Jakarta Hari Ini
Setengah tahun ke belakang, apa yang terjadi di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta benar-benar memanaskan suhu politik nasional ke titik didih. Sejak pidato Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Pramuka tentang Surat Al-Maidah pada 15 Oktober 2016 yang lalu, berbagai berita palsu, maupun hasutan-hasutan muncul dan menyebar dengan begitu mudahnya lewat media sosial maupun aplikasi pesan instan. Dimulai dari yang paling parah: Basuki dihantam dengan sentimen anti Tionghoa, tuduhan absurd tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tentu saja penistaan agama. Anies Baswedan dihujani tuduhan Syiah, dan calon yang sudah tersingkir, Agus Yudhoyono diserang dengan tuduhan berada di balik aksi “Bela Islam”. Hasutan-hasutan dengan model seperti ini kurang lebih sama dengan apa yang menimpa Joko Widodo saat Pemilihan Presiden tahun 2014. Saat itu Jokowi dituduh keturunan Tionghoa, beragama kristen, dan terafiliasi dengan PKI. Hal yang sampai sekarang tidak pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Tuduhan itu juga mendiskreditkan beberapa ras, agama, pandangan politik minoritas di Indonesia.
Sementara para calon berjibaku dan publik larut dengan kabar busuk di atas, masalah-masalah klasik yang terjadi di Jakarta juga masih tetap ada. Kemacetan, banjir, polusi, reformasi birokrasi, kriminalitas, tata ruang, sampah, pendidikan dan banyak lainnya. Memang ada program-program dari tiap-tiap pasangan calon tentang bagaimana Jakarta ke depannya, tapi dari hari ke hari topik mayoritas-minoritas, muslim-nonmuslim, pribumi-non pribumi lebih populer dan paling diantisipasi oleh seluruh kandidat. Walhasil, tentang program kerja relatif tenggelam dan baru diperbincangkan jelang pencoblosan putaran pertama tempo hari.
Polarisasi HAM: antara Hak Sipil dan Hak Ekosob
Partisipasi Pilkada kali ini melonjak drastis dibanding Pilkada sebelumnya di tahun 2012. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta melansir pemilih pada putaran Pertama Pilkada 2017 sebanyak 77,1 persen, sedangkan pada putaran pertama Pilkada 2012 hanya 65% dari total daftar pemilih tetap. Namun, dari segi kualitas Pilkada DKI Jakarta 2012 jauh lebih baik dari Pilkada 2017. Dulu ada 6 (enam) calon pada putaran pertama yang kemudian ciut menjadi 2 (dua) pasang calon pada putaran kedua. Dibandingkan dengan saat ini yang hanya 3 (tiga) pasang calon yang kemudian meloloskan 2 (dua) calon.
Pilkada DKI Jakarta 2012 juga berlangsung dengan relatif kondusif. Sektarianisme tidak terasa, ujaran kebencian hampir tidak ada. Pilkada DKI Jakarta 2012 bisa dikatakan merupakan pertarungan antara status quo yang diwakili oleh Fauzi Bowo, seorang birokrat tulen dan pendatang yang membawa isu pembaharu pada waktu itu: Joko Widodo.
Yang terjadi pada Pilkada 2017 berkebalikan dengan itu. Agus Yudhoyono-Sylviana Murni (yang sudah tersisih) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada waktu itu memilih untuk dekat dengan kelompok muslim. Keduanya menghadiri aksi Bela Islam II diduga kuat untuk mendulang suara dari pemilih muslim yang menjadi mayoritas pemilih di Jakarta jelang pencoblosan putaran pertama. Anies Baswedan bahkan sowan ke markas besar Front Pembela Islam (FPI) organisasi yang dalam beberapa bulan ini meroket popularitasnya padahal rekam jejaknya penuh dengan tindakan intoleran yang mengancam hak sipil dan politik kelompok masyarakat lain, mulai dari menutup paksa warung makan yang buka saat bulan Ramadhan, menolak pembangunan gereja, menolak pemimpin non-muslim, membubarkan acara-acara transgender, dan lainnya. Setelah sebelumnya pernah “melantik” sendiri gubernur DKI Jakarta namun menjadi bahan olok-olok, FPI kini menuai popularitas dan dianggap penting untuk melekatkan citra keislaman.
