Pers Release Komite Anti Penggusuran Batuceper
Warga Kampung Darussalam Batuceper Menolak Penggusuran Paksa
dan Tidak Sah yang Dilakukan Dinas Pendidikan Kota Tangerang dan Kecamatan Batuceper
Riwayat Warga Batuceper
Konflik lahan kembali terjadi di Batuceper Tanggerang. Kali ini warga yang bermukim di belakang SDN 1 Batuceper Tanggerang berkonflik dengan pihak Kecamatan Batuceper serta pihak Dinas Pendidikan Kota Tangerang. Warga yang korban dan kehilangan hak atas tempat tinggalnya berjumlah 10 KK (seluruhnya berjumlah 35 orang, termasuk 9 wanita dan 12 anak).
Warga saat ini menempati lahan yang berlokasi di belakang SDN 1 Batuceper sejak tahun 1959. Warga merupakan para ahli waris dari korban penggusuran pelebaran jalan yang dilakukan oleh PLN pada tahun 1959. Sebelum terjadi penggusuran di tahun 1959 tersebut warga menempati tanah dan bangunan seluas 380 m2 yang beralamat di Batujaya Utara RT 003 / RW 003 Kel. Batujaya, Kec. Batuceper. Tanah yang ditempati oleh warga saat ini merupakan tanah ganti rugi akibat penggusuran tersebut yang diberikan oleh pemerintah desa pada saat itu melalui sebuah surat. Selama menempati lahan yang berlokasi di belakang SDN 1 Batuceper ini warga pun selalu melakukan pembayaran PBB tiap tahunnya sebagai tanggung jawab warga negara.
Pada tahun 2005 para warga yang direlokasi ke belakang SDN 1 Batuceper diminta membuat surat pernyataan. Surat pernyataan tersebut berisi keterangan bahwa warga memang menempati tanah milik SDN Batujaya dan Batuceper 1. Warga yang tidak mengerti maksud dari surat tersebut kemudian menuliskan identitas diri dan menandatanganinya.
Di tahun 2017 warga mendapat surat pemberitahuan pengosongan lahan dari SDN Batujaya, kemudian pada tanggal 5 Juli 2018 mendapat lagi surat teguran untuk mengosongkan rumah dari Dinas Pendidikan. Tanggal 21 September 2018 warga kembali mendapat surat permohonan penertiban pengosongan lahan dari Dinas Pendidikan. Pengosongan tersebut akan dilakukan pada 26 September 2018.
Hingga turunnya surat pengosongan lahan tersebut warga belum pernah diajak bermusyawarah. Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan hanya menawarkan ganti kerugian sebesar Rp.2.500.000,- / rumah (seluruhnya berjumlah 4 rumah). Sebelum terjadinya penggusuran warga menyurati Walikota Tangerang meminta penjelasan mengenai dasar penggusuran oleh kecamatan namun tidak mendapatkan respon.
Bahkan, pada 22 September 2018 warga mendatangi rumah Wakil Walikota Tangerang untuk menanyakan tentang tanah yang mereka tempati. Kedatangan tersebut sia-sia karena warga tidak mendapatkan penjelasan. Wakil Walikota Tanggerang pada kesempatan tersebut hanya menyampaikan bahwasannya ia hanya menjalankan tugas. Wakil Walikota Tanggerang hanya meminta kepada pihak kecamatan untuk menunda pengosongan hingga 1 Oktober 2018.
Pada tanggal 1 Oktober 2018 warga kembali mendapat surat dari pihak Kecamatan Batu Ceper dan diberikan waktu hingga tanggal 3 Oktober 2018 untuk meninggalkan lahan tersebut.
Kronologis Penggusuran
3 Oktober 2018 Pukul 09.00 WIB, aparat gabungan yang terdiri Satpol PP, Polisi, TNI, dan petugas PLN yang berjumlah sekitar 250 orang bersama Pemda Kota Tangerang datang ke pemukiman warga. Sempat terjadi negosiasi antara warga dan pihak Pemda selama kurang lebih 10 menit. Namun, belum ada titik temu dari negosiasi tersebut, warga yang sebelumnya telah membuat barikade didorong oleh aparat gabungan. Dalam keadaan dorong-mendorong tersebut terjadi pula tidakan pemukulan dari apparat kepada warga.
Aparat yang berulang kali mengatakan warga harus melalui proses hukum namun pelanggaran hukum justru dilakukan oleh aparat itu sendiri. Aparat gabungan penggusuran melakukan tindakan intimidatif dan kekerasan kepada warga.
Pada saat itu, warga yang melakukan negosiasi bersama dengan Pengacara Publik LBH Jakarta didorong secara paksa ke dalam area SDN 1 Batuceper oleh aparat gabungan. Beberapa warga pun terlihat ditahan di sebuah warung depan SDN 1 Batuceper dengan penjagaan dari pihak kepolisian. Total warga yang dimasukan secara paksa ke dalam lingkungan SDN 1 Batuceper dan ditahan di warung depan sekolah berjumlah 17 orang. Intimidasi dan tindakan pemukulan juga dilakukan oleh Satpo PP terhadap warga yang ditahan dalam sekolah.
Disaat bersamaan, alat berat langsung masuk dan melakukan penggusuran. Praktis penggusuran tersebut dilakukan tanpa melalui proses negosiasi yang terang. Warga dan tim Komite Anti Penggusuran Batu Ceper yang sebelumnya ditahan di dalam SDN 1 Batuceper baru dilepaskan oleh aparat gabungan setelah proses penggusuran paksa selesai.
Akibat tindakan represif dari aparat gabungan, setidaknya 4 warga yaitu Agus, Edi, Firmansyah, Riyan dan 5 orang dari Komite Anti Penggusuran Batuceper Diki, Chandra, Dandi, sofyan, Adit mengalami luka-luka. Serta 1 orang atas nama Muni KTP-nya disita oleh pihak Satpol PP.
Dengan adanya kasus tersebut warga yang menempati tanah di belakang SDN 1 Batuceper telah dilanggar sejumlah haknya. Hak atas perumahan warga yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) telah terlanggar. Bahkan instrumen hukum lain yang melindungi ha katas perumahan warga seperti UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 129, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 40, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) Pasal 11 ayat (1), Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 25 ayat (1), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Jenis Diskriminasi Terhadap Perempuan Pasal 14 ayat (2) huruf g dan h, Konvensi Hak Anak Pasal 27 Ayat 3, General Comment No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak, General Comment No. 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa.
Semua instrumen hukum dan Hak Asasi Manusia, baik dalam regulasi nasional maupun regulasi internasional menunjukan bahwa penggusuran secara paksa merupakan bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia. Lebih lanjut, berdasarkan pada resolusi 1993/77a, tentang forced eviction (penggusuran secara paksa) adalah pelanggaran berat HAM, terutama hak akan tempat tinggal yang memadai. Perlu menjadi penekanan yang harus diperhatikan, bahwa tanggung jawab pemenuhan Hak Asasi Manusia merupakan tanggung jawab negara, baik dalam jajaran pemerintah pusat maupun daerah.
Selain kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh warga, juga terdapat berbagai pelanggaran hukum. Adapun peraturan perundang-undangan yang dilanggar adalah meliputi Pelanggaran terhadap PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah) dan Pelanggaran Pasal 1963 KUHPerdata. Berdasarkan dua peraturan perundang-undangan tersebut, warga merupakan pihak yang paling berhak mendaftarkan tanahnya di Badan Pertanahan Nasional. Hal ini didasarkan pada penguasaan bidang tanah oleh warga sejak tahun 1959. Perlu diperhatikan bahwa meskipun tidak mempunyai sertifikat, warga menguasai tanah tersebut dengan itikad baik yakni melalui pemberian tanah titisara pada tahun 1959.
Sementara itu, disisi lain Pemda Tangerang tidak pernah menunjukkan alas hak (sertifikat) yang dimilikinya sebagai bukti kepemilikan sah untuk meminta pembongkaran. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan. “Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.”
Tanggerang, 03 Oktober 2018
Tertanda
Warga Korban Penggusuran Belakang SDN 1 Batuceper, RT.003/RW.03 Kelurahan Batu Jaya, Kecamatan Batu Ceper, Kota Tangerang
Didukung oleh:
LBH Jakarta, Pembaru Indonesia – Jakarta, FMN – Universitas Indonesia, Suara Mahasiswa – Universitas Kristen Indonesia, AKMI, FN – Universitas Nasional, Seruni, Seruni – Kapuk, SPRI Banten, SDMN UTA 45, AMTR, Aliansi Pelajar Tangerang, A.R.A.P
Narahubung:
087788711631 (Krisbandono)
085946133371 (Devi)
081398643423 (Dadang)