Persoalan perbantuan militer di era reformasi telah menjadi persoalan serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Secara perlahan tapi pasti keterlibatan militer ke ranah sipil dalam menjaga keamanan dalam negeri terus terjadi dengan alasan melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Keterlibatan militer itu seringkali melanggar dan bertentangan dengan undang-undang TNI sendiri sebagaimana terlihat dari berbagai MOU yang telah dibuat.
Tidak hanya MoU, tapi juga terdapat Surat Edaran yang dikeluarkan oleh institusi sipil yang bertentangan dengan UU TNI. Sebagai contoh pertengahan 2017 Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Surat Edaran Nomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 perihal dukungan gerakan percepatan tanam padi yang memerintahkan petani untuk menanam padi setelah 15 hari panen, namun apabila dalam waktu 30 hari tidak ditanam maka akan diambil alih pengelolaannya oleh Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan setempat. Padahal menanam padi bukanlah tugas petani. Pihak Gubernur beralasan Surat Edaran ini untuk menyukseskan program swasembada pangan nasional yang diinstruksikan oleh Jokowi kepada Kementrian Pertanian dan Panglima TNI.
Kali ini TNI dan Kepolisian kembali meneken sebuah perjanjian kerja sama (MoU) tentang “Perbantuan TNI Kepada Kepolisian dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.” Dalam aturan Nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018 yang ditandatangani oleh KAPOLRI, Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto tertanggal 23 Januari 2018 tersebut, dijelaskan bahwa lingkup kerja sama, selain menghadapi unjuk rasa dan mogok kerja, juga termasuk menghadapi kerusuhan, menangani konflik sosial, mengamankan kegiatan masyarakat dan atau pemerintah yang berpotensi rawan ricuh, dan situasi lainnya yang memerlukan bantuan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Setidaknya terdapat dua permasalahan dalam MoU TNI-Polri tersebut, yaitu:
1) Permasalahan Formil
Jika dikaji dari sudut pandang hukum, TNI memang dapat membantu pihak kepolisian dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf (b) angka 10, UU 34/2004 namun terdapat beberapa prosedur dan persyaratan, yaitu :
• Pertama: membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat harus melalui undang-undang (lihat Pasal 7 ayat 2 angka 10 UU TNI. Sementara TNI-Polri melakukan kesepakatan perbantuan dengan menggunakan MoU, nota yang bahkan bukan sama sekali peraturan perundang-undangan. Adapun bunyi Pasal 7 ayat 2 angka 10 UU TNI adalah sebagai berikut:
“membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang”
• Kedua: kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden (Pasal 3 ayat 1 UU TNI). UU TNI pun tidak memberi tugas dan kewajiban pengerahan kekuatan TNI kepada Panglima TNI; hal yang sesuai dengan semangat supremasi sipil. Sehingga MoU perbantuan tanpa ada keputusan hukum dari Presiden adalah anomali dalam sebuah pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi sipil.
• Ketiga: dalam hal pengerahan kekuatan TNI, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat kecuali dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI (Pasal 17 dan 18 UU TNI).
Pada intinya, sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI, operasi militer baik perang maupun selain perang haruslah melalui keputusan politik negara. MoU atau nota kesepahaman bukanlah keputusan politik negara.
2) Permasalahan Substansi
Adanya MoU tersebut akan menguatkan militerisme dan bertentangan dengan semangat penghapusan Dwi Fungsi ABRI yang dicapai dengan penuh perjuangan pada era reformasi, 20 tahun lalu. Menolak militerisme di sini jangan diartikan sebagai menolak militer dan mementingkan sipil. Penolakan adalah pada bercampurnya tugas militer dan sipil. Pemimpin dari sipil pun dapat berwatak militeristik jika mencampurkan tugas militer dan sipil tersebut.
Selain itu, MoU ini berpotensi melanggar hak asasi warga negara terkait haknya untuk mengeluarkan pikiran, berpendapat, dan juga hak untuk mogok. Sebagaimana kita ketahui kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar NRI, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Mogok pun diatur sebagai sebuah hak asasi manusia oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 25 yang berbunyi:”Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Beberapa demonstrasi sudah melibatkan TNI dalam pengamanan, seperti demonstrasi di berbagai kawasan industri, demonstrasi buruh pada Hari Kerja Layak Sedunia (Oktober 2017), demonstrasi buruh terkait upah di depan Balai Kota DKI Jakarta (10 November 2017), dan bahkan terdapat pembubaran dan pemulukan oleh tentara dalam demonstrasi mahasiswa di Makassar (15 Desember 2018).
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Pekan Baru, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Manado, LBH Makassar, dan LBH Papua mendesak:
1. Presiden Jokowi membatalkan MoU TNI-Polri mengenai perbantuan TNI kepada Polri terkait keamanan, serta membatalkan berbagai MoU TNI yang bertentangan dengan UU TNI;
2. Komisi 1 dan Komisi 3 melakukan tugas pengawasannya untuk mendesak pemerintah membatalkan MoU TNI-Polri;
3. Pemerintah dan DPR RI membuat UU Perbantuan Militer yang mengatur secara spesifik kapan militer dapat turun tangan dalam persoalan non perang.
2 Februari 2018
Hormat Kami
1. Asfinawati (Ketua YLBHI, 08128218930)
2. Alghifari Aqsa (Direktur LBH Jakarta, 081280666410) Ayu Eza Tiara (Pengacara Publik, 082111340222)
3. Simon Pattiradjawane (Direktur LBH Papua, 081344671831)
4. Mustiqal Putra (Direktur LBH Banda Aceh, 085260192443)
5. Surya Adinata (Direktur LBH Medan, 081263285103)
6. Era Purnamasari (Direktur LBH Padang, 081210322745)
7. Aditya B Santoso (Direktur LBH Pekanbaru, 081277741836)
8. April Firdaus (Direktur LBH Palembang, 08127137958)
9. Alian (Direktur LBH Bandar Lampung, 085279000567)
10. Willy Hanafi (Direktur LBH Bandung, 082116166814)
11. Hamzal Wahyudin (Direktur LBH Yogyakarta)
12. Zainal Arifin (Direktur LBH Semarang, 085727149369)
13. M Faiq Assiddiqi (Direktur LBH Surabaya, 081336181940)
14. Dewa Adnyana (Direktur LBH Bali, 081338440652)
15. Haswandi Andi Mas (Direktur LBH Makassar, 081355399855)
16. Hendra Baramuli (Direktur LBH Manado, 081243437112)