Sementara itu pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat mengklaim sebagai calon yang mewakili kebhinnekaan. Keduanya diperlambangkan sebagai perwujudan hak sipil dan politik (sipol) rakyat dalam berdemokrasi karena minoritas seperti Basuki bisa menjadi calon gubernur. Citra perwujudan hak sipol juga terlihat saat Basuki menjadi korban proses hukum yang tidak adil (unfair trial) yang membuat dirinya menjadi tersangka penistaan agama. Meskipun begitu, Basuki juga melakukan pembiaran pelanggaran hak sipol warga dalam pembubaran Belok Kiri.Fest yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan penerbitan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 228 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka yang membatasi lokasi unjuk rasa hanya di 3 (tiga) tempat.
Jika langkah Anies-Sandiaga yang merapat ke kelompok intoleran dan menggunakan sentimen agama dianggap banyak pihak sebagai nilai minus pasangan ini dalam hal hak sipol, pasangan ini terlihat memberikan porsi khusus untuk menjamin hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob) bagi warga Jakarta. Pasangan ini berkali-kali menyatakan tidak akan melakukan penggusuran terhadap warga miskin yang tinggal di pinggiran sungai maupun di tanah-tanah yang diklaim sepihak sebagai “tanah negara”. Anies-Sandiaga berjanji akan menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta demi kelangsungan hidup 17.000 kepala keluarga nelayan di utara Jakarta, bahkan berjanji akan memberikan rumah dengan uang muka nol persen kepada warga miskin Jakarta apabila terpilih. Janji-janji tersebut menunjukkan secara jelas bahwa pasangan ini berusaha untuk memenuhi hak ekosob warga.
Sebaliknya, Basuki-Djarot sebagai petahana banyak melanggar hak ekosob warga. Basuki-Djarot menggusur paksa warga Jakarta yang tinggal di pinggir sungai dengan alasan normalisasi seperti Bukit Duri dan Kampung Pulo. Untuk Kalijodo menggunakan alasan untuk mengembalikan ruang hijau dan Pasar Ikan dengan alasan revitalisasi kawasan. Alasan-alasan tersebut merampas hak ekosob warga berupa hak atas tempat tinggal dan hanya akan membuat masalah-masalah baru yang tidak akan dapat selesai begitu saja dengan cara relokasi ke rumah susun. Basuki-Djarot juga memfasilitasi reklamasi di Teluk Jakarta yang akan merusak lingkungan dan meningkatkan potensi bencana, serta banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Kontribusi tambahan yang diperoleh oleh Basuki-Djarot dari proyek reklamasi bahkan digunakan untuk menggusur warga. Terhadap para pedagang kaki lima, mereka mengeluh tentang bagaimana mereka dikejar-kejar dan gerobak mereka diangkut oleh Satpol PP Ada banyak pedagang kaki lima di Jakarta yang begitu kesulitan untuk sekedar mencari nafkah semenjak Basuki menjadi gubernur.
Rivalitas tidak hanya terjadi di kalangan kandidat. Para aktivis yang sehari-hari bersikap kritis terhadap kondisi nasional maupun Jakarta juga terbelah. Mereka yang mendukung keberagaman dan pemenuhan hak-hak sipol menyatakan dukungan secara terbuka terhadap Basuki-Djarot. Sedangkan mereka yang kritis terhadap bagaimana pemerintah provinsi DKI Jakarta menghilangkan hak ekosob warga mengecam Basuki-Djarot meskipun tidak mendukung Anies-Sandiaga.
Polarisasi Hak Asasi Manusia (HAM), hak sipil vis-à-vis hak ekosob dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagaimana tersebut di atas seharusnya tidak terjadi karena HAM harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan (indivisibility) antara hak sipil dan hak ekosob, juga saling bergantung dan saling berkaitan satu sama lain (interdependency, interrelated). Pemisahan antara satu hak dengan hak yang lain, menganggap bahwa hak yang satu lebih tinggi dari hak yang lain mengakibatkan hak yang lainnya tidak bisa terlanggar.
