Perdebatan tentang baik atau buruknya kapitalisme bagi sistem perekonomian Indonesia kembali mengemuka di kelas Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum) LBH Jakarta petang Senin lalu (9/4). 59 (lima puluh sembilan) peserta, pelatihan dasar untuk calon Pengabdi Bantuan Hukum yang telah diadakan sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) kalinya ini, nampak antusias berdialektika satu sama lain dengan dipandu oleh Rachmi Hertanti, Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam sesi materi kapitalisme dan neoliberalisme.
Thomas Pandapotan, peserta yang berasal dari Universitas Pelita Harapan, menyayangkan istilah kapitalisme yang mengalami peyorasi sehingga selalu dicurigai sebagai biang masalah dari ketimpangan kesejahteraan di negara ini.
“Coba cermati benda yang melekat di tubuh kita dan tunjuk mana yang bukan produk kapitalisme? telepon genggam, baju dan sepatu bermerek, sosial media hingga makanan cepat saji yang kita nikmati semua berakar dari kapitalisme. Kalian ambil kelezatannya, tapi kemudian teriak lawan kapitalisme, bukannya itu seperti paradoks?”
“Kapitalisme dengan kekuatan struktur modalnya justru memperluas investasi sehingga dapat membuka keran-keran kesejahteraan melalui pembukaan lapangan tenaga kerja”, imbuhnya.
Mendengar pendapat tersebut, Ryan Permana, peserta yang berasal dari Universitas Pancasila memberikan tanggapan yang berlawanan. Menurutnya, justru kekuataan modal dalam kapitalisme itulah yang membuat sumber daya ekonomi seperti tanah hanya dikuasai oleh sebagian orang saja.
“Semangat anti kapitalisme yang menghendaki perekonomian sebagai urusan bersama, bukan hanya urusan pemilik modal, sesungguhnya sudah diamanatkan oleh konstitusi kita dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sehingga apakah kapitalisme baik bagi perekonomian kita? jawabanya ya ada di Pasal itu”
Bukan Sekedar Baik atau Buruk
Rachmi Hertanti menekankan bahwa perdebatan tentang kapitalisme tidak boleh hanya sebatas pada penghakiman baik atau buruknya sistem tersebut. Namun terdapat hal yang lebih esensial yakni mengetahui cara kerja kapitalisme sehingga dapat menemukan alasan-alasan logis untuk mengadopsi atau tidak sistem ini bagi perekonomian Indonesia.
Secara sederhana, Rachmi, begitu ia disapa, menjelaskan bahwa kapitalisme dapat dipahami sebagai modus produksi yang bertumpu pada produksi komoditas melalui komoditas (tenaga kerja) sehingga mewujudkan abstraksi (penambahan) atas nilai dalam rupa modal.
“Cara kerja kapitalisme tidak dapat dipisahkan dari 3 (tiga) rumus pokoknya, yakni akumulasi, eksploitasi dan ekspansi. Dari cara kerja inilah kita dapat mengetahui kelemahan dalam kapitalisme yang saat ini memproduksi ketimpangan sosial yang begitu brutal”, ungkapnya di hadapan peserta Kalabahu.
Kapitalisme memandang tenaga kerja sebagai barang dagangan yang bersama dengan alat produksi seperti mesin, menjadi basis dari produksi suatu komoditas.
“Tenaga kerja yang dibayar dengan sistem upah rendah inilah yang memunkinkan terjadinya akumulasi nilai yang tercipta dari proses perdagangan dalam bentuk laba yang akan digunakan sebagai modal atau reinvestasi”, jelasnya.
Muhammad Sholeh, peserta asal Makasar, memberikan tanggapan positif terhadap penjelasan Rachmi. Bahwa kapitalisme yang menempatkan tenaga kerja sebagai komoditi inilah membuat mereka tertutup dari kepemilikan atas sarana produksi apapun.
“Sarana produksi milik mereka yang tersisa hanyalah tenaganya dan celakanya dibayar dengan sejumlah uang yang tidak sebanding dengan laba yang diperoleh. Dititik inilah terjadi eksploitasi”. lengkapnya.
Yanose Syahni, peserta perempuan asal Universitas Andalas, memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, kelemahan kapitalisme ada pada dampak yang ditimbulkan, yakni ketimpangan sehingga kapitalisme tidak menjadi persoalan jika ketimpangan tersebut dapat ditengahi oleh peran negara.
Negara Bukan Kawan Kapitalisme
Terkait peran negara sebagai penengah dalam sistem kapitalisme justru dibantah oleh Rachmi. Ia menjelaskan bahwa kapitalisme dalam kondisi sempurnanya justru menolak intervensi negara dalam sistem perekonomian dan melemparkannya sepenuhnya pada pasar.
“Munculnya pasar bebas yang memunkinkan perdagangan antar negara menunjukkan kapitalisme menolak keberadaan batas-batas antar negara sehingga ekspansi pertukaran barang yang menciptakan laba semakin besar terjadi”, imbuhnya.
Posisi negara dalam sistem kapitalisme memaksa ia masuk ke dalam politik ekonomi yang mengurangi keterlibatan perannya sehingga penghambatan negara bisa tereduksi. “Inilah yang dimaksud dengan neoliberalisme” jelas Rachmi.
Abdi Oe, mahasiswa asal Banten, menambahkan bahwa pengurangan peran negara dapat dilihat dari berbagai kebijakan Indonesia dalam urusan perekonomian seperti privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi air, penentuan upah minimum tenaga kerja dan lain-lain.
Rachmi membenarkan bahwa dalam struktur negara, kapitalisme dan neoliberalisme memanfaatkan keberadaan negara tersebut untuk melembagakan sistemnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sehingga ia berpesan kepada peserta Kalabahu sebagai calon Pengabdi Bantuan Hukum, harus memiliki kepekaan dan kekritisan melihat agenda kapitalisme dan neoliberalisme dalam peratutan perundang-undangan.
Rachmi menutup kelas petang itu dengan lemparan pertanyaan menggelitik “Barang yang melekat pada tubuh kita harusnya dilihat sebagai proses normal dari suatu produksi barang dan kebutuhan, sehingga jika begitu dan sudah tahu kelemahan sistem kapitalisme, meski kita menggunakan barang hasil produksinya, masih perlukah kita takut teriak lawan?” (Nabella)