(Jakarta, bantuanhukum.or.id) – Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum) ke-39 LBH Jakarta, kembali menggelar sesi kelas dengan materi “Pembangunan dan Kemiskinan Struktural” pada Rabu lalu (11/4). Ada pun pada sesi ini, Ruth Indah Rahayu didapuk sebagai fasilitator dalam kelas. Ruth sendiri merupakan Program Manager pada Inkrispena (Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif).
Ruth memulai perbincangan dalam kelas dengan mengajukan berbagai ragam perspektif mengenai pembangunan.
“Pembangunan itu, kita akan menemukan istilah ini terutama dalam konteks public policy, dan ekonomi. Ini ada kaitannya dengan kepengaturan dan pengorganisiran Negara terhadap masyarakat. Tapi ya ingat, istilah “Pembangunan” itu sedari awal seolah mencirikan makna yang positif. Artinya, sebenarnya didalamnya ada tujuan atau cita-cita politik tertentu yang hendak dicapai”, ujar Ruth pada sesi awal pembukaan kelas.
Dalam hal pembangunan, setidaknya ada beberapa perspektif yang biasanya dipakai oleh kelompok cendikiawan maupun teknokrat pemerintahan di suatu negara. Misalnya ada yang menekankan pertumbuhan ekonomi, yang menitik beratkan pada sirkulasi kapital ekonomi di suatu negara, dalam hal seberapa banyaknya rata-rata penghasilan penduduk di suatu negara per-tahunnya.
“Pembangunan yang menekankan pada konteks pertumbuhan ekonomi, biasanya mengacu pada standar PDB atau Produk Domestik Bruto. PDB ini dipakai untuk menghitung rata-rata pendapatan masyarakat suatu negara per-tahunnya. Klaimnya, jika satu masyarakat di satu negara semakin tinggi pendapatannya, maka pembangunannya juga semakin tinggi, yang artinya masyarakat tersebut semakin sejahtera”, tandas Ruth.
Namun menurut Ruth, teori dan tesis atas teori ini bermasalah bila berkaca pada situasi di lapangan. Nyatanya, walaupun suatu Negara pendapatan rata-rata masyarakatnya cukup tinggi, tidak semerta-merta masyarakatnya sejahtera. Ada yang mengalami stress, bunuh diri, dan bahkan masih ada orang yang miskin dan menggelandang.
Pada posisi ini, sebagian kelompok melakukan refleksi atas teori dan tesis tersebut, bahwa pendapatan rata-rata belum tentu bisa dijadikan tolak ukur pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Apalagi dalam satu negara yang tingkat oligarki dan ketimpangan strata ekonominya cukup tinggi, justru menghadirkan ironi tersendiri.
“Maka dari itu, muncul beberapa kritik atas pembangunan model ini. Sebagian kelompok, membuat indikator lain untuk mengukur tingkat kesejahteraan dan pembangunan di satu negara. Indikator ini salah satunya adalah Indeks Pembangunan Manusia, atau Human Development Index, yang diciptakan oleh Mahbub Ul Haq dan kawan-kawannya”, ungkap Ruth di depan kelas.
Pada kelanjutannya, indikator ini dipakai oleh UNDP (United Nations Development Programme) untuk menjalankan agenda programnya sembari mendorong negara-negara yang tergabung dalam PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Dalam indikator ini, segala hal kemampuan manusia untuk mendapatkan hak-hak dasarnya seperi hak atas makanan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dsb. diukur sebagai dasar indeks pembangunan di suatu negara dan masyarakat.
Selain memproblematisir tolak ukur pembangunan, konsepsi mengenai pembangunan itu sendiri adalah satu hal yang dibahas pada sesi kelas ini. Konsepsi pembangunan tersebut memiliki banyak ragam. Misalnya dalam hal negara yang menekankan laju pertumbuhan ekonomi, maka pemosisian warga negara cenderung dibuat seragam-setara. Namun bagaimana warga negara mengakses dan mencapai tujuan atau keinginan ekonomisnya, hal tersebut diserahkan kepada kebebasan masing-masing individu warga negara.
“Konsepsi pembangunan yang berpijak pada pemosisian warga negara itu setara, sama dan bebas, pada kelanjutannya bermasalah. Karena sebenarnya tiap individu warga negara itu berbeda-beda, memiliki potensi dan khasnya masing-masing. Tidak bisa disamakan. Walaupun misalnya masing-masing dikasih modal uang yang sama, tapi kapasitas individu-individu tersebut berbeda-beda, sehingga belum tentu masing-masing individu tersebut berhasil mencapai kesejahteraan mereka”, imbuh Ruth.
Untuk meretas masalah ini, maka salah satu alternatif jalan keluarnya adalah dengan menekankan perspektif keadilan sosial dalam pembangunan, yang mana lebih memperhatikan kebutuhan masing-masing kelompok atau individu yang khas tersebut. Salah satu akademisi yang cukup vokal dalam isu dan perspektif ini adalah Amartya Sen, seorang peraih Nobel di bidang ekonomi.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya oleh Ruth Indah Rahayu, jika Pembangunan adalah terma yang politis. Artinya, ia mewakili kehendak dan tujuan kelompok ekonomi-politik tertentu. Pada posisi ini, acapkali pembangunan itu sendiri tidak melulu bersifat membangun untuk semua, ada banyak diantaranya justru tak membangun bagi sebagian orang.
