Mustaghfirin dan Bahrudin selaku warga Pulau Pari yang menjadi korban Kriminalisasi dan Peradilan Sesat mengajukan Permohonan Praperadilan Ganti Kerugian.
Permohonan Praperadilan diajukan terhadap Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kepala Kejaksaan Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, dan Pemerintah Republik Indonesia, Menteri Keuangan.
Baca juga: ”Polisi Reaktif dan Melestarikan Pasal Karet pada Kasus Holywings”
Sebelumnya, Kepolisian Resor Kepulauan Seribu menuduh mereka melakukan tindak pidana sesuai Pasal 368 ayat (1) KUHP atas pemberlakuan donasi bagi pengunjung Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari.
Tuduhan tersebut berlanjut hingga ke meja pengadilan kemudian diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan putusan masing-masing nomor 574/Pid.B/2017/PN.Jkt.Utr dan 575/Pid.B/2017/PN.Jkt.Utr.
Kemudian, Mustaghfirin dan Bahrudin dinyatakan bebas dan tidak bersalah oleh Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan nomor 243/Pid.B/2018/PT.DKI atas nama Mustaghfirin dan putusan nomor 242/Pid.B/2018/PT.DKI atas nama Bahrudin yang menyatakan bahwa donasi bagi pengunjung pantai bukan merupakan tindak pidana pemerasan dan kekerasan ataupun perbuatan pungutan liar.
Bahkan, menurut Majelis Hakim pada perkara tersebut donasi yang dilakukan Mustaghfirin dan Bahrudin bersama warga adalah hak warga negara yang dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Mustaghfirin dan Bahrudin Berhak Atas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Akibat Peradilan Sesat
Bahwa akibat dari peradilan sesat tersebut Mustaghfirin dan Bahrudin mengalami kerugian materiil dan kerugian imateriil. Dengan demikian, Mustaghfirin dan Bahrudin berhak mengajukan ganti kerugian dan rehabilitasi sesuai dengan Pasal 95 ayat 1, Pasal 68, dan Pasal 1 angka 22 KUHAP jo Pasal 9 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun alasan-alasan ganti kerugian dan rehabilitasi diantaranya adalah:
Pertama, Mustaghfirin dan Bahrudin masing-masing kehilangan pendapatan sebagai Nelayan dan pemilik warung akibat dari peradilan sesat.
Kedua, Mustaghfirin dan Bahrudin mengalami truama psikologis akibat dari tindakan eksesif Kepolisian Resor Pulau Seribu yang mengerahkan ± 80 personil dengan menggunakan senjata laras panjang untuk menangkap mereka yang membuat seolah-olah Mustaghfirin dan Bahrudin adalah pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme. Mustaghfirin dan Bahrudin juga tercemar nama baiknya karena distigma sebagai seorang narapidana.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi Selamatkan Pulau Pari menuntut Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar menetapkan penetapan yang dilandasi nilai-nilai kesetiaan terhadap kebenaran dan keadilan berdasarkan prinsip habeas corpus dengan menetapkan ganti kerugian dan rehabilitasi yang layak.
Jakarta, 07 Juli 2022
Hormat Kami,
Koalisi Selamatkan Pulau Pari
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi melalui SIMPUL LBH Jakarta, kami butuh bantuanmu.