LBH Jakarta meluncurkan laporan situasi pelanggaran HAM terkait kasus-kasus penggusuran paksa di Jakarta selama 2017 dan 2018 yang bertajuk“Mengais di Pusaran Janji” (Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2017)“, serta “Masih Ada” (Laporan Penggusuran Paksa Di Wilayah DKI Jakarta Januari-September 2018).”
Penelitian ini menemukan bahwa meskipun jumlah titik dan korban penggusuran mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, namun pelanggaran HAM terkait dengan kasus-kasus penggusuran Jakarta masih terjadi, seperti ketiadaan musyawarah, penggunaan aparat tidak berwenang, intimidasi dan kekerasan, hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah. Hal ini bertentangan dengan standar HAM yang diatur berdasarkan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2005, Komentar Umum CESCR (Komisi Hak EKOSOB PBB) Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa dan UN Principles and Guidelines on Development-Based Evictions (Prinsip dan Panduan PBB tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan).
Tercatat, selama tahun 2017, telah terjadi 110 kasus penggusuran paksa terhadap hunian dan unit usaha dengan jumlah korban mencapai 1.171 keluarga dan 1.732 unit. Sedangkan pada periodeJanuari-september2018 telah terjadi 79 kasus dengan jumlah korban mencapai 277 Kepala keluarga dan 864 unit usaha.Mayoritas penggusuran dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan catatan angka 91% (2017) dan 75% (Januari-September 2018).
Jumlah keduanya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2016 dengan 193 kasus penggusuran.Meskipun demikian, mayoritas penggusuran masih dilakukan dengan melanggar HAM. Pada tahun 2017, 80% kasus penggusuran hunian dilakukan sepihak. Sedangkan pada Januari-September 2018 terjadi 81% persen penggusuran dilakukan secara sepihak tanpa ada musyawarah dan solusi bagi warga terdampak. Hasil dari ketiadaan musyawarah tersebut, 93% penggusuran pada 2017 berakhir tanpa solusi layak, sedang pada Januari-September 2018 mencatat angka 77%. Penggusuran paksa mengakibatkan munculnya tunawisma dan pengangguran, hal yang membuat penggusuran paksa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komisi HAM PBB pada 1993.
Tidak hanya itu, penggusuran juga masih dilakukan dengan pengerahan aparat yang berlebihan. Pada tahun 2018 rasio rata-rata 1:3 korban dengan aparat yang menggusur. Penggusuran juga masih banyak melibatkan TNI dan Polri yang tidak memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang. Hasilnya banyak kasus penggusuran yang dilakukan dengan tindakan kekerasan maupun perampasan harta benda pribadi.
Pemprov DKI Jakarta perlu merumuskan solusi-solusi alternatif pembangunan kota tanpa penggusuran paksa. Langkah tersebut dapat dimulai dengan meregulasi standar-standar HAM yang diatur dalam Kovenan Hak Ekosob di level Peraturan Daerah. Pemprov DKI Jakarta juga perlu mengevaluasi beberapa peraturan yang jamak digunakan yang mendasari penggusuran paksa, yaitu Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 207 Tahun 2016 Penertiban penggunaan lahan tanpa izin yang berhak.
LBH Jakarta,Jakarta, 14 Oktober 2018
Charlie AlBajili (081224024901) | Nelson Nikodemus Simamora (081396820400)