Posisi ketakberbangunan inilah yang dapat membuat seseorang menjadi tertinggal, berkekurangan, dan miskin. Pada titik ini, ada benang merah yang khusus antara pembangunan dengan kemiskinan.
Sebagian kelompok akademisi maupun aktivis, melihat kemiskinan sebagai dampak yang ditimbulkan pasca pembangunan tersebut sebagai “kemiskinan struktural”, yakni kemiskinan yang dikondisikan sedemikian rupa oleh struktur kekuasaan melalui agenda-agenda ekonomi-politiknya, termasuk agenda pembangunan.
“Sebenarnya, cara pandang orang terhadap kemiskinan itu sendiri ada beragam. Misalnya yang alirannya konservatif, kemiskinan itu adalah hal yang natural diakibatkan oleh dari diri internal individu. Klaim ini dijustifikasi dengan klaim problem etis individu, seperti malas, bodoh, dan sebagainya. Karena perspektif mengenai kemiskinan itu banyak, maka sebenarnya buat kawan-kawan ini adalah tantangan tersendiri bagi gerakan bantuan hukum structural dalam mengadvokasi kaum tertindas”, ujar Ruth.
Dalam hal perspektif konservatif dalam melihat kemiskinan, beberapa diantaranya banyak dijustifikasi oleh pemahaman agama yang fatalis, dengan alasan sudah menjadi takdir Tuhan seseorang menjadi miskin. Ruth menyatakan kepada para peserta, bahwa cara pandang konservatif inilah tantangan awal bagi para aktivis maupun pegiat bantuan hukum struktural bila hendak mengadvokasi kaum tertindas dan miskin, seperti buruh, tani, nelayan, dan miskin kota.
“Kawan-kawan yang bilamana benar-benar hendak terjun advokasi membela kelompok yang tertindas, harus paham betul masalah ini lho; masalah pembangunan yang timpang, masalah kemiskinan yang ternyata dibuat oleh struktur kekuasaan. Kalau tidak paham, ya bakal sulit nanti kalau mau advokasi, karena kan misalnya di LBH ini, bantuan hukumnya bantuan hukum struktural, bukan bantuan hukum biasa”, tandas Ruth Indah Rahayu kepada para peserta Kalabahu 39.
Hingga kemudian sesi pemaparan Ruth selesai, beberapa peserta kelas tampak memberikan tanggapan dan pertanyaan. Misalnya Thomas, alumnus Universitas Pelita Harapan, menanggapi bahwa kerapkali dalam kegagalan pembangunan, ia lebih melihat pada persoalan implementasi dari kebijakan pembangunan itu sendiri, bukan pada konsepsi pembangunan tersebut.
Atas tanggapan ini, Ruth Indah Rahayu menjawab bahwa pada dasarnya dalam satu konsepsi kebijakan publik, ia tidak bisa dinilai secara parsial semata. Konsepsi kebijakan publik adalah satu kesatuan, dari konsep hingga tataran praktik atau implementasi. Bila salah satu elemen dalam konsep ini sudah cacat, maka ia akan berdampak pada ranah implementasi. Begitu pun sebaliknya.
Diana Afifah, alumni Universitas Padjadjaran Bandung turut mengajukan pertanyaan kepada Ruth Indah Rahayu selaku fasilitator kelas.
“Kalau kita lihat di TV, atau di media berita, kita kerap membaca soal kisah-kisah kemiskinan. Misalnya seperti ada anak harus naik KRL dari Parung ke Tanah Abang, karena dulunya korban gusuran, tapi belum bisa pindah sekolah. Nah ini kan memang anak ini miskin, tapi ketika ditayangkan di TV, seolah-olah kemiskinan dia itu dimanfaatkan, dan media mendapatkan keuntungan dari pemberitaan itu. Apakah jangan-jangan kemiskinan itu sebenarnya drama, atau dilebih-lebihkan? Atau bagaimana?”, tanya Diana
Ruth Indah Rahayu menanggapi pertanyaan tersebut, dengan menyatakan bahwa sebenarnya harus ditegaskan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Soal kemiskinan si anak, itu sudah menjadi fakta. Namun ketika ia sudah menjadi bahan berita yang mungkin berlebihan di TV, dan TV mendapatkan keuntungan dari pemberitaan tersebut, ya sebenarnya kemiskinan itu sendiri sudah menjadi komoditas untuk menyerap keuntungan.
Namun pada posisi ini, maka seorang pegiat aktivisme sosial harus lebih kritis dan harus menawarkan solusi yang melampaui. Misalnya atas adanya fakta sebuah kemiskinan, maka dibuatlah berbagai macam rencana tawaran ke depannya seperti apa untuk mengatasi kemiskinan tersebut, tentunya dengan melibatkan kehendak sendiri dari masyarakat tersebut. []
(Rasyid)