Pada Jumat, 13 Februari 2018, Karya Latihan Bantuan Hukum angkatan ke-39 (Kalabahu 39) memasuki sesi pembahasan Gerakan Sosial. Peserta diajak berdiskusi mengenai topik tersebut difasilitasi oleh Darmawan Triwibowo, penulis buku Gerakan Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi (LP3ES: 2006). Dalam diskusi tersebut, peserta diajak untuk mendefinisikan apa ciri gerakan sosial, bagaimana membuat gerakan sosial berhasil dan berkelanjutan berdasarkan pengalaman di berbagai negara.
Gerakan Sosial vs Gerakan Politik
Dalam diskusi, peserta bersama-sama merumuskan beberapa unsur Gerakan Sosial yaitu di antaranya adanya 1) identitas kolektif, 2) aksi kolektif, 3) sasaran mendorong atau mencegah perubahan, 4) dilakukan di ruang sosial (bukan ruang politik), 5) daya tahan dan 6) adanya relasi konfliktual antara kelompok pendukung dan penentang. “Dari tipologi tersebut, kita dapat melihat gerakan 212 yang bertujuan menolak Ahok sebagai gubernur (pada Pilgub DKI 2017-red) bukanlah gerakan sosial, tapi gerakan politik, karena tujuannya adalah perebutan kekuasaan dengan mendukung atau menggugurkan salah satu calon dalam pemilihan,” ujar Darmawan yang saat ini menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Tifa.
Peserta kemudian membandingkan aksi tersebut dengan aksi-aksi buruh melakukan mogok kerja ataupun aksi Supir Ojek Online yang belakangan melakukan aksi untuk menuntut kenaikan upah. “Aksi ojol atau petani itu jelas merupakan gerakan sosial karena dilakukan di ruang sosial dalam bentuk aksi atau pembangkangan, bukan lewat kotak suara dan sasarannya pun adalah perubahan kebijakan atau cara pandang masyarakat,” ujar Thomas Pandapotan salah satu peserta dari Universitas Pelita Harapan.
Dengan pendefinisian tersebut, beberapa perserta menyatakan ketidak sepahamannya akibat praktik di beberapa negara gerakan sosial tak jarang bersinggungan dengan politik dan bahkan berubah menjadi gerakan politik. Menanggapi hal tersebut, Darmawan menyatakan gerakan sosial memang kerap bertransformasi menjadi gerakan politik. “Tidak selamanya juga gerakan sosial merupakan cara paling baik untuk mendorong perubahan. Gerakan feminisme gelombang awal atau gerakan anti rasial di Amerika di dekade 60-an misalnya lebih memilih gerakan politik untuk mencapai tujuannya. Dalam hal ini yang penting adalah kesadaran akan adanya 3 jenis ruang, yaitu ruang ekonomi (pasar), ruang politik dan ruang sosial,” ujar Darmawan.
Dalam konteks gerakan sosial sendiri Darmawan menjelaskan terdapat perbedaan seiring perkembangan zaman. Terdapat apa yang dinamakan “The Old Social Movement” dan “The New Social Movement”. “Dalam gerakan sosial lama, identitas kolektif ditunjukan dengan kesamaan kelas dalam pendekatan ekonomi politik, seperti kelas buruh dan tani, namun dalam gerakan sosial baru, identitas kolektif lebih ditunjukan atas adanya kesamaan gagasan atau tujuan ideal yang ingin didesakan,” ujar Darmawan.
Darmawan memandu diskusi dengan memutarkan video singkat terkait gerakan sosial setiap sesinya. Total terdapat 4 video yang menjelaskan secara sederhana tentang perbedaan gerakan sosial, kelompok massa dan gerakan politik; penggunaan teknologi dalam gerakan sosial; peran anak muda dalam gerakan sosial hingga aksi kamisan. Dalam sesi yang berlangsung selama 2 jam sejak pukul 13.00 hingga 15.00 WIB tersebut, peserta terlihat antusias dalam mengajukan pandangan maupun pertanyaan.
Menentukan Keberhasilan Gerakan Sosial
Andika Perkasa salah satu peserta dari Universitas Pancasila diawal diskusi sempat menyampaikan keresahannya mengenai stagnansi gerakan buruh. “Saya khawatir gerakan buruh hanya menjadi seremonial dan bahkan transaksional. Kalau sudah begitu apakah masih dapat dianggap gerakan sosial?” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Darmawan mencoba menjelaskan secara teoritis tentang 5 aspek yang menentukan keberhasilan dari gerakan sosial yang didapat dari pengalaman di berbagai negara, yaitu 1) artikulasi gagasan yang jelas dan merepresentasikan kepentingan konstituen; 2) Adanya pemimpin; 3) Adanya sumber daya baik manusia maupun finansial dan 4) Pembentukan frame yang baik dan 5) adanya ekskalasi konstituen. “Lamanya sebuah gerakan bukan berarti menandakan ia gagal, karena justru ciri dari gerakan sosial adalah endurance (ketahanan). Namun harus dilihat apakah tujuan perubahannya tercapai atau tidak,” ujar Darmawan.
Dalam praktik, dikenal juga adanya siklus gerakan sosial yaitu: 1) proses inisiasi; 2)formalisasi gerakan dan 3) penurunan gerakan. “Biasanya penurunan ini bisa terjadi karena tujuan tercapai, adanya kooptasi atau transformasi menjadi gerakan politik,” ujar Darmawan.
Darmawan mengajukan 2 contoh gerakan yaitu Aksi Kamisan dan juga Gerakan Bantuan Hukum Struktural (GBHS) untuk didiskusikan mengenai capaian ini. Mengenai aksi kamisan, salah satu peserta menganggap meski aksi telah berlangsung selama 10 tahun dan belum ada perubahan sikap dari negara, namun gerakan kamisan dapat dikatakan tidak gagal dan cenderung berhasil. “Aksi Kamisan mampu membumikan isu HAM dalam masyarakat sekaligus menjadi pengingat sejarah bagi negara dan masyarakat. Ini merupakan suatu keberhasilan,” ujarnya.
Adapun mengenai GBHS, Darmawan menganggapnya sebagai gerakan sosial yang khas dan unik karena kemampuannya membangun frame yang universal yaitu keadilan sosial sehingga sulit dinafikan oleh banyak faksi-faksi gerakan. “GBHS bisa jadi rumah dalam gerakan sosial karena adherence (kesetiaan-red) bisa didapatkan dari masyarakat sipil dan bahkan pemerintah jika melihat sejarahnya,” ujar Dharmawan.
Tantangan Gerakan Sosial
Salah satu topik menarik juga yang juga dibahas adalah transformasi gerakan sosial melalui fasilitas media sosial. Pasca Arab Springs, penggunaan Media sosial lumrah dibicarakan dalam mendorong lahirnya gerakan sosial. Di Amerika, gerakan sosial banyak lahir dari media sosial mulai dari occupy wallstreet hingga Women’s March. Di Turki, siaran Presiden Recep Erdogan di media sosial bahkan mampu mendorong lahirnya aksi massa dan membendung kudeta militer. Indonesia pun pernah merasakan manfaat media sosial dalam gerakan melalui Gerakan #SaveKPK. “Media sosial adalah alat pengorganisasian, namun tanpa ada gerakan fisik yang mengikutinya, media sosial tidak mampu melahirkan gerakan sosial. Anak muda (milenials) perlu memanfaatkan ruang ini,” ujar Darmawan.