Jakarta Kritis: Keadaan yang Kritis
Intoleransi
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa persaingan antar kandidat pada Pilkada kali ini memiliki dampak sosial berupa politik aliran yang mengemuka dan resiko masyarakat yang intoleran. Pada kampanye putaran pertama kita bisa melihat Basuki lari tunggang langgang karena tiba-tiba kampanyenya dihadang orang-orang tertentu. Kita tidak bisa melepaskan kejadian tersebut dari ucapan Basuki yang ethically incorrect di Kepulauan Seribu, tapi sebelum itu penggusuran paksa serta proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang dilakukan Basuki-Djarot menimbulkan kebencian terhadap warga keturunan Tionghoa.
Pada masa kampanye putaran kedua, isu sektarian justru semakin parah dengan adanya spanduk-spanduk yang memerintahkan agar warga Jakarta memilih berdasarkan agama dan suku, dan larangan mensalatkan jenazah yang memilih salah satu calon. Isi spanduk tersebut malah diwujudkan oleh sebagian orang. Kasus Nenek Hindun menjadi contohnya. Dalam Indeks Kota Toleran yang dikeluarkan oleh Setara Institute, Jakarta hanya berada di posisi 65 dari 94 kota, berada di bawah Medan, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dengan maraknya sentimen agama pada rangkaian Pilkada 2017 tentunya peringkat tersebut akan semakin merosot. Bisa dibayangkan jika hal tersebut terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Tentunya masyarakat akan terpecah belah dan bukan tidak mungkin terjebak dalam konflik horizontal tak berujung seperti apa yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan-kerusuhan lainnya di berbagai daerah (Ambon, Sampit, Poso).
Bagi pasangan calon yang ada, intoleransi dikelola sedemikian rupa. Sebelum Basuki selalu memposisikan diri sebagai korban intoleransi (terutama terkait Surat Al-Maidah) sebelum akhirnya benar-benar mendapatkan masalah karena hal tersebut. Anies-Sandiaga justru terlihat “mengelola” dengan baik isu ini. Parameter yang paling jelas adalah pasangan Anies-Sandiaga membiarkan tindakan-tindakan intoleransi yang terjadi tanpa melakukan apapun untuk menghentikannya. Padahal, sebelum mencalonkan diri sebagai gubernur, Anies Baswedan selalu menekankan tentang betapa pentingnya “tenun kebangsaan”.
Exit Pol PolMark Indonesia yang menyatakan bahwa pemilih Jakarta irasional karena memilih calon berdasarkan agama sebagai basis pilihannya hanya 9,4 persen. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya dapat diandalkan karena berbagai peristiwa politik menyatakan bahwa hasil survei berbeda dengan kenyataan yang terjadi.
Penggusuran dan Hak atas Perumahan
Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan Basuki menjadi masa pemerintahan yang paling tinggi kasus penggusurannya. Berdasarkan laporan LBH Jakarta, sepanjang 2015 ada 113 kasus penggusuran paksa yang terjadi di DKI Jakarta dengan 8.145 KK dan 6.283 unit usaha yang terdampak. 84 persen (97 kasus) penggusuran dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah dengan warga. Penggusuran kemungkinan besar akan terus terjadi karena setiap tahun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk melakukan “penertiban” di berbagai sudut Jakarta. Ada 325 (tiga ratus dua puluh lima) titik yang akan “ditertibkan” oleh Pemprov DKI Jakarta. Basuki-Djarot juga tetap menyatakan bahwa penggusuran akan terus dilaksanakan. Penggusuran bahkan menggunakan kekuatan polisi dan kekuatan militer (tentara) yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk solusi bagi warga yang tergusur yang kemudian dipindahkan ke rumah susun, LBH Jakarta menemukan bahwa warga mengalami peningkatan kebutuhan hidup sehari-hari untuk transportasi, biaya listrik, dan air. Tidak mendapatkan Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat secara merata, dan penggusuran dilakukan saat sedang terjadi kenaikan kelas bagi anak-anak yang masih bersekolah. Akibatnya, terjadi tunggakan pembayaran sewa rusun yang menggunung.
