Jakarta – Kasus mantri desa di pedalaman Kalimantan, Misran dinilai akibat kelalai pemerintah dalam menyiapkan struktur medis. Seharusnya Departemen Kesehatan segera membuat struktur organisasi untuk mendukung perintah UU tersebut.
“UU Kesehatan menyebutkan yang dapat memberikan pertolongan kesehatan tertentu adalah dokter. Maka Depkes harusnya menyiapkan tenaga dokter hingga ke pelosok Indonesia,” ujar staf Litbang LBH Jakarta, Edy Halomoan Gurning kepada detikcom di kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis, (8/4/2010).
Tapi yang terjadi, lanjut Edy, pemerintah tidak melaksanakan perintah UU untuk menyiapkan tenaga medis. Sehingga yang terjadi adalah kriminalisasi profesi mantri/bidan desa. Padahal di Indonesia, mantri desalah yang berperan sebagai ujung tombak pelayan kesehatan masyarakat.
“Kalau ada yang sakit, apa masyarakat dibiarkan mati? Padahal disitu ada orang yang tahu cara menyembuhkan. Inikan sangat tidak manusiawi,” bebernya.
LBH Jakarta menilai langkah yang diambil Misran sangat tepat. Misran dan 12 kepala puskesmas pembantu dari 3 kabupaten pedalaman Kalimantan mengajukan judicial review ke MK.
Edy berharap MK bisa memberikan keputusan yang seadil-adilnya terhadap masalah kesehatan di pelosok negeri.”MK harus memberikan terobosan hukum lewat putusannya.”MK harus memberikan terobosan hukum lewat putusannya.
“MK harus memberikan terobosan hukum lewat putusannya. Tidak boleh ada penyeragaman, apa-apa harus dokter. Indonesia sangat luas dan geografisnya tidak sama,” pungkasnya.
Judicial Review ke MK bermula ketika PN Tenggarong, Kaltim memutus Misran dengan hukuman 3 bulan penjara pada 19 November 2009.
Menurut hakim yang diketuai Bahuri, Misran terbukti bersalah melanggar UU 36/2009 tentang Kesehatan yaitu tidak punya wewenang memberikan resep dokter golongan G. (asp/gus)