Pada 22 Juni 2022, Jakarta memasuki usia ke-495 tahun, dengan tema perayaan “Celebrate Jakarta: Kolaborasi, Akselerasi, dan Elevasi”. Selebrasi tahun ini tentu dengan catatan masih banyaknya masalah di Jakarta yang harus dijadikan perhatian bersama. Pertama, peringatan ulang tahun Jakarta tahun ini tidak lepas dari masih adanya ancaman pandemi Covid-19 yang belum usai. Hal ini juga akibat dari buruknya penanganan pandemi oleh Pemerintah. Kedua, tahun ini ditandai dengan sahnya proyek ibu kota negara baru yang berpotensi meninggalkan Jakarta dengan segudang permasalahannya. Ketiga, dalam waktu dekat akan terjadi transisi kepemimpinan kepada Penjabat Sementara Kepala Daerah yang masih menimbulkan polemik akibat ketidakjelasan aturan hukum dan tidak adanya ruang partisipatif oleh publik.
Di tengah hiruk pikuknya perayaan ulang tahun Jakarta ini, puluhan organisasi masyarakat, mahasiswa, serta individu yang peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Warga DKI Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (“KOPAJA”) melihat bahwa terdapat 10 permasalahan yang sangat krusial untuk dapat dituntaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sepuluh permasalahan tersebut sangat krusial karena berkaitan langsung dengan penikmatan standar kehidupan layak yang berhak didapatkan setiap warga dan wajib dipenuhi oleh pemerintahnya. Masih dengan tuntutan sebelumnya yang belum terpenuhi sampai hari ini, KOPAJA tentu mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk serius menyelesaikan permasalahan tersebut secara struktural dan berkelanjutan.
Baca juga: “SP1 Anies: 6 Bulan Terakhir Masa Kepemimpinan”
Adapun 10 permasalahan yang menjadi catatan adalah sebagai berikut:
- Buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN)
Paska putusan yang memenangkan warga dalam Gugatan Warga Negara terhadap polusi udara di DKI Jakarta, sampai hari ini belum ada upaya yang optimal dalam pelaksanaan hasil putusan. Status Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) masih jauh di bawah ambang batas sehat bagi warga, upaya teknis yang telah dilakukan tidak dapat diukur secara ilmiah, hasil pengawasan polusi udara yang tidak terbuka, dan penertiban kebijakan yang tidak didasarkan pada kebutuhan warga DKI Jakarta. Menjelang hari ulang tahunnya, DKI Jakarta bahkan dinobatkan sebagai kota dengan udara terpolutif di dunia.
Oleh karena itu, Kami mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar dapat melakukan langkah konkrit seperti penganggaran dan penambahan stasiun pemantauan kualitas udara, melakukan pengawasan terukur, penegakan hukum dan transparansi terhadap ketaatan setiap orang terhadap aturan pengendalian pencemaran udara dengan meningkatkan partisipasi publik serta koordinasi bersama pemerintah pusat sebagai bagian dari pengendalian polusi udara di DKI Jakarta.
- Sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air
Air bersih di DKI Jakarta mulai diprivatisasi oleh pemerintah melalui Perjanjian Kerjasama pada tanggal 6 Juni 1997 antara Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI Jakarta (PAM Jaya) sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan PT. PAM Lyonnaise (sekarang bernama Palyja) untuk wilayah barat Jakarta dan PT Thames PAM Jaya (sekarang bernama Aetra) untuk bagian timur Jakarta.
Kerugian dari adanya perjanjian kerjasama tersebut antara lain:
- Jangkauan air bersih hanya bisa mencakup 62 persen wilayah Jakarta;
- Terdapat 22,85 persen warga Jakarta tidak memiliki menikmati pelayanan air;
- Harga air di Jakarta sangat mahal (mencapai Rp. 12.550,- per meter kubik) namun tidak berkualitas karena berbau dan berasa;
- Pengelolaan air oleh Palyja dan Aetra tidak transparan dan akuntabel;
- Negara dirugikan karena harus membayar imbal hasil atau biaya defisit kepada Palyja dan Aetra;
Perjanjian kerjasama ini akan berakhir pada tahun 2023 dan sedang dalam proses transisi pengembalian pengelolaan air, tetapi proses tersebut tidak dilakukan secara terbuka dan minim partisipasi publik. Maka dari itu, Kami mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar memastikan penghentian praktik swastanisasi air di DKI Jakarta dengan membuat regulasi khusus berdasarkan keterbukaan informasi dan partisipasi luas serta menjamin tidak ada upaya melanjutkan swastanisasi air di DKI Jakarta.