Di sisi lain, Anies-Sandiaga dalam berbagai wawancara berjanji tidak akan melakukan penggusuran. Sebagai gantinya pasangan ini akan melakukan pemeremajaan pemukiman (berupa kampung deret dan kampung susun) dan tidak akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Tetapi, hal ini juga dibantah sendiri oleh Anies Baswedan dalam satu-dua kesempatan bahwa keduanya jika terpilih akan tetap melakukan penggusuran dengan cara komunikasi yang baik seperti yang sebelumnya terjadi pada masa Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Dalam program kerja dan saat debat, Anies-Sandiaga juga menjanjikan warga Jakarta rumah murah dengan uang muka 0 persen. Janji kampanye ini merupakan bagian dari program kerja bidang perumahan di tengah kota untuk menekan biaya transportasi. Bagi para warga Jakarta, program ini menggembirakan di tengah luar biasa tingginya harga tanah di Jakarta yang menyebabkan orang dengan penghasilan menengah saja kesulitan untuk membeli rumah. Namun, setelah melihat pemaparan dari Tim Sukses Anies-Sandiaga, ternyata rumah yang dijanjikan tidak sesuai dengan standar perumahan yang layak.
Banjir
Banjir menjadi masalah yang berulang setiap musim penghujan tiba. Basuki-Djarot selalu menyatakan bahwa penyebab banjir Jakarta adalah sungai yang menyempit. Solusinya, sungai di Jakarta harus “dinormalisasi” dan satu-satunya cara adalah dengan melakukan penggusuran terhadap bangunan-bangunan yang ada di bantaran sungai. Alasan “normalisasi” ini yang kemudian menjadi pembenaran akan penggusuran seperti di Kampung Pulo dan Bukit Duri. Pendekatan tersebut akan terus dilakukan Basuki-Djarot yang mana tercantum dalam program kerjanya.
Padahal, ada banyak cara untuk menyikapi warga yang tinggal di bantaran sungai. Pemukiman mereka bisa ditata sedemikian rupa seperti apa yang diusulkan oleh banyak arsitek kampung kota. Ciliwung Merdeka mengajukan konsep kampung susun untuk mencegah tercerabutnya warga dari kehidupan mereka sehari-hari. Terbukti, ketika warga dipindahkan ke rumah susun, banyak masalah bermunculan, mulai dari tunggakan uang sewa hingga hilangnya mata sumber nafkah warga.
Kemacetan
Setiap berangkat dan pulang di Jakarta selalu diiringi dengan kemacetan. Rata-rata kecepatan kendaraan untuk bisa melaju di jalanan Jakarta hanya 20 kilometer per jam dan di jam-jam tertentu kecepatan kendaraan kurang dari 10 kilometer per jam. Bahkan kerap kali roda kendaraan tak bergerak sedikitpun selama bermenit-menit. Jarak yang hanya 3 kilometer saking macetnya harus ditempuh hingga satu jam. Hal ini akan terus bertambah parah mengingat setiap hari ada 6.000 kendaraan baru di Jakarta sedangkan tingkat pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun. Proyek 6 ruas jalan tol yang direncanakan akan semakin membikin nyaman para pemilik mobil pribadi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya perlu membuat seluruh sistem transportasi umum di Jakarta menjadi murah, nyaman, aman, dan terintegrasi agar setiap orang memilih angkutan massal dibanding naik mobil pribadi.
Reklamasi Teluk Jakarta
Reklamasi Teluk Jakarta dilakukan murni untuk memenuhi insting bisnis para pengembang yang tidak puas dengan lahan yang ada sehingga menimbun laut untuk kemudian dijual. Kemudian bermunculan argumentasi-argumentasi teknis yang mendukung reklamasi mulai dari ekosistem di Teluk Jakarta sudah rusak, tidak ada lagi nelayan di Teluk Jakarta, agar Jakarta tidak tenggelam (karena akan dibangun bersama National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), untuk mengembangkan Jakarta dan lain-lain.
Namun yang terlihat justru sebaliknya. Ada sekitar 17 ribu nelayan di situ yang masih menggantungkan hidupnya pada Teluk Jakarta, reklamasi akan membuat bencana bagi Jakarta, dan gangguan obyek vital (pembangkit listrik, kabel dan pipa bawah laut, serta instalasi militer). Mengenai tanggul raksasa atau giant sea wall, Pemerintah beralasan penurunan muka tanah rata-rata mencapai 15 sentimeter per tahun. Untuk reklamasi 17 pulau akan dilanjutkan oleh Basuki-Djarot jika terpilih lagi karena sudah masuk dalam program kampanyenya dan akan menggusur nelayan yang tinggal di pesisir. Sedangkan Anies-Sandiaga menolak proyek ini namun pernyataannya semakin terlihat diplomatis dari hari ke hari.
Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Meskipun Jakarta adalah Ibukota yang menjanjikan fasilitas umum terbaik di seluruh Indonesia, ternyata Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih belum dapat memberikan fasilitas umum yang dapat memenuhi kebutuhan para penyandang disabilitas. Layanan transportasi publik TransJakarta, layanan transportasi publik kereta api komuter, gedung instansi pemerintah, dan gedung instansi nonpemerintah yang menjadi objek observasi, seluruhnya berada pada kriteria “kurang aksesibel” ataupun “tidak aksesibel” berdasarkan pemenuhan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRTM/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Dalam kasus halte TransJakarta koridor XIII pada awalnya sangat curam dan berbahaya untuk orang biasa, apalagi terhadap penyandang disabilitas. Namun, setelah dikritik oleh netizen, Basuki-Djarot berencana mengubahnya menjadi aksesibel.
Basuki-Djarot menjanjikan akan layanan bus khusus penyandang disabilitas di RPTRA tiap akhir pekan dan pelebaran trotoar yang ramah bagi penyandang disabilitas. Sedangkan Anies-Sandiaga menjanjikan Menjadikan DKI Jakarta wilayah yang ramah terhadap disabilitas, berupa fasilitas umum yang ramah disabilitas. Program Basuki-Djarot sangat terbatas, sedangkan Anies-Sandiaga tidak konkrit.
Hak atas Bantuan Hukum
Hak atas bantuan hukum merupakan bagian dari hak atas peradilan yang adil (fair trial). Namun, pemenuhan atas hak atas bantuan hukum ini bisa dikatakan ditelantarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Bantuan Hukum tak jelas nasibnya. Apabila warga Jakarta yang miskin terlibat atau memiliki masalah hukum tidak ada mekanisme yang disediakan oleh pemerintah provinsi. Tidak ada pula program bantuan hukum dalam program kerja Basuki-Djarot maupun Anies-Sandiaga.
Kualitas Udara dan Polusi
Kualitas udara Jakarta semakin buruk dari hari ke hari. Konsentrasi polutan di udara Jakarta mencapai 45 mikrogram per meter kubik. Angka itu tiga kali lebih tinggi dari batas aman yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia (WHO). Di Kedoya, Jakarta Barat, angka kualitas udara mencapai 173. Di Warung Buncit, Jakarta Selatan, angka kualitas udara mencapai 194 ketika subuh. Padahal ambang batas udara sehat adalah 50-100. Namun tidak ada program kandidat untuk mengatasi masalah ini.
Kemiskinan dan Ketimpangan
Masih ada banyak penduduk miskin di Jakarta meskipun apabila parameter dan standarnya dinaikkan maka akan terlihat lebih banyak warga miskin. Selain itu ketimpangannya sangat tinggi. BPS menunjukkan bahwa koefisien gini di Jakarta mencapai 0,41 (dari skala 0-1). Para kandidat menjawab masalah kemiskinan dengan bantuan modal dan bantuan uang.
Hak atas Air
Air bersih di Jakarta semakin hari semakin langka. Pasokan air yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan 10 juta orang dan pelaju 3 juta orang dengan total 950 juta meter kubik air untuk mencukupi kebutuhan harian penduduk, industri dan komersial. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya mampu memenuhi 35 persen dari kebutuhan tersebut melalui perusahaan air yang sudah diprivatisasi. Sisanya diambil oleh warga maupun korporasi dari air tanah yang kemudian menyebabkan Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah (land subsidience) sekitar 15 persen per tahun. Para kandidat memang memiliki program terkait air bersih namun sebetulnya program tersebut tidak menyelesaikan masalah. Penurunan muka tanah tersebut menjadi justifikasi reklamasi, NCICD dan proyek-proyek lainnya.
