding, Pengadilan Tinggi Papua menghukumnya 15 tahun penjara juga. Ia kasasi, Mahkamah Agung menghukumnya 15 tahun juga” ungkap Andreas.
Andreas kemudian mengisahkan pula 28 orang Ambon yang ditangkap pada tahun 2007 karena menari cakalele dan membentangkan bendera Republik Maluku Selatan saat Presiden SBY hadir suatu upacara di stadion Ambon. Protes damai tersebut dipimpin oleh Johan Teterisa, seorang guru di Pulau Haruku. Total ada 68 orang ditangkap dalam protes damai pada 2007 tersebut, diadili dan dihukum antara 7 sampai 20 tahun penjara.
Berbagai organisasi hak asasi manusia protes penahanan semena-mena terhadap para aktivis tersebut. Antara lain, Komnas HAM, Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Amnesty International, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Jayapura. Berbagai kampanye dan kegiatan dibuat termasuk website Papuans Behind Bars. Pada Juni 2010, HRW membuat laporan “Prosecuting Political Aspiration” terhadap kejadian tersebut. Amnesty International bahkan menyatakan Filep sebagai “a prisoner of conscience”.
Tidak dipenuhinya hak Filep untuk bebas menyampaikan pendapat secara damai oleh Mahkamah Agung RI, menunjukkan bahwa Filep sudah berada pada kondisi “exhaustion of local remedies”. Sebuah kondisi dimana individu atau kelompok telah berupaya mendapatkan pemulihan atas pelanggaran HAM yang ia alami di tingkat nasional pada negaranya, namun badan-badan atau organ nasional tersebut tidak bisa memberikan perlindungan terhadap individu atau kelompok itu. “exhaustion of local remedies” adalah sebuah prasyarat dalam hukum HAM internasional agar suatu pelanggaran HAM bisa ditangani oleh badan-badan PBB yang bertugas melindungi hak asasi.
Freedom Now, sebuah NGO HAM yang berbasis di Washington, Amerika Serikat tertarik mewakili Filep untuk menggugat di UN Working Group on Arbitrary Detention di New York. Bulan Mei 2011 gugatan dimasukkan. Pemerintah Indonesia juga diundang oleh Mahkamah PBB untuk penahanan sewenang-wenang tersebut. “November 2011, UN Working Group on Arbitrary Detention mengeluarkan opini: Filep Karma ditahan semena-mena dan pengadilan Indonesia menafsirkan “makar” dengan disproporsional” terang Andeas.
Pasca putusan dari Mahkamah PBB tersebut Indonesia masih belum membebaskan Filep. Ketidakadilan yang dihadapi Filep mengundang simpati dari berbagai pihak. Sikap Indonesia yang tidak melaksanakan putusan PBB tersebut menimbukan reaksi yang lebih kuat dari dunia Internasional.
Kasus Filep merupakan hal yang sangat di Sorot di pembahasan HAM seluruh negara-negara dunia di Universal Periodic Review putaran ke-2 bertempat di Markas PBB Jenewa, Swiss 2012. Semakin hari semakin banyak orang datang ke penjara menjenguknya. Dalam seminggu, kartu pos yang datang untuk Filep di penjara memenuhi meja pingpong. Bahkan, Filep dijadikan artwork sebuah jembatan di Jerman.
Filep ditawarkan bebas melalaui grasi oleh Pemerintah SBY namun Filep menolak. Ia merasa tidak bersalah. Sedangkan, grasi adalah permohonan pengurangan hukuman kepada Presiden. “Saya menolak itu (grasi). Karena kalau saya menerima grasi berarti saya mengakui kalau saya bersalah” Ungkap Filep dalam sebuah video wawancara di Youtube.
Mei 2015, Presiden Jokowi berkunjung ke penjara Abepura memberikan grasi kepada 5 Narapidana Papua Merdeka selain Filep. Jokowi berjanji membebaskan seluruh tahanan politik Papua dan Republik Maluku Selatan. November 2015 Filep akhirnya dibebaskan melalui remisi. Tercatat Filep sudah menjalani penghukuman sewenang-wenang selama 9 tahun lebih.
Belajar dari kasus Filep Karma, Andreas menjelaskan kepada peserta Kalabahu, “Mekanisme (HAM) Internasional bisa dipakai karena semua negara di dunia ini anggota PBB, tidak ada negara bukan anggota PBB. Ada tiga yang khusus, Taiwan, Vatikan dan Greenland. Diluar itu semua negara adalah anggota PBB. Mereka terikat dengan berbagai macam ketentuan ini (HAM) dari UN Special Rapporteur, Universal Periodic Review dan berbagai macam pengadilan-pengadilan di PBB”. (gfr)