- Penanganan banjir Jakarta belum mengakar pada beberapa penyebab banjir
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu menegaskan peningkatan efektivitas program penanggulangan banjir. Tetapi hingga saat ini, masih banyak permasalahan terkait banjir yang belum selesai. DKI Jakarta perlu membuat sistem penanggulangan banjir yang berorientasi pada hak korban, upaya betonisasi sungai tidak menyelesaikan masalah melainkan memperparah kondisi banjir. Pendekatan dalam penanggulangan banjir harus diubah dengan pelibatan warga agar proses perumusan solusi dapat dilakukan bersama-sama. Pertimbangan Daya Dukung Lingkungan (DDL) harus terimplementasi dalam pembangunan dan membuat Rencana Pengelolaan Risiko Banjir Berbasis Komunitas (RPRBBK) yang terintegrasi dengan rencana Tata Ruang. Implementasi RPRBBK dapat dilakukan setelah membentuk Gugus Tugas Komunitas Pengelola Risiko Banjir untuk melibatkan masyarakat secara lebih terorganisir.
- Ketidakseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum
Warga miskin sangat rentan berhadapan dengan permasalahan hukum, padahal angkat kemiskinan di Jakarta kian meningkat menjadi 501.920 orang berdasarkan data per Maret 2021. Sedangkan, Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum (PERDA BANKUM) sebagai bentuk antisipasi dalam melihat kondisi rentan tersebut masih dalam wacana selama hampir 8 tahun. Rancangan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum (RANPERDA BANKUM) masih belum menjadi bagian dari Program Legislatif Daerah tahun 2014 hingga 2022 di DPRD DKI Jakarta. Dalam lingkup Jabodetabek hanya DKI Jakarta yang belum memiliki PERDA BANKUM, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RANPERDA BANKUM DKI Jakarta agar dapat disahkan pada tahun 2022. Sehingga perlindungan hukum dengan dukungan Pemerintah Daerah dapat menjangkau warga miskin DKI Jakarta yang rentan mendapatkan permasalahan hukum
- Lemahnya Perlindungan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Teluk Jakarta
Pemerintah wajib memastikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan tanpa adanya upaya privatisasi atau eksploitasi berlebihan. Pemprov tidak melakukan upaya untuk melindungi ruang tangkap nelayan dari monopoli penguasaan korporasi, ataupun warga pulau pari dari praktik perampasan ruang hidup dengan kriminalisasi yang terus terjadi. Raperda RZWP3K disusun dengan partisipasi publik yang minim, meniadakan wilayah tempat tinggal dan tangkap nelayan tradisional, tetapi juga menghidupkan kembali proyek reklamasi yang terintegrasi dengan NCICD dan berbasis kepada kepentingan modal (investasi) bukan kepentingan rightholders (nelayan tradisional dan masyarakat pesisir). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib melibatkan publik secara luas dalam penyusunan rencana zonasi dengan melindungi wilayah nelayan dan masyarakat pesisir, membuat regulasi turunan dari UU 7/2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, mengevaluasi penguasaan korporasi pada pulau kecil di kabupaten Kepulauan seribu, serta membatalkan seluruh proyek reklamasi.
- Reklamasi yang Masih Terus Berlanjut
Salah satu janji Anies saat kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta adalah “menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap nelayan, masyarakat pesisir dan segenap warga Jakarta”. Tetapi janji tersebut berbanding terbalik dengan implementasinya, karena terdapat pembiaran 4 pulau yaitu C, D, G dan N tidak dicabut izinnya dan 13 lainnya dicabut serta memberikan izin reklamasi Ancol. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengevaluasi dan mencabut berbagai regulasi yang terus membiarkan berjalannya proyek reklamasi seperti Raperda RZWP3K, mencabut seluruh izin reklamasi serta melakukan audit lingkungan. Selain itu perlu adanya skema pemulihan Teluk Jakarta secara menyeluruh dengan terus memberikan sanksi tegas kepada perusahaan properti yang terbukti terlibat dalam tambang pasir laut untuk Kawasan reklamasi dan meminta mereka memulihkan Kawasan yang telah rusak.