Hak atas Pekerjaan
Kenaikan upah buruh, pada awal ketika masih berduet dengan Joko Widodo awalnya memberikan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang cukup tinggi untuk menyesuaikannya dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tetapi semenjak Basuki menjadi gubernur kenaikannya tidak signifikan dan tidak sesuai dengan KHL. Sedangkan untuk usaha informal seperti pedagang kaki lima, mereka semakin kesulitan dengan kebijakan penggusuran pedagang kaki lima di era Basuki-Djarot.
Kriminalitas dan Hak atas Rasa Aman
Dari 43.149 kasus yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya, terdapat kasus-kasus menonjol yang mengalami peningkatan di tahun 2016 yang lalu. Salah satunya adalah kejahatan perampokan yang mengalami kenaikan 12 persen dari tahun sebelumnya. Naik dari 641 kasus menjadi 719 kasus. Untuk kasus perkosaan meningkat dari 63 kasus menjadi 74 kasus atau sekitar 6 persen.
Kriminalitas erat kaitannya dengan pemenuhan HAM. Ketiadaan pekerjaan (hak ekosob) sebagai pemenuhan hak atas pekerjaan menimbulkan kejahatan perampokan yang akan berdampak pada hak atas rasa aman warga Jakarta (hak sipol). Demikian pula dengan kasus perkosaan maupun pelecehan seksual (hak sipol), bisa diakibatkan karena buruknya fasilitas umum (hak ekosob).
Warga Jakarta yang Kritis
Demokrasi di Jakarta harus jernih dan program-program yang ada tidaklah boleh hanya sekedar untuk menjawab program lawan politik, melainkan berbasis HAM sedari awal. Warga Jakarta harus kritis karena sebagaimana disebutkan di atas, kondisi riil Jakarta dalam berbagai bidang memang berada dalam keadaan kritis. Jakarta memerlukan warga yang dapat menjadi kritikus bagi kondisi Pilkada yang sudah sedemikian rupa dan bagaimana melihat pemerintahan Jakarta selanjutnya siapapun yang terpilih. Model pembangunan yang diterapkan di Jakarta akan menjadi rujukan bagi pemerintah daerah lainnya. Apa yang terjadi dalam Pilkada di DKI Jakarta akan menjadi cermin Indonesia bagi negara lainnya, dan akan diikuti oleh banyak orang di luar Jakarta.
Jakarta memang harus memberikan kepada warganya pendidikan gratis, kesehatan, lingkungan yang bersih, transportasi massal yang menjawab kebutuhan, dan lainnya, tapi juga hak atas kota. Hak atas kota berarti hak terhadap kota itu sebagai sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian. Dengan pengertian ini, maka hak atas kota itu tidak sekadar dimaknai bahwa warga berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, misalnya, tapi juga warga miskin tersebut memiliki hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut. Singkatnya, penduduk yang menetap di kota tersebut bukan hanya pelaku pasif dari sebuah perubahan, tapi aktif terlibat dalam proses perubahan itu. Dengan demikian, titik tolak dari hak atas kota, adalah partisipasi rakyat terhadap pembangunan kotanya.
Bergabung dalam #JakartaKritis
#JakartaKritis adalah wadah bagi warga Jakarta yang kritis akan kotanya. Bertujuan menguatkan warga dan untuk mengawal pemenuhan Hak Asasi Manusia di Jakarta siapapun Gubernur yang terpilih pada Pilkada 2017 nanti. Warga yang bergabung dalam #JakartaKritis, harus berkomitmen untuk tidak hanya mengawal mengenai hak-hak sipil dan politik dengan bingkai toleransi dan kebhinekaan, tetapi sekaligus juga mengawal hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di mana masalah penggusuran dan perampasan ruang masyarakat miskin menjadi masalah yang menonjol di Jakarta. Selain itu, warga yang bergabung bukan sebagai tim sukses dari masing-masing kedua pasangan calon dan bukan juga anggota partai politik. #JakartaKritis terbuka untuk seluruh warga Jakarta yang memutuskan tidak memilih dalam Pilkada 2017, maupun memilih tetapi bukan sebagai simpatisan dari kedua pasangan calon. Warga yang tertarik untuk ikut bergabung dalam #JakartaKritis dapat mendaftarkan diri pada tautan di bawah ini.