Dipenjara
Akibat aktivitasnya di LBH, Bang Buyung pernah dipenjara selama 22 bulan paska Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974. Abang ditahan bersama Hariman Siregar, Fahmi Idris, Rachman Tolleng, dan Syahrir. Sebelumnya, LBH menolak pendirian proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Abang juga pernah dilarang praktik advokat selama satu tahun akibat memotong ucapan hakim dan berkacak pinggang di persidangan pada 6 Januari 1986. Ketika itu, Abang bahkan mengusir petugas keamanan yang mau menertibkan sidang kasus Jenderal HR Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi dan Sekjen ASEAN yang dituduh subversif oleh pemerintah Soeharto.
Abang pun dibela Tajuk Rencana Kompas, Senin 18 Mei 1987 pada halaman IV. Penggalan tajuk itu berisi, “…untuk pembangunan asas hukum, terutama yang menyangkut demokratisasi, martabat manusia, hak-hak asasi dan kewajibannya, figur vokal, konsisten, dan ikhlas seperti Bang Buyung Nasution kita perlukan”.
LBH pun dikenal sebagai “lokomotif demokrasi”. LBH/ YLBHI tampil sebagai penyeimbang Orde Baru. Kantor LBH/ YLBHI di Jalan Diponegoro 74 adalah kawah candradimuka bagi ratusan aktivis.
Apa modal dasar Abang Buyung untuk ngemong LBH/ YLBHI? Menurut praktisi hukum Mas Achmad Santosa, ada tiga kekuatan Bang Buyung. Yakni, penguasaan konsep negara hukum, keterampilan analisis hukum dan beracara, dan empati kuat terhadap kaum lemah dan tertindas.
Bang Buyung memang manusia nyaris lengkap. Kemampuan beracaranya jelas ditempa saat menjadi jaksa (1957-1968). Disertasi Abang, “The Aspiration for Constitutional Government: A Sociological Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959” memperlihatkan kepiawaiannya bicara soal pemerintahan dan tata negara.
Tidak heran bila Abang pernah menjadi Wakil Ketua KPU (1999-2000). Bahkan sebelumnya, Abang menjadi Wakil Ketua Komisi Sebelas yang menyusun regulasi dan menyeleksi 150 partai hasil euforia politik paska kejatuhan Soeharto.