- Hunian yang Layak Masih Menjadi Masalah Krusial
Hunian yang layak menjadi isu utama yang diangkat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menawarkan program DP 0% di masa kampanye pemilihan Gubernur silam. Namun hingga saat ini, hunian yang layak di DKI Jakarta hanya mimpi semata, diperparah dengan program DP 0% yang tidak mampu menjawab keresahan warga DKI Jakarta untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Upaya pemenuhan backlog perumahan masih melalui cara konvensional dengan skema kepemilikan yang menyebabkan konvensi hunian menjadi komoditas investasi, belum ada upaya pengembangan alternatif seperti sewa, kolaborasi dengan pemilik hunian, dan metode densifikasi Kawasan yang dapat meningkatan kesempatan untuk menyediakan kantung hunian di tengah kota. Di saat yang sama, terdapat banyak bangunan mati yang tidak di re-utilisasi dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang rendah di tengah kota. Di samping itu, lemahnya regulasi UU Rumah Susun dalam melindungi dan mengatur hak penghuni dalam mendapatkan hunian layak justru menjadi sebuah medan pertempuran. Masalah seperti gagal bangun, pengelolaan yang tidak diberikan kepada penghuni hingga penahanan hak kepemilikan menjadi permasalahan yang terus berulang-ulang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengevaluasi implementasi Pergub DKI No. 70 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik dan tegal dalam memberikan sanksi terhadap pengembang yang melakukan pelanggaran. Akibat lainnya dirasakan oleh warga Rusunawa Marunda yang mengalami masalah pencemaran udara akibat batu bara dari perusahaan bongkar muat batu bara, dimana warga rusunawa Marunda adalah para warga terdampak dari penggusuran DKI Jakarta.
- Penggusuran Paksa masih Menghantui Warga Jakarta
Komitmen lain yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah perlindungan hak atas tempat tinggal bagi warga Jakarta dengan pendekatan pembangunan yang tidak menggusur paksa. Namun penggusuran masih terus terjadi dan puluhan kampung di Jakarta masih dalam ancaman penggusuran seperti Pancoran Buntu II, Kapuk Poglar, Kebun Sayur, Tembok Bolong, dan lainnya. Walaupun jika dibandingkan periode sebelumnya jumlah penggusuran berkurang, tetapi pola-pola penggusuran yang melanggar HAM masih dilakukan seperti tidak adanya akses hukum, pengerahan aparat, hingga intimidasi dan kriminalisasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mencabut Pergub 207/2016 yang melegalkan penggusuran, dan membuat peraturan gubernur yang memuat peta jalan reforma agraria di Jakarta.
- Belum Maksimalnya Penanganan Covid-19 serta Dampak sosialnya
Penanganan Covid-19 cukup baik dalam pengelolaan data dan informasi, namun Pemprov DKI Jakarta menjalankan tanggung jawabnya dengan buruk. Pada 2021, angka testing tidak sesuai target dan fasilitas kesehatan kolaps. Pendidikan Tatap Muka untuk peserta didik juga dilakukan tergesa-gesa di tengah data epidemiologi yang masih membahayakan keselamatan anak diperparah dengan lemahnya pengawasan dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Selain itu kinerja DInas Kesehatan DKI Jakarta yang buruk dalam pengawasan hak masyarakat untuk mengakses perawatan dan perobatan selama Covid makin memperparah keadaan. Banyak pasien Covid-19 yang harus membiayai perawatannya dengan mahal oleh rumah sakit yang seharusnya ditanggung negara, tetapi dibiarkan oleh Dinas Kesehatan DKI serta minimnya alokasi bansos selama setahun terakhir. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib mengembangkan infrastruktur kesehatan yang dapat diakses dengan mudah dengan pengembangan regulasi afirmatif bagi kelompok rentan serta mengevaluasi kinerja dinas terkait.
- Lambatnya pemberian kepastian hukum bagi Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas membutuhkan penyesuaian ulang agar lebih mengakomodir kebutuhan para penyandang disabilitas, namun hingga saat ini revisi terhadap PERDA tersebut nampaknya tak juga dilakukan. Disamping PERDA yang sudah tidak mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas di Jakarta, jika di perhatikan lebih lagi, ternyata banyak kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih tidak menunjukkan komitmen serius dalam menyelesaikan permasalahan bagi Penyandang Disabilitas. Permasalahan seperti pemberdayaan penyandang disabilitas belum diterapkan secara efektif, terlihat pada pelayanan rehabilitasi yang tidak maksimal. Selain itu masih terdapat permasalahan penyediaan akses hunian oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memberikan aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas, Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ) tidak terdaftar lagi dan berakibat pada tunjangan yang akhirnya tidak dapat tersalurkan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan dan Hak Disabilitas agar hak bagi para Penyandang Disabilitas dapat dilindungi secara komprehensif seiring dengan kebijakan-kebijakan yang dapat menjawab semua kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Berangkat dari 10 permasalahan di atas, momentum ulang tahun DKI Jakarta ke-495 tahun ini dapat menjadi kesempatan terakhir bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuktikan dan menjawab pertanyaan bahwa “apakah Jakarta adalah kota yang kolaboratif atau tidak?” dan “apakah Gubernur DKI Jakarta mampu menyelesaikan dan menjawab 10 Masalah yang ada di DKI Jakarta di usia ke-495 Tahun Jakarta ini?”
Jakarta, 23 Juni 2022
Hormat Kami,
KOALISI PERJUANGAN WARGA JAKARTA
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui donasi.bantuanhukum.or.id, setiap donasi sangat berarti.