Hari kemerdekaan bangsa Indonesia telah lewat, riang perayaan-nya mungkin masih tersisa dan menghinggapi sebagian orang. Diantara sebagian orang itu ialah warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang sampai detik ini masih sibuk mengasah bambu runcing. Mengapa bambu runcing? Sebab itu adalah simbol perjuangan. Sebuah bentuk perlawanan dari warga Pulau Pari terhadap pihak-pihak yang telah mengkriminalisasi Sulaiman, (mantan) Ketua RW 04 Pulau Pari. Katur, begitu nama panggilannya, didakwa dengan Pasal 385 ke-4 subsider Pasal 167 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyerobotan lahan milik orang lain.
Pagi itu sekitar pukul 10 pagi, hari Senin (20/08/) di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, telah berkumpul warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Situasi ini-lah yang menggambarkan bentuk perjuangan mereka untuk mendukung Katur dalam persidangan. Sembari persidangan berlangsung, warga Pulau Pari dengan setia melakukan unjuk rasa. Hari itu, persidangan pada pokoknya memuat pemaparan saksi meringankan dari penasehat hukum yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Pulau Pari. Dihadirkan dua saksi dihadapan Majelis Hakim yakni Surdin (pemilik tanah sebenarnya) dan Tasim (ahli waris Mat Lebar).
Persidangan dimulai pada pukul 11 siang dengan diawali dengan mendengarkan keterangan Surdin sebagai pemilik homestay yang berdiri diatas lahan miliknya. Dalam kesehariannya, Katur bertugas sebagai penjaga dan perawat homestay tersebut. Selanjutnya, pemeriksaan saksi kedua ialah Tasim. Dalam penuturannya, Surdin yang berdomisili di Bogor telah membeli lahan yang dimiliki oleh Mat Lebar (ayah Tasim) pada 2012. Para ahli waris Mat Lebar lainnya menjadi saksi saat terjadinya jual beli lahan tersebut. Baik Surdin dan Tasim menjelaskan bahwa pada saat terjadinya jual beli lahan tersebut ataupun pada saat pembangunan homestay milik Surdin tidak ada pihak-pihak yang keberatan.
Dalam mengawal persidangan ini, warga Pulau Pari selalu melakukan orasi sebagai bentuk dukungan terhadap Katur dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja menimbulkan konflik di Pulau Pari. Unjuk rasa ini berlangsung setiap minggunya, seiring dengan berlangsungnya persidangan kasus Sulaiman alias Katur. Dalam persidangan selanjutnya Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari akan menghadirkan ahli hukum untuk menjelaskan masing-masing pasal yang didakwakan kepada Majelis Hakim.
“…Keindahan Pulau Pari adalah berkat usaha warga Pulau Pari. Tapi mengapa ketika Pulau Pari sudah berhasil dalam industri, korporasi datang ingin mengambil alih dan banyak warga kami yang dikriminalisasi,” ungkap salah satu warga Pulau Pari.
“Jangankan panas, ombak saja kita hadapi. Pulau Pari adalah harga mati bagi kami. Indonesia sudah merdeka, tetapi kita warga Pulau Pari belum merasakan kemerdekaan itu sendiri. Jika bumi pertiwi adalah ibu kita, maka kita telah memperkosa ibu kita sendiri,” yang lain menimpali.
Konflik Pulau Pari ini bermula dari munculnya Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pintarso Adijanto yang secara tiba-tiba melakukan klaim terhadap sebagian besar lahan di Pulau Pari dengan menggunakan sertifikat-sertifikat yang terbit ‘tiba-tiba’ pada tahun 2015. Disamping itu, ketentraman warga juga diusik oleh isu swastanisasi Pulau Pari oleh PT. Bumi Pari Asri yang juga memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terbit pada tahun-tahun yang sama.
Padahal, merujuk kepada Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman, terdapat maladministrasi dalam terbitnya 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari. Salah satu dari SHM tersebut digunakan Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa Katur. Padahal, seluruh SHM dan SHGB tersebut terbit tanpa adanya pengukuran di lokasi tanah berada. Pengukuran dan kehadiran warga merupaka hal penting terkait diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Warga tidak pernah menjual tanah tersebut kepada Pintarso maupun perusahaan-perusahaan. (Ope)