Pada 19 – 21 Juni 2013, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah menyelenggarakan pertemuan para ahli untuk tindak lanjut implementasi Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB. Resolusi 16/18 adalah sebuah resolusi tentang Memerangi Intoleransi, Diskriminasi, Xenofobia dan kekerasan terhadap seseorang berbasis pada agama dan keyakinan, yang diusulkan oleh Negara-negara OKI pada tahun 2011. Kali ini, adalah pertemuan ketiga, setelah sebelumnya diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat, (12/2011) dan London, Inggris (12/2012).
Menurut Sekjen OKI, Eklemuddin Ihsanoglu, dalam statemennya, bahwa intoleransi merupakan tantangan terbesar dunia saat ini, sehingga dalam satu dekade ini, permasalahan ini pun telah menjadi salah satu perhatian utama media dan wacana politik. “Konsensus dalam Resolusi 16/18 yang diakui secara luas merupakan perkembangan positif. Hal ini menunjukkan bahwa OKI mampu membentuk kesepakatan dalam isu-isu penting dalam hubungan internasional”, demikian ia menyampaikan dalam pembukaan Pertemuan Ketiga Istanbul Process on the follow-up of Implementation of HRC Resolution 16/18, di Jenewa.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Ketua Komisi Independen Permanen HAM OKI (IPHRC), Siti Ruhaini Dzuhayatin. Menurut Ruhaini, Resolusi 16/18 menjadi jembatan bagi komunitas Muslim dan non-Muslim di dunia untuk membangun peradaban yang toleran. Ia menambahkan, bahwa keberadaan resolusi ini tidak dapat dipisahkan dari praktik diskriminasi dan intoleransi yang banyak terjadi sekarang ini, baik di Eropa dan Amerika terhadap non-Muslim ataupun di Negara-negara Anggota OKI terhadap minoritas agama ataupun mazhab.
“Resolusi ini yang diusung oleh OKI ini harus dilihat dalam hubungan resiprositas atau hubungan timbal balik. Artinya, Resolusi ini dapat mencegah umat Islam di Negara-negara non Anggota OKI, tetapi di sisi yang lain Resolusi juga melindungi non-Muslim di Negara-negara OKI”, demikian menurutnya. “Dengan kata lain, Resolusi ini juga harus digunakan oleh Negara-negara OKI untuk memerangi praktik intoleransi di Negara-negara Anggotanya, karena juga intoleransi menjadi tantangan terbesar Negara Muslim dewasa ini”, imbuhnya.
Bagi Indonesia, Ruhaini menambahkan, bahwa Resolusi 16/18 sangat relevan dan sejak awal, sebagai Anggota Negara OKI, Indonesia sangat mendukung resolusi ini. Bahkan, menurutnya, Indonesia dapat menjadi contoh bagi Negara-negara lain untuk praktik toleransi dan kebebasan beragama.
“Indonesia seharusnya pula menjadikan Resolusi ini sebagai rujukan dalam membangun toleransi. Beban yang ada di belakang saya sebagai wakil Indonesia di IPHRC sangat berat, yaitu tradisi Islam yang selalu identik dengan toleransi, kemajemukan dan ramah, sehingga bila citra tersebut dirusak dengan praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan berlatar belakang agama, justru makin mempersulit kita mengajak Negara lain untuk mencontoh Indonesia”, demikian Ruhaini menambahkan dari Jenewa, Swiss.
Dalam kesempatan lain di Jakarta, Choirul Anam, Wakil Direktur Eksekutif HRWG, mengatakan, bahwa HRWG mendukung pernyataan Sekjen OKI dan Ketua IPHRC tersebut untuk mendorong implementasi Resolusi 16/18. Hal ini karena relevansi Resolusi 16/18 dengan praktik intoleransi dan kekerasan berbasis agama yang kian meningkat di Indonesia. Ia menyatakan, “Untuk itu, Kementerian yang terkait, seperti Kementerian Agama, Kemenhuk dan HAM serta parlemen, harus pula mendukung terlaksananya resolusi tersebut di level nasional”.
“Kekerasan terhadap Ahmadiyah yang berlarut-larut, pengusiran Syiah Sampang dari kampung mereka dan GOR, serta masih sulitnya kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah merupakan fakta yang mendesak agar Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap praktik intoleransi, baik yang dilakukan oleh Negara ataupun sipil”, demikian tambahnya.
CP:
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ketua IPHRC-OKI: 0811254670
M. Choirul Anam, Wakil Direktur Eksekutif HRWG: 08158718498