Perkembangan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di DPR pada 15 Januari 2018 memicu kekhawatiran masyarakat sipil. Sebab, rumusannya masih mempertahankan pasal-pasal yang selama ini dinilai membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal-pasal yang dipertahankan antara lain: pasal pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden; pasal tindak pidana penghinaan terhadap pemerintahan yang sah; pasal pidana penghinaan terhadap lembaga negara: dan pasal pidana terhadap proses penyelenggaraan peradilan (atau biasa disebut Contempt of Court-COC).
Beberapa tindak pidana tersebut selama ini dikritik karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang menghargai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang itu dijamin dalam Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) UUD 194. Selain itu, sejumlah pasal pidana dalam RKUHP itu sebelumnya sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yaitu pasal pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP.
Dipertahankannya pasal-pasal penghinaan itu tentu saja merupakan kemunduran besar bagi iklim kebebasan berekspresi dan demokrasi di Indonesia. Sebab, pasal-pasal tersebut selama ini sering digunakan penguasa untuk membungkam orang-orang yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Ada sejumlah kasus yang bisa menunjukkan bahaya dari adanya pasal-pasal tersebut.
Di masa Orde Baru, ada sejumlah tokoh kritis yang dibungkam dengan pidana penghinaan. Di antaranya adalah anggota DPR Sri Bintang Pamungkas. Ia didakwa melakukan tindakan subversi karena sejumlah hal, termasuk mendirikan PUDI dan mengkritik Presiden Soeharto. Sri Bintang pernah ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung Maret 1997. Ia bersama Saleh Abdullah dan Julius Usman dituduh melakukan tindakan subversi.
Di masa Reformasi, pasal-pasal penghinaan itu juga membuat masyarakat berurusan degan pengadilan. Muzakir dan Nanang Mamija adalah salah satunya. Pada 6 September 2002 dia dijerat pasal 143 dan 147 karena menginjak gambar Presiden Megawati Soekarno Putri dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Supratman, Redaktur Harian Rakyat Merdeka juga diadili dan divonis hukuman percobaan karena medianya menulis berita yang dianggap menghina Presiden Megawati.
Eggy Sudjana juga pernah dijerat pasal penghinaan terhadap presiden, 134 jo pasal 136 bis KUHP. Penyebabnya adalah pernyataannya di KPK mengenai rumor bagi-bagi mobil Jaguar oleh seorang pengusaha kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pembantunya pada Februari 2007.
Sejumlah kasus di atas merupakan contoh bagaimana pasal-pasal penghinaan dalam KUHP bisa menjadi alat pembungkam kebebasan berekspresi. Salah satu rentannya pasal itu dipakai oleh penguasa adalah karena tidak jelasnya definisi mengenai penghinaan itu sendiri untuk masing-masing delik. Frasa “penghinaan” yang tercantum dalam masing-masing pasal dapat ditafsirkan sangat subyektif oleh aparat penegak hukum. Inilah yang berpotensi memunculkan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberlakuan pasal tersebut.
Masuknya pasal contempt of court juga berpotensi mengancam kemerdekaan profesi Jurnalis yang berusaha memberitakan seputar kasus-kasus yang berjalan di pengadilan. Inti dari pasal itu memuat larangan mempublikasikan atau mempersilahkan mempublikasikan informasi apapun seputar proses penyelenggaraan peradilan yang dapat mengganggu independensi pengadilan dalam memutus perkara. Ketentuan CoC tersebut jelas tidak sejalan dengan semangat kebebasan pers yang terdapat dalam Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan tetap dipertahankannya pasal-pasal penghinaan dan masuknya CoC tersebut bertolak belakang dengan tujuan dan semangat dari perumusan KUHP baru yang diniatkan untuk menjunjung tinggi penjaminan atas Hak Asasi Manusia, khususnya jaminan atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diatur dalam konstitusi, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Melihat perkembangan tersebut, kami masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers menyatakan sikap:
1. Mendesak Pemerintah dan DPR menghormati jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sudah diatur dalam konstitusi, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam melakukan perumusan atas pasal-pasal penghinaan dalam RKUHP.
2. Meminta pemerintah dan DPR mencabut rumusan pasal tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pasal pidana penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, pasal pidana penghinaan terhadap lembaga negara, dan pasal pidana terhadap proses penyelenggaraan peradilan alias contempt of court dalam RKUHP.
3. Meminta pemerintah dan DPR mengedepankan prinsip penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan pers, dalam membuat rumusan dan ketentuan dalam RKUHP.
Koalisi Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers
Narahubung:
1. Nawawi Bahrudin (Direktur Eksekutif LBH Pers- 08159613469)
2. Ayu Eza Tiara (Pengacara Publik LBH Jakarta- 082111340222)
3. Damar Juniarto (Regional Coordinator Safenet- 08990066000)
4. Ahmad Nurhasim (Ketua AJI Jakarta- 081283949524)
5. Hesti Murthi (Kepala Bidang Advokasi AJI Indonesia- 087888839543)