“Jagalah LBH/YLBHI. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas,” tulis “Abang” Adnan Buyung Nasution, Minggu, 20 September 2015, ketika terbaring di rumah sakit.
Salah satu pesan terakhir Bang Buyung diterima advokat Todung Mulya Lubis, yang nyaris tak kuasa menahan harunya. Meski sakit, Abang tidak henti memikirkan nasib kaum miskin dan tertindas. Beliau meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tetap meneruskan perjuangannya.
Bulan Agustus 2003, usai diterima menjadi wartawan Kompas, saya dan belasan teman seangkatan ditemui Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama di ruang kerjanya. “Mana yang dari LBH?” itu kata-kata pertama Pak Jakob. Saya mengangkat tangan dengan ragu.
“Saya tahu kenapa you masuk Kompas. Tadi malam Bang Buyung telepon saya minta bantuan untuk LBH,” ujar Pak Jakob, sambil tertawa lepas. Saya hanya dapat nyengir.
Belakangan, saya tahu Abang sekuat tenaga mempertahankan LBH. Demi LBH, Abang tanpa ragu meminta-minta. Tentu, itu bukan untuk LBH apalagi bukan untuk Abang seorang, tetapi demi si miskin dan tertindas. Sejak era PK Ojong, Kompas kerap “menolong” LBH dan YLBHI.
Republik ini beruntung memiliki Abang. Lahir di Jakarta, 20 Juli 1934, dengan nama asli Adnan Bahrum Nasution, Abang sempat kuliah satu tahun di Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung sebelum kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyaratan Universitas Indonesia.
Dengan bekal ilmunya, Abang dapat saja hidup makmur sebagai advokat. Namun, dia memilih jalan terjal dalam hidupnya.
Tanggal 28 Oktober 1970, Bang Buyung menginisiasi pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH/YLBHI).
Dengan rendah hati, Abang mengatakan, LBH bukan yang pertama untuk menangani kasus probono. Sudah sejak tahun 1950-an, organisasi Tjandra Naya memberi bantuan hukum meski terbatas pada kalangan Tionghoa.
Konsep bantuan hukum struktural juga diperkenalkan oleh LBH. Tidak sekadar membela si A, si B, yang miskin harta, tetapi LBH juga membela siapa pun yang ditindas struktur kekuasaan. Dan, hingga detik ini, mungkin jutaan orang terdampak dari pembelaan LBH/YLBHI.
Dalam Konferensi World Peace Through Law Centre ke-8 di Manila, tahun 1977, Abang mengatakan, “Si miskin bahkan tidak tahu bahwa mereka mempunyai hak dan kewajiban hukum. Hal ini disebabkan karena sikap mental dan nilai-nilai masyarakat. Feodalisme dan sistem politik yang otoriter begitu kuat berakar sehingga rakyat takut berhubungan dengan hukum atau dengan yang berwenang”.
“Hal yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan bahwa mereka mempunyai hak yang dilindungi hukum. Rakyat juga diberi tahu bahwa bantuan hukum sebagai suatu lembaga hukum itu ada, yang dapat mereka pakai untuk membela dan menuntut hak-haknya,” begitu kata Abang.