Oleh: Fatimah Huurin Jannah (Faza)*
Indonesia adalah negara hukum yang sejak kelahirannya tahun 1945 sudah mengenal dan menjamin masyarakatnya atas pemenuhan HAM. Hal tersebut tercermin dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum DUHAM di-arus-utamakan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM. Walaupun saat itu belum secara eksplisit menjelaskan jaminan negara melindungi hak hidup masyarakatnya. Barulah setelah amandemen UUD 1945 yang kedua, disebutkan secara jelas pada Pasal 28 A, “Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Beberapa tahun belakangan ini, kesadaran muncul di berbagai belahan dunia soal gerakan abolisi (penghapusan) terhadap penerapan hukuman mati. Semakin banyak negara-negara di dunia yang telah menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya secara de jure. Namun, masih banyak pula negara yang secara formal masih menerapkan hukuman mati namun secara de facto ikut melakukan abolisi. Sementara itu masih ada pula beberapa negara (retensionis) yang masih melakukan eksekusi mati dan jumlahnya semakin sedikit, termasuk Indonesia. Indonesia pun sudah melakukan aksesi terhadap Kovenan Hak Sipil dan Politik lewat UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR), sebagai salah satu komponen komitmen negara terhadap pemenuhan hak asasi manusia warga negaranya.
Tidak sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak atas hak hidup, sampai saat ini, justru jumlah vonis hukuman mati bertambah banyak. Juga pada tahun 2017, Indonesia menolak semua rekomendasi dalam sesi 27 Universal Periodic Review (UPR) PBB terkait dengan menghapuskan hukuman mati di Indonesia dengan dalih bahwa, “Hukum mati masih berlaku sebagai hukum positif di Indonesia”[1]. Angka tuntutan hukuman mati di Indonesia masih tinggi walaupun eksekusi terpidana mati tidak dilakukan selama 3 tahun terakhir ini. Penuntutan hukuman mati tercatat diberikan kepada 59 orang (2016), 32 orang (2017), dan 48 orang (2018)[2], termasuk baru saja Agustus lalu Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis memberikan vonis hukuman mati pada mantan sipir Lapas kelas II A Bengkalis sebagai terdakwa penyelundupan sabu-sabu seberat 37 kilogram[3]. Kemudian, per 1 Februari 2019 data dari Kemenkumham juga menunjukkan bahwa terdapat 235 terpidana mati yang sedang menunggu eksekusi atau yang berada dalam death row[4]. Bahkan per Oktober 2017, terdapat 42 terpidana mati yang telah menjalani masa pidana di pemasyarakatan selama lebih dari 10 tahun. Bahkan ada 1 orang yang sudah divonis hukuman mati sejak 35 tahun yang lalu dan saat ini berusia 80 tahun, menunggu, tanpa kepastian[5]. Sepanjang periode tahun 2017 sampai dengan awal tahun 2019, ada tambahan sedikitnya 98 terpidana kasus narkoba yang divonis hukuman mati oleh pengadilan. Jumlah tersebut terus bertambah seiring dengan masih ada banyaknya kasus-kasus narkoba lain yang masih berproses hukum.[6]
Walaupun tidak ada sumber informasi yang resmi diberitakan oleh pemerintah yang berwenang soal berapa jumlah pasti berapa jumlah narapidana yang akan dieksekusi (inmate death rows), karena informasi yang diberikan oleh lembaga terkait juga tidak konsisten. Juli 2019, pihak berwenang memberikan data per tanggal 21 Juni 2019, ada 268 orang berada dalam vonis hukum mati. Sedangkan dari hasil pemantauan organisasi masyarakat sipil, jumlah orangnya sekitar 268-308 orang[7]. Menurut Death Penalty World Wide, ada 308 orang dan 7 diantaranya adalah perempuan[8].
Meski Indonesia sudah mengakui hak hidup sebagai hak dasar manusia, namun Indonesia masih harus mengevaluasi banyak hal soal perlindungan hak warga negaranya, termasuk menjamin hak warga negaranya dapat, “Hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Penerapan hukuman mati jelas sekali melanggar konstitusi dan prinsip dasar hak asasi manusia. Hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam bentuk apa pun. Maka dari itu, menolak hukuman mati tidak semata-mata berarti menolak penghukuman terhadap orang yang bersalah. Namun yang terpenting adalah menghentikan tingkat kriminalitasnya bukan menghentikan nyawa. Penghukuman tidak boleh menegasikan hak-hak mendasar dari individu dan harus proporsional.
Vonis hukuman mati yang saat ini masih diterapkan di Indonesia juga masih perlu banyak dievaluasi, terlebih banyak sekali korban salah tangkap serta pelanggaran prinsip Due Process of Law dan Fair Trial yang dialami oleh terpidana hukum mati. Kesaksian dari para narapidana hukuman mati menjelaskan situasi seperti banyak dari mereka yang mengalami intimidasi dan perlakuan kejam selama masa investigasi kepolisian. Kualitas pendampingan hukum pun masih sangat buruk. Sebagai contoh, terdakwa dari negara asing masih banyak yang mengeluhkan kurangnya akses penerjemah, (karena ada sekitar 70 dari 268 terpidana mati adalah WNA – data dari Ditjen Pas 2019 kpd kontras). Belum lagi hasil keterangan dari pengakuan-pengakuan paksa dijadikan bukti pada persidangan. Akses terbatas untuk melakukan upaya hukum seperti banding, PK, dan rumitnya prosedur Grasi. Perlu diingat, Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan pada 2012, Juan Mendez, telah menyatakan bahwa, “Fenomena masa tunggu eksekusi pidana mati” adalah salah satu bentuk perlakuan tidak manusiawi yang melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.[9]
Pada momentum Hari Anti Hukuman Mati Sedunia di tahun ini tentu kami tetap menyerukan kepada Pemerintah Indonesia dan pemangku kebijakan untuk menghentikan ketidakadilan, bukan menghentikan nyawa. Menagih janji dan komitmen dalam menghapuskan hukuman Mati di Indonesia termasuk dari semua regulasi yang berlaku dan yang akan diberlakukan. Kami mendesak segera melakukan evaluasi dan monitoring terhadap seluruh vonis hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia, mengingat banyaknya fakta yang ditemukan terkait kejanggalan kasus maupun dugaan rekayasa yang dialami para terpidana mati. Mengedepankan dan memastikan seluruh terduga, tersangka, dan terdakwa yang akan dituntut dan divonis hukum mati mendapatkan keadilan dalam due process of law yang proses hukumnya mengedepankan fair trial. Pemerintah harus terus memastikan dan berupaya untuk menyediakan bantuan hukum kepada mereka yang menjalani proses pidana, dan hak-hak nya musti dipenuhi, lalu ada data yang terpublikasi dengan jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan terintegrasi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
*Penulis adalah mahasiswi STHI Jentera yang saat ini sedang melakukan program magang di LBH Jakarta
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.
[1] Human Rights Council Universal Periodic Review outcomes of Morocco: Indonesia anda Finland, OHCHR 21 September 2017, diakses pada 11 Oktober 2019, https://ohchr.org/en/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=22127&LangID=E
[2] Erasmus A.T. Napitupulu, Genoveva Alicia K.S. Maya, dkk. “Laporan Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia Tahun 2018: Tak Jera Promosi Efek Jera”, Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Oktober 2018, http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2018/10/Laporan-Situasi-Kebijakan-Pidana-Mati-2018.pdf
[3] Hukum dan Kriminal: Suci Ramadianto divonis Hukuman Mati Kasus Narkoba 37 Kg, Radio Republik Indonesia Breaking News, 17 September 2019, diakses pada tanggal 10 Oktober 2019. http://rri.co.id/bengkalis/post/berita/714320/hukum_dan_kriminal/suci_ramadianto_di_vonis_hukuman_mati_kasus_narkoba_37_kg.html
[4] Bebaskan Siti Aisyah: Pemerintah Harus Hindari Standar Ganda Soal Fair Trial dan Hukuman Mati, ICJR, 13 Maret 2019, diakses pada 10 Oktober 2019, https://icjr.or.id/bebaskan-siti-aisyah-pemerintah-harus-hindari-standar-ganda-soal-fair-trial-dan-hukuman-mati/
[5] Bebaskan Siti Aisyah: Pemerintah Harus Hindari Standar Ganda Soal Fair Trial dan Hukuman Mati, ICJR, 13 Maret 2019, diakses pada 10 Oktober 2019, https://icjr.or.id/bebaskan-siti-aisyah-pemerintah-harus-hindari-standar-ganda-soal-fair-trial-dan-hukuman-mati/
[6]2017-2019 ada tambahan 98 terpidana mati kasus narkotika, Berita Satu, 1 Maret 2019, s https://www.beritasatu.com/nasional/541104/20172019-ada-tambahan-98-terpidana-mati-kasus-narkoba
[7] Carole Berih dan Kontras, Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Bagi Terpidana Mati di Indonesia, ECPM, Jakarta: 2019, ISBN: 978-2-49135-401-5
[8] Cornell Center of Death Penalty Worldwide: Indonesia data base, 30 Mei 2019, diakses pada 9 Oktber 2019 https://www.deathpenaltyworldwide.org/country-search-post.cfm?country=Indonesia#f1-3
[9] ISHR, Special Rapporteur says death penalty may amount to torture or cruel, inhuman or degrading treatment, diakses pada tanggal 9 Oktober 2019 http://www.ishr.ch/news/special-rapporteur-says-death-penalty-mayamount-torture-or-cruel-inhuman-or-degrading