Cinta Abang
Cinta Abang terhadap LBH tidak terbantahkan. Kira-kira bulan Maret 2002, saya ingat aktivis LBH/ YLBHI berencana “menolak” kehadiran Abang di Gedung YLBHI akibat keterlibatan Abang dalam Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Pembelaan Abang dinilai merusak citra LBH.
Rapat digelar semalaman di LBH Jakarta. Seingat saya diantaranya hadir Daniel Panjaitan, Taufik Basari (kini Ketua DPP Hukum Partai Nasdem), dan Asfinawati (aktivis dan ketua Tim Pembela Bambang Widjojanto). Di sektor “belakang” di YLBHI, sejumlah aktivis seperti Munarman dan Patra M Zen juga menggelar rapat.
Keesokan paginya, spanduk penolakan Abang sudah disiapkan. Orator bersiap. Apa yang terjadi? Bang Buyung masuk ke ruangan dengan membentangkan tangan, dan berkata dengan lirih, “Apa salah Abang dengan kalian?”
Usai Abang bertanya hanya ada keheningan. Hening sama sekali. Orator-orator kelas wahid dari LBH/YLBHI yang terbiasa memimpin pergerakan buruh kehilangan kata-kata. Para pengacara publik yang biasa berbantahan dengan aparat penegak hukum diam seribu bahasa di depan Abang.
Lobi LBH Jakarta mendadak terasa dingin. Padahal, gedung tua LBH/YLBHI hanya punya AC “bobrok”. Aura Abang terasa begitu besar. Aura terbesar dari seorang individu yang pernah saya rasakan. Di Gedung YLBHI ketika itu berkumpul “para pendekar hukum,” tapi Abang seolah seorang “pendekar besar”.
Asfinawati mengenang peristiwa itu. “Kami kalah aura,” katanya.
Semua pengacara publik menundukkan kepala. Namun, kecintaan Abang pada LBH/YLBHI yang akhirnya membuat Abang mundur dari pimpinan Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Abang mencegah perpecahan LBH.
Abang tidak sekadar hadir dengan pemikiran besarnya. Abang juga hadir dengan sentuhan-sentuhan personalnya. Jas pertama Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, juga diberikan Abang saat mengikuti pelatihan NGO (non-government organization) di Tunisia pada tahun 1990. Tanpa jas dari Abang, Teten harus bertahan dari musim dingin dengan hanya memakai satu jaket yang dimilikinya.
Awal tahun 2003, saya dan sejumlah asisten pengacara publik bertengkar dengan Direktur LBH Jakarta. Akhirnya, para asisten pengacara publik itu bersikeras berkantor selama satu bulan dalam tenda di halaman LBH.
Kerja di tenda sangat panas, namun hati kami lebih panas lagi. Namun suatu siang, Bang Buyung mendatangi kami di tenda itu. Tanpa banyak berkata-kata, sejumlah uang diambil Abang dari dompetnya supaya kami dapat makan siang. Kami terpana, lantas terharu. Kami ingin meneteskan air mata